“Dan itu sudah menjadi rahasia, kita mau bilang apa. Mereka terlibat mulai dari sosialisasi sampai pelaksanaan di lapangan,” kata Paustinus Ndiken, Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Malind Bian di Jayapura.
Menurut dia, keikutsertaan oknum petugas, membuat proses penyerahan lahan kepada perusahaan menjadi mulus. “Ada kejadian dimana mereka ikut meminta masyarakat menyerahkan lahan pada perusahaan, bahkan ada tokoh adat kita dipukul saat sosialisasi. Waktu itu situasinya panas, tidak tahu kenapa, tiba-tiba tokoh adat dipukul aparat,” ujarnya.
Ia menambahkan, warga tidak setuju dengan adanya pihak keamanan dalam proses penyerahan lahan. “Kalau mereka mau amankan daerah, tidak apa, tapi jangan ikut campur dalam proses, ini kaitan pemilik ulayat, pemerintah dan perusahaan,” katanya lagi.
Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken mengatakan perusahaan mengontrak tanah mereka dengan harga di bawah. Pada tahun 2007, tanah perhektar dilepas Rp50 ribu. Kemudian naik menjadi Rp70 ribu per hektar dan kini Rp350 ribu/ha. “Kami mengalami dampak yang luar biasa. Kami minta harga tanah dinaikan menjadi lima juta. Tapi perusahaan tidak mau,” ucapnya.
Perusahaan kata dia juga berjanji untuk membangun sarana pendidikan serta kesehatan. “Tapi tidak pernah dipenuhi, janji tinggal janji,” katanya.
David Dagijay, warga Suku Yeinan di Merauke mengungkapkan orang Malind Anim tak ingin dibohongi. “Kami memang ragu perusahaan bisa membuat sekolah. Sementara kontrak lahan selama 35 tahun. Jangan sampai setelah itu, tanah kami jadi milik perusahaan,” pungkasnya.
Wilayah Yeinan meliputi kampung Toray, Poo, Erambu, Tanas hingga Kweel. Yeinan adalah bagian dari suku besar Malind Anim. (JO/Jayapura)