BELASAN tahun meninggalkan tanah kelahiran dan pusaka budaya, Merauke, Papua, betapa nikmat angan menapaki kenangan di sepanjang pantai itu. Meski keberangkatan harus mundur berkali-kali —sesuatu yang “wajar” di Republik tercinta—angin tengah malam Soekarno Hatta dan langit yang terlihat lebih segar membawa kembali setiap elemen masa lalu dasyat tanpa henti. Dan manis seyum pramugari Merpati kian menambah romantisme khayalan—di bawah lambaian hijau nyiurnya beta menghabiskan banyak musim liburan bersama para sobat dan terutama dengan sang nona masa sekolah.
Sayang seribu sayang, hidup tidak sesederhana imaginasi. Realitas seringkali nyaris tanpa kenal kasihan. Saat pesawat menukik dalam membentangkan Merauke dan air payau Kali Maro, mata tersentak keras. Gersang daratan yang dulunya bentangan hijau tanpa henti membisikkan malapetaka memori. Diam-diam hatiku membisik, ada yang hilang dari sambungan kenangan!
Dan betul! Saat fajar pertama merekah di bumi Merauke keesokan harinya, aku bergegas mengenjot motor keponakanku menuju Pantai Buti yang sangat terjangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Sepanjang jalan, aku menghibur diri bahwa kotak-kotak besar tanpa pohon yang kulihat dari udara kemarin mestinya hanya kegagalan fantasiku memetakan lokasi pantai. Tapi pantaiku rupanya sudah terlalu lama menunggu aku kembali. Di depan matanya, hanya tersisa panjang pasir putih yang praktis sudah kehilangan kilau dan wibawa alamnya. Aku meradang, di mana kelapa-kelapa yang dulu manis airnya membuat dahaga jadi berkat? Mengapa hanya tersisa sejumput hutan mangrove yang kian terdesak abrasi seperti kepala tua yang menggundul tak tercegah?
Bukan cuma tak ada lagi lambaian nyiur, tanah gumuk seperti di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta, turut lenyap tanpa berbekas. Masih jelas terbayang saat kami abang-adik bermain-main mendaki bukit-bukit lembut yang menyedot kaki-kaki mungilku. Mana mungkin lagi angin bisa mempermainkan milyaran butiran pasir putih membentuk gunungan di sepanjang pantai seperti dulu. Keajaiban alam teramat langka ini malah mungkin sudah tak terekam lagi dalam ingatan generasi sekarang!
Apa yang terjadi? Berkilo-kilo meter tambang pasir besar-besar di sepanjang garis pantai! Agresif membangun tanpa material batu dan pasir yang memadai, pasir pantai jadi alternatif. Alhasil, banyak masyarakat pantai atau bukan dan pemilik modal yang mestinya juga kongkalikong dengan pihak keamanan, menambang pasir pantai secara membabi buta. Di sana-sini tampak sisa-sisa tambang dan di sejumlah lokasi bekas-bekas sileweran roda truk.
Ironisnya, banyak sekali orang yang berkunjung ke Pantai Buti hari itu, hari minggu cerah. Gerombol demi gerombol tampak berdatangan dan menempati setiap sudut pantai termasuk mematahkan ranting-ranting yang menghalangi duduk-duduk mereka! Sejumlah penjual masyarakat setempat juga menggelar dagangannya di berbagai titik. Suasana dan ragam aktivitasnya masih seperti dulu: balapan di sepanjang garis pantai yang mulus tanpa rintangan atau membeli hasil jaringan nelayan setempat. Tapi tak ada lagi semilir pantai yang sepoi-sepoi, tak ada lagi air kelapa yang manis nina bobo. Bahkan di jaring-jaring para nelayan, hanya ada udang-udang kecil dan campuran ikan kecil, isyarat kelimpahan alam yang menyurut.
Saat aku bertanya pada beberapa pengunjung dan masyarakat lokal, mereka membawaku pada sejumlah titik tempat beberapa batang ketapang menjulang. Rupanya pohon-pohon ini adalah sebagian kecil yang bertahan hidup setelah beberapa usaha reboisasi masal yang dimotori Pemda Merauke. Ah, syukurlah, setidaknya ada usaha. Tapi, apa yang bisa diperbuat selusin ketapang yang saban hari didera air pasang setinggi rumah?
Saat Merpati yang sama mendaki langit Merauke, aku terpaksa menutup mataku. Sudah begitu banyak perubahan fisik di kotaku semenjak aku merantau, betul itu. Tapi aku tumbuh bersama dan dalam alam yang asri, yang murah hati dan hijau bersemi sepanjang tahun. Aku bergaul dengan telisik angin di sela-sela dedaunan kelapa. Aku belajar dari para nelayan yang menarik jaringnya sembari menikmati semburat warna-warni mentari yang turun perlahan ke balik layar horizon. Dan itu semua hanyanya kenangan, hanya cerita yang terasa membual bila diceritakan pada keponakan-keponakanku. Mataku mulai membuka kembali saat nyaris sejam kemudian sang pilot menukik ke dalam rangkulan bandara Jayapura. Aduhai, Danau Sentani masih sangat hijau!