Mereka ini adalah para guru berdedikasi tinggi. Meski tinggal dan mengajar di daerah yang sangat terpencil, bahkan ada yang sering terlambat menerima gaji, semangat untuk mengabdi tak pernah padam.
Salah seorang di antara para pengabdi di daerah terpencil adalah Naftali Asmuruf. Penerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Desember tahun lalu sebagai guru berdedikasi itu sejak kecil memang sangat akrab dengan penderitaan. Karena itu, dia pun menjadi tegar ketika harus mengajar di sebuah tempat yang sangat terpencil di bumi Papua.
Naftali lahir pada 18 Agustus 1968 di Aitinyo, sebuah daerah yang saat itu sangat terpencil di Kabupaten Sorong (kini menjadi Kabupaten Sorong Selatan, setelah pemekaran). Kedua orang tuanya adalah petani yang menyandarkan hidupnya pada kebaikan alam.''Mulai sekolah di SD hingga SPG (sekolah pendidikan guru) saya lalui dengan penuh perjuangan,'' kata Naftali saat ditemui Radar Sorong (Jawa Pos Group) di rumahnya, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Naftali menyelesaikan pendidikan SD di kampung halamannya di Aitinyo, Kabupaten Sorong Selatan. Setamat SD, untuk melanjutkan ke SMP, Naftali harus berpisah dari orang tua. Sebab, di kampungnya tak ada SMP. Karena itu, bersama dengan teman-teman sebaya, dia berangkat ke Teminabuan, ibu kota kecamatan untuk melanjutkan SMP.Selama bersekolah di SMP, untuk bertahan hidup, Naftali bersama teman-temannya berkebun. ''Orang tua kami jauh. Tidak ada kiriman makanan. Jadi, harus buka kebun. Uang SPP kami bayar 6 bulan sekali. Ini bergantung kalau orang tua datang menjenguk kami,'' kenangnya.
Selepas SMP pada 1985, Naftali memberanikan diri merantau lebih jauh. Sesuai cita-citanya sejak kecil, dia berangkat ke kota Sorong untuk melanjutkan pendidikan ke SPG. Sama halnya dengan saat sekolah di Teminabuan, Naftali kembali harus berkebun agar bisa hidup.Selain berkebun, Naftali sempat bekerja serabutan. ''Keinginan kuat menjadi guru karena saya sejak kecil sering melihat guru mengajar. Senin sampai Sabtu mengajar, lalu Minggu naik mimbar sebagai pelayan Tuhan di gereja,'' katanya. ''Saya ingin seperti mereka,'' lanjutnya.
Tiga tahun bersekolah di SPG, dia lulus pada 1988. Karena belum ada penerimaan guru, Naftali sempat bekerja di pengeboran minyak di Merauke hingga Maret 1989. Tak lama, dia lantas merantau ke Bintuni. Dengan latar belakang pendidikannya, dia melamar di SD YPK Gembala, Bintuni. Dia diterima sebagai pengajar.
Suatu saat ada pengumuman penerimaan satigu (satuan tugas guru daerah pedalaman). Naftali tertarik. Dia pun ikut seleksi penerimaan guru di daerah pedalaman. Hasilnya, bersama 36 pendaftar lainnya, Naftali dinyatakan lulus.Tak lama menunggu, pada 1 Agustus 1991, Naftali menerima SK penempatan. Tempat tugasnya di SD Inpres Yopmeois, sebuah pulau di Distrik Wasior. Meski tempat tugasnya di pulau yang kondisinya jauh berbeda dengan kampung halamannya di daerah pegunungan, Naftali membulatkan tekad berangkat. ''Saya waktu itu tidak bisa berenang saat baru tiba. Tapi, saya berusaha belajar,'' ujarnya.
Di SD Yopmeos, kala itu hanya terdapat dua orang guru. Dia dan kepala sekolah. Keduanya berbagi tugas. Naftali mengajar kelas IV-VI, sedangkan kepala sekolah yang berlatar guru agama mengajar kelas I-III. ''Bisa dibayangkan,bagaimana kami membagi waktu. Tiap hari harus mengajar di tiga kelas dalam waktu bersamaan,'' imbuhnya.
Banyak kendala yang dialami. Namun, Naftali tetap bersemangat menjalankan pengabdiannya. Meski menerima gaji selalu terlambat, bahkan hingga 3-4 bulan baru terima, itu tak mengurangi semangatnya. ''Saya terima gaji 3-4 bulan sekali. Itu pun kalau saya atau kepala sekolah ke Manokwari,'' tuturnya. Perjalanan mengambil gaji ke Manokwari memerlukan waktu sedikitnya 10 jam dengan perahu kayu. ''Saya jalani itu semua dengan sabar,'' lanjutnya.
Di Yopmeos, Naftali tidak hanya bertugas sebagai guru. Tapi, dia juga memberikan pelajaran berharga bagaimana berkebun. Dan, yang tak kalah pentingnya, dia juga terpanggil menjadi pelayan firman di gereja.Kondisi tempat tugas yang jauh dari Manokwari menyebabkan pengurusan kenaikan pangkatnya terhambat. Selama 10 tahun bertugas di Yopmeos, pangkatnya tetap IIA. ''Ini juga karena kepala sekolah yang tidak paham dengan penghitungan kredit sebagai syarat kenaikan pangkat,'' imbuhnya.
Dia makin betah bertugas di Pulau Yopmeos saat berkenalan dengan seorang gadis kampung, Fince Yoteni, yang kemudian dinikahi pada Oktober 1993. Dari istrinya itu, Naftali yang berasal dari pedalaman belajar berenang, mendayung perahu, dan mencari ikan. (la ode mursidin/jpnn/kum)
Sumber : Jawa Pos
Salah seorang di antara para pengabdi di daerah terpencil adalah Naftali Asmuruf. Penerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Desember tahun lalu sebagai guru berdedikasi itu sejak kecil memang sangat akrab dengan penderitaan. Karena itu, dia pun menjadi tegar ketika harus mengajar di sebuah tempat yang sangat terpencil di bumi Papua.
Naftali lahir pada 18 Agustus 1968 di Aitinyo, sebuah daerah yang saat itu sangat terpencil di Kabupaten Sorong (kini menjadi Kabupaten Sorong Selatan, setelah pemekaran). Kedua orang tuanya adalah petani yang menyandarkan hidupnya pada kebaikan alam.''Mulai sekolah di SD hingga SPG (sekolah pendidikan guru) saya lalui dengan penuh perjuangan,'' kata Naftali saat ditemui Radar Sorong (Jawa Pos Group) di rumahnya, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Naftali menyelesaikan pendidikan SD di kampung halamannya di Aitinyo, Kabupaten Sorong Selatan. Setamat SD, untuk melanjutkan ke SMP, Naftali harus berpisah dari orang tua. Sebab, di kampungnya tak ada SMP. Karena itu, bersama dengan teman-teman sebaya, dia berangkat ke Teminabuan, ibu kota kecamatan untuk melanjutkan SMP.Selama bersekolah di SMP, untuk bertahan hidup, Naftali bersama teman-temannya berkebun. ''Orang tua kami jauh. Tidak ada kiriman makanan. Jadi, harus buka kebun. Uang SPP kami bayar 6 bulan sekali. Ini bergantung kalau orang tua datang menjenguk kami,'' kenangnya.
Selepas SMP pada 1985, Naftali memberanikan diri merantau lebih jauh. Sesuai cita-citanya sejak kecil, dia berangkat ke kota Sorong untuk melanjutkan pendidikan ke SPG. Sama halnya dengan saat sekolah di Teminabuan, Naftali kembali harus berkebun agar bisa hidup.Selain berkebun, Naftali sempat bekerja serabutan. ''Keinginan kuat menjadi guru karena saya sejak kecil sering melihat guru mengajar. Senin sampai Sabtu mengajar, lalu Minggu naik mimbar sebagai pelayan Tuhan di gereja,'' katanya. ''Saya ingin seperti mereka,'' lanjutnya.
Tiga tahun bersekolah di SPG, dia lulus pada 1988. Karena belum ada penerimaan guru, Naftali sempat bekerja di pengeboran minyak di Merauke hingga Maret 1989. Tak lama, dia lantas merantau ke Bintuni. Dengan latar belakang pendidikannya, dia melamar di SD YPK Gembala, Bintuni. Dia diterima sebagai pengajar.
Suatu saat ada pengumuman penerimaan satigu (satuan tugas guru daerah pedalaman). Naftali tertarik. Dia pun ikut seleksi penerimaan guru di daerah pedalaman. Hasilnya, bersama 36 pendaftar lainnya, Naftali dinyatakan lulus.Tak lama menunggu, pada 1 Agustus 1991, Naftali menerima SK penempatan. Tempat tugasnya di SD Inpres Yopmeois, sebuah pulau di Distrik Wasior. Meski tempat tugasnya di pulau yang kondisinya jauh berbeda dengan kampung halamannya di daerah pegunungan, Naftali membulatkan tekad berangkat. ''Saya waktu itu tidak bisa berenang saat baru tiba. Tapi, saya berusaha belajar,'' ujarnya.
Di SD Yopmeos, kala itu hanya terdapat dua orang guru. Dia dan kepala sekolah. Keduanya berbagi tugas. Naftali mengajar kelas IV-VI, sedangkan kepala sekolah yang berlatar guru agama mengajar kelas I-III. ''Bisa dibayangkan,bagaimana kami membagi waktu. Tiap hari harus mengajar di tiga kelas dalam waktu bersamaan,'' imbuhnya.
Banyak kendala yang dialami. Namun, Naftali tetap bersemangat menjalankan pengabdiannya. Meski menerima gaji selalu terlambat, bahkan hingga 3-4 bulan baru terima, itu tak mengurangi semangatnya. ''Saya terima gaji 3-4 bulan sekali. Itu pun kalau saya atau kepala sekolah ke Manokwari,'' tuturnya. Perjalanan mengambil gaji ke Manokwari memerlukan waktu sedikitnya 10 jam dengan perahu kayu. ''Saya jalani itu semua dengan sabar,'' lanjutnya.
Di Yopmeos, Naftali tidak hanya bertugas sebagai guru. Tapi, dia juga memberikan pelajaran berharga bagaimana berkebun. Dan, yang tak kalah pentingnya, dia juga terpanggil menjadi pelayan firman di gereja.Kondisi tempat tugas yang jauh dari Manokwari menyebabkan pengurusan kenaikan pangkatnya terhambat. Selama 10 tahun bertugas di Yopmeos, pangkatnya tetap IIA. ''Ini juga karena kepala sekolah yang tidak paham dengan penghitungan kredit sebagai syarat kenaikan pangkat,'' imbuhnya.
Dia makin betah bertugas di Pulau Yopmeos saat berkenalan dengan seorang gadis kampung, Fince Yoteni, yang kemudian dinikahi pada Oktober 1993. Dari istrinya itu, Naftali yang berasal dari pedalaman belajar berenang, mendayung perahu, dan mencari ikan. (la ode mursidin/jpnn/kum)
Sumber : Jawa Pos