UNDANG-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menyulitkan pebisnis perikanan tangkap, terutama ketentuan yang mewajibkan kapal ikan agar membawa BBM.
UU Pelayaran Persulit Usaha Perikanan Tangkap UNDANG-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menyulitkan pebisnis perikanan tangkap, terutama ketentuan yang mewajibkan kapal ikan agar membawa BBM di dalam tangki kapal. Ini bertentangan dengan UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Sejauhmana UU tersebut mengganggu usaha perikanan, Pelita mewawancarai Ketua I Asosasi Tuna Indonesia (Astuin) Eddy Yuwono, berikut petikannya:
Sejauhmana UU No 17 tersebut mengganggu para pengusaha perikanan tangkap? Selain mengganggu para pelaku usaha perikanan tangkap, UU No 17 Tahun 2008 juga sangat kontraproduktif dengan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2005 yang membolehkan kapal ikan memuat BBM solar di palka maupun jerigen. Akibat ketentuan UU Pelayaran tersebut, sejumlah kapal perikanan milik pengusaha yang tergabung dalam Astuin, tertahan di Pelabuhan Merauke karena dinilai melanggar aturan. Sebenarnya, daya tampung tangki utama kapal umumnya sangat minim, sehingga menyebabkan BBM solar yang dibawa untuk berlayar rata-rata selama dua bulan tidak mencukupi. Karena, setiap kapal ikan berbendera Indonesia mendapatkan subsidi BBM sebanyak 25 kiloliter per bulan, sementara kebutuhan untuk berlayar selama dua bulan sebanyak 50 ton BBM.
Apakah setiap kapal penangkap ikan selalu membawa BBM cadangan? Umumnya kapal penangkap ikan selalu mambawa BBM cadangan yang ditempatkan di palka ataupun jerigen-jerigen sesuai kebutuhan selama berlayar. Saat ini ada berapa kapal yang tertahan di Pelabuhan Merauke? Dua buah kapal cumi-cumi dari Jakarta, yakni kapal ikan Harapan Jaya dengan bobot 200 gross ton (GT) dan kapal ikan Nandu Jaya dengan bobot 150 GT. Kedua kapal itu, tidak bisa beroperasi karena tidak mendapatkan surat izin berlayar (SIB) dari syahbandar di Pelabuhan Merauke dan tertahan sejak 8 Januari 2009. Memangnya kapal yang tertahan itu tidak memiliki dokumen yang komplet? Kita memiliki dokumen yang saat komplet sekali, alasan syahbadar menangkap dua kapal itu tentang keselamatan dan kapal kita dianggap tidak stabil yang diatur dalam hal ini Departemen Perhubungan. Padahal, kita sudah memiliki stok BBM yang cukup untuk belayar.
Dengan tertahannya dua kapal itu berapa kerugiannya? Sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta per hari. Padahal, untuk berlayar selama dua bulan, baru balik modal jika mendapatkan hasil senilai Rp800 juta hingga Rp1 miliar. Di negara-negara yang industri perikanannya maju, tidak ada ketentuan yang membatasi pemuatan BBM pada kapal penangkap ikan hanya pada tangki, namun juga diizinkan menggunakan palka, seperti negara Jepang. Lalu bagaimana nasib para ABK-nya? ABK kami ada 40 orang dan sekarang nasibnya masih menunggu keputusan Menteri Perhubungan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri Perhubungan telah mempersulit kami karena memberlakukan aturan tersebut, tanpa sosialisasi kepada kami pelaku usaha perikanan tangkap. Dan tiba-tiba kapal kami ditahan. Ini kebijakan Departemen Perhubungan yang bertentangan dengan DKP, menunjukkan kebijakan pemerintah dalam pembangunan sektor perikanan masih bersifat ego sektoral antar-departemen, bukan memikirkan kepentingan nasional.
Kami juga telah mengadukan keberatan terhadap ketentuan yang mewajibkan pemuatan BBM pada kapal ikan hanya di tangki utama kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan Pak Freddy (Menteri Kelautan dan Perikanan- Red ) sudah memberikan surat disposisi kepada Meteri Perhubungan, tetapi sampai saat ini surat tersebut belum ada balasan. Seharusnya kebijakan tersebut seperti apa? Harusnya kebijakan yang diberlakukan adalah sesuai surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, karena DKP yang mengatur sektor kelautan dan perikanan. Saat ini DKP sudah menyurati Departemen Perhubungan terkait keberatan kami itu. Dalam kondisi krisis ekonomi, Dirjen Perhubungan Laut tidak berpihak pada nelayan. Dan alhamdulilah sampai saat ini Astuin belum ada yang mem-PHK-kan ABK seperti perusahaan lainnya. (ervin na)
Sumber : HU Pelita
UU Pelayaran Persulit Usaha Perikanan Tangkap UNDANG-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menyulitkan pebisnis perikanan tangkap, terutama ketentuan yang mewajibkan kapal ikan agar membawa BBM di dalam tangki kapal. Ini bertentangan dengan UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Sejauhmana UU tersebut mengganggu usaha perikanan, Pelita mewawancarai Ketua I Asosasi Tuna Indonesia (Astuin) Eddy Yuwono, berikut petikannya:
Sejauhmana UU No 17 tersebut mengganggu para pengusaha perikanan tangkap? Selain mengganggu para pelaku usaha perikanan tangkap, UU No 17 Tahun 2008 juga sangat kontraproduktif dengan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2005 yang membolehkan kapal ikan memuat BBM solar di palka maupun jerigen. Akibat ketentuan UU Pelayaran tersebut, sejumlah kapal perikanan milik pengusaha yang tergabung dalam Astuin, tertahan di Pelabuhan Merauke karena dinilai melanggar aturan. Sebenarnya, daya tampung tangki utama kapal umumnya sangat minim, sehingga menyebabkan BBM solar yang dibawa untuk berlayar rata-rata selama dua bulan tidak mencukupi. Karena, setiap kapal ikan berbendera Indonesia mendapatkan subsidi BBM sebanyak 25 kiloliter per bulan, sementara kebutuhan untuk berlayar selama dua bulan sebanyak 50 ton BBM.
Apakah setiap kapal penangkap ikan selalu membawa BBM cadangan? Umumnya kapal penangkap ikan selalu mambawa BBM cadangan yang ditempatkan di palka ataupun jerigen-jerigen sesuai kebutuhan selama berlayar. Saat ini ada berapa kapal yang tertahan di Pelabuhan Merauke? Dua buah kapal cumi-cumi dari Jakarta, yakni kapal ikan Harapan Jaya dengan bobot 200 gross ton (GT) dan kapal ikan Nandu Jaya dengan bobot 150 GT. Kedua kapal itu, tidak bisa beroperasi karena tidak mendapatkan surat izin berlayar (SIB) dari syahbandar di Pelabuhan Merauke dan tertahan sejak 8 Januari 2009. Memangnya kapal yang tertahan itu tidak memiliki dokumen yang komplet? Kita memiliki dokumen yang saat komplet sekali, alasan syahbadar menangkap dua kapal itu tentang keselamatan dan kapal kita dianggap tidak stabil yang diatur dalam hal ini Departemen Perhubungan. Padahal, kita sudah memiliki stok BBM yang cukup untuk belayar.
Dengan tertahannya dua kapal itu berapa kerugiannya? Sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta per hari. Padahal, untuk berlayar selama dua bulan, baru balik modal jika mendapatkan hasil senilai Rp800 juta hingga Rp1 miliar. Di negara-negara yang industri perikanannya maju, tidak ada ketentuan yang membatasi pemuatan BBM pada kapal penangkap ikan hanya pada tangki, namun juga diizinkan menggunakan palka, seperti negara Jepang. Lalu bagaimana nasib para ABK-nya? ABK kami ada 40 orang dan sekarang nasibnya masih menunggu keputusan Menteri Perhubungan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri Perhubungan telah mempersulit kami karena memberlakukan aturan tersebut, tanpa sosialisasi kepada kami pelaku usaha perikanan tangkap. Dan tiba-tiba kapal kami ditahan. Ini kebijakan Departemen Perhubungan yang bertentangan dengan DKP, menunjukkan kebijakan pemerintah dalam pembangunan sektor perikanan masih bersifat ego sektoral antar-departemen, bukan memikirkan kepentingan nasional.
Kami juga telah mengadukan keberatan terhadap ketentuan yang mewajibkan pemuatan BBM pada kapal ikan hanya di tangki utama kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan Pak Freddy (Menteri Kelautan dan Perikanan- Red ) sudah memberikan surat disposisi kepada Meteri Perhubungan, tetapi sampai saat ini surat tersebut belum ada balasan. Seharusnya kebijakan tersebut seperti apa? Harusnya kebijakan yang diberlakukan adalah sesuai surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, karena DKP yang mengatur sektor kelautan dan perikanan. Saat ini DKP sudah menyurati Departemen Perhubungan terkait keberatan kami itu. Dalam kondisi krisis ekonomi, Dirjen Perhubungan Laut tidak berpihak pada nelayan. Dan alhamdulilah sampai saat ini Astuin belum ada yang mem-PHK-kan ABK seperti perusahaan lainnya. (ervin na)
Sumber : HU Pelita