DARI Sabang sampai Merauke. Rangkaian kata ini selalu melekat saat kita mengucapkan Indonesia sebagai kesatuan. Kumpulan kata ini menjelman menjadi sebuah kalimat solid. Bahkan ideologis. Sebelum dimekarkan, luas Kabupaten Merauke 119.749 kilometer persegi, terluas di Indonesia. Kira-kira 1,3 kali pulau Jawa. Daerah berpenduduk 307.343 jiwa (2000) ini juga dikenal sebagai Kota Rusa; hewan ini banyak sekali ditemukan di kota ini, dahulu. Selain kekayaan fauna lain semisal kangguru merah, burung pelikan, dan sebagainya.
Tapi bukan itu fokus kolom pendek ini, namun seorang bernama: John Gluba Gebze. Dua kali dia menjadi bupati. Tahun 2000-2005, dia dipilih oleh DPRD. Periode kedua, 2005-2010, John Gebze terpilih melalui pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) dengan perolehan suara mencapai 82%.
Sebuah angka yang fantastis. Apa resepnya?
Gebze memilih pasangan wakil bupati Drs Waryoto, seorang Indonesia yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Sebuah kombinasi yang kontras, sekaligus berani secara politik; di tengah histeria 'putra daerah' di hampir seluruh pelosok Indonesia. Paitua John juga memilih Sekretaris Daerah (Sekda) asal Makassar, Sulawesi Selatan, dan para Asisten Sekda masing-masing satu orang dari Merauke, Ambon, dan satu lagi asal daerah Papua di luar Merauke.
Orang asal Medan, Sumatera Utara, mengisi posisi penting di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) diisi pejabat asal Kalimantan Barat. Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dipimpin oleh seorang dokter berdarah Cina. Sulit mengatakan pengisian jabatan dengan kombinasi tersebut semata pembagian jatah berdasarkan etnisitas dan agama. Sama sulit dengan menganggapnya membagi-bagi jabatan seperti giliran arisan. Susah pula menuduhnya melakukan pengisian jabatan eksekutif daerah itu semata mempertahankan kekuasaan.
Bukankah pola seperti itu berisiko secara politik?
Jamak kita dengar, tuntutan akan pengisian jabatan elit (baca: eksekutif) daerah harus mengutamakan 'putra daerah'. Atau istilah yang lebih lugas, 'putra asli daerah' dan 'putra daerah asli'. Itu tidak hanya di Papua. Hampir merata di seantero Nusantara ketegangan politik di berbagai daerah, pemicunya hampir seragam; rekrutmen pejabat daerah dihela sentimen anti-pendatang dan pro-'putra daerah'.
Gebze pasti tidak sekadar bereksperimen. Mesti berbekal sejumput keyakinan. Kompetensi tidak ditaruhnya di belakang. Saya coba menyelidiki keberanian dan rasa percaya dirinya. Jawaban dia sederhana. Kira-kira kalimatnya: "Perbedaan itu harus dilihat sebagai keniscayaan sejarah yang harus dilihat sebagai harmoni".
Bagaimana cara mengelola tantangan kepemimpinan, tetap memasukkan unsur kompetensi sebagai pertimbangan yang tak remeh; resep Bupati Gebze yang lain.
Dia kerap bersengaja membawa mobil bak terbuka, agar rakyat yang ditemuinya berjalan kaki bisa dinaikkan dalam jumlah tidak sedikit. Tidak cukup, John juga memiliki sebuah nomor telepon khusus, diketahui masyarakat, pesan pendek sering dibacanya sendiri. Dan, kalau cerita dia benar; saat menyelesaikan jabatan bupati periode pertama, dia tidak memiliki rumah pribadi. Padahal, banyak kepala daerah di negeri ini yang gemar membiakkan rumah sampai ke daerah di luar wilayah kepemimpinannya. Bahkan saat periode kepemimpinan baru mulai.
Saya kira, saatnya kita menoleh ke ujung Timur negeri kita. Kata John Gebze, "di antara orang Indonesia, kami duluan bangun, sholat subuh, berdoa, bekerja." Ada pelajaran kebangsaan, kebhinekaan, harmoni. Di Merauke, matahari memang lebih dulu menyalami.
Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Tapi bukan itu fokus kolom pendek ini, namun seorang bernama: John Gluba Gebze. Dua kali dia menjadi bupati. Tahun 2000-2005, dia dipilih oleh DPRD. Periode kedua, 2005-2010, John Gebze terpilih melalui pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) dengan perolehan suara mencapai 82%.
Sebuah angka yang fantastis. Apa resepnya?
Gebze memilih pasangan wakil bupati Drs Waryoto, seorang Indonesia yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Sebuah kombinasi yang kontras, sekaligus berani secara politik; di tengah histeria 'putra daerah' di hampir seluruh pelosok Indonesia. Paitua John juga memilih Sekretaris Daerah (Sekda) asal Makassar, Sulawesi Selatan, dan para Asisten Sekda masing-masing satu orang dari Merauke, Ambon, dan satu lagi asal daerah Papua di luar Merauke.
Orang asal Medan, Sumatera Utara, mengisi posisi penting di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) diisi pejabat asal Kalimantan Barat. Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dipimpin oleh seorang dokter berdarah Cina. Sulit mengatakan pengisian jabatan dengan kombinasi tersebut semata pembagian jatah berdasarkan etnisitas dan agama. Sama sulit dengan menganggapnya membagi-bagi jabatan seperti giliran arisan. Susah pula menuduhnya melakukan pengisian jabatan eksekutif daerah itu semata mempertahankan kekuasaan.
Bukankah pola seperti itu berisiko secara politik?
Jamak kita dengar, tuntutan akan pengisian jabatan elit (baca: eksekutif) daerah harus mengutamakan 'putra daerah'. Atau istilah yang lebih lugas, 'putra asli daerah' dan 'putra daerah asli'. Itu tidak hanya di Papua. Hampir merata di seantero Nusantara ketegangan politik di berbagai daerah, pemicunya hampir seragam; rekrutmen pejabat daerah dihela sentimen anti-pendatang dan pro-'putra daerah'.
Gebze pasti tidak sekadar bereksperimen. Mesti berbekal sejumput keyakinan. Kompetensi tidak ditaruhnya di belakang. Saya coba menyelidiki keberanian dan rasa percaya dirinya. Jawaban dia sederhana. Kira-kira kalimatnya: "Perbedaan itu harus dilihat sebagai keniscayaan sejarah yang harus dilihat sebagai harmoni".
Bagaimana cara mengelola tantangan kepemimpinan, tetap memasukkan unsur kompetensi sebagai pertimbangan yang tak remeh; resep Bupati Gebze yang lain.
Dia kerap bersengaja membawa mobil bak terbuka, agar rakyat yang ditemuinya berjalan kaki bisa dinaikkan dalam jumlah tidak sedikit. Tidak cukup, John juga memiliki sebuah nomor telepon khusus, diketahui masyarakat, pesan pendek sering dibacanya sendiri. Dan, kalau cerita dia benar; saat menyelesaikan jabatan bupati periode pertama, dia tidak memiliki rumah pribadi. Padahal, banyak kepala daerah di negeri ini yang gemar membiakkan rumah sampai ke daerah di luar wilayah kepemimpinannya. Bahkan saat periode kepemimpinan baru mulai.
Saya kira, saatnya kita menoleh ke ujung Timur negeri kita. Kata John Gebze, "di antara orang Indonesia, kami duluan bangun, sholat subuh, berdoa, bekerja." Ada pelajaran kebangsaan, kebhinekaan, harmoni. Di Merauke, matahari memang lebih dulu menyalami.
Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah.