Di Timika Dibayar Emas, di Wamena Kayu Gaharu
Di Papua, Timika dan Wamena adalah dua kota yang dilihat dari sudut pandang apa pun memiliki status sama: a must visit city. Kota yang wajib dikunjungi karena keduanya sama-sama menarik untuk diamati. Baik dari segi ekonomi, budaya, maupun (maaf) penyebaran HIV/AIDS. Tentang yang terakhir itu, inilah pengamatan wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) NANY WIJAYA.
TAK bisa dibantah bahwa makin tahun kehidupan ekonomi di Timika semakin baik. Itu bisa dilihat dari kian banyaknya jumlah pendatang yang mendulang kehidupan di ibu kota Kabupaten Mimika itu.Sebagaimana kota lain yang ekonomi daerahnya berkembang pesat, Timika pun mengalami ekses yang sama: Meningkatnya jumlah pekerja seksual (PSK) pendatang. Seperti semut, mereka datang ke tempat di mana ada gula.PSK di Timika dan daerah-daerah lain di Papua berbeda dengan rekan-rekan mereka di Jawa dan daerah lain di luar Papua. Mayoritas PSK di sana menjalankan strategi jemput bola. Jadi, konsumen tidak perlu repot-repot mencari mereka. Dengan sedikit tambahan honor, PSK-PSK itu dengan senang hati mendatangi konsumennya.
Mungkin karena saya hanya tinggal dua hari di Timika, sehingga tak sempat mencari tahu apakah di situ ada lokalisasi resmi atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah di kota yang kini menjadi pusat perdagangan paling maju di belahan timur Papua itu juga ada pelacur jalanan.Yang saya tahu, tidak sedikit PSK yang mendatangi daerah-daerah penambangan emas liar pada sore hari, menjelang para penambang pulang. Atau, setelah para penambang liar itu menukarkan butiran emas hasil dulangannya ke pengepul.
Namun, kabarnya, tidak sedikit penambang yang menemui PSK langganannya sebelum setor ke pengepul. Lantas, dengan apa mereka membayar para penjaja cinta itu? "Ya, dibayar dengan butiran emas," jelas Oktovianus, direktur harian Radar Timika (Jawa Pos Group) yang sudah cukup lama mengamati "gaya hidup" itu.Sangat disayangkan sebenarnya kalau ada penambang liar yang menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang dengan PSK. Sebab, untuk mendapatkan butiran-butiran emas itu, para penambang liar harus menempuh risiko yang tidak kecil. Misalnya, terbawa arus Sungai Ajkwa yang sulit diduga. Atau, terkubur hidup-hidup oleh tanah longsor, seperti yang pernah terjadi di Wanagon, lokasi penambangan liar di dekat Tembagapura. Belum lagi gigitan nyamuk malaria yang terkenal keganasannya. Risiko paling ringan adalah kulitnya rusak, mengelupas, atau dimakan kutu karena terlalu lama berendam di air yang tidak bersih.
Seperti diketahui, malaria di Papua sangat terkenal keganasannya. Penyakit ini tak hanya membuat tubuh menggigil kuat, tetapi juga menghancurkan limpa dan bahkan otak. Karena itu, kalau Anda berkunjung ke Papua, jangan lupa membawa losion antinyamuk dan meminum atau suntik obat pencegah malaria sejak sebelum berangkat. Kalau lupa membawa losion antinyamuk, boleh juga Anda mencoba repellent (cairan antinyamuk) tradisional: minyak babi yang baunya pasti tak sama dengan yang terbuat dari bunga lavender.Tetapi, rasanya juga tidak mungkin para penambang liar itu tidak menyadari risiko berat yang mereka hadapi saat mendulang. Namun, faktanya, prostitusi di Timika berkembang dengan sangat cepat. Sebagai dampaknya, angka penderita HIV/AIDS makin tahun makin meningkat.
Begitu cepatnya perkembangan penyakit mematikan itu, sehingga pada 2007, Timika menggantikan Merauke sebagai kota dengan angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Papua. Pada akhir triwulan ke empat 2007, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 3.629 orang (tertinggi di Indonesia). Sebanyak 1.478 penderita ada di Kabupaten Mimika, 969 di Merauke.
Angka di Kabupaten Mimika itu pada September 2008 lalu sudah melambung menjadi 1.745 orang. Ini data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika. Tak dijelaskan jumlah pastinya, tetapi disebutkan bahwa yang terbanyak ada di Timika. Dan, Desember lalu, angka itu sudah naik lagi menjadi 1.798 penderita. Berarti cepat sekali pertumbuhannya.Padahal 10 tahun lalu, atau pada 1998, jumlah penderita HIV/AIDS di Mimika hanya 13 orang.Melihat grafik pertumbuhannya, terlihat jelas bahwa pertumbuhan HIV/AIDS di Mimika melaju cepat seiring dengan melambungnya harga emas di pasaran. Coba perhatikan: Pada 2002, penderitanya hanya 111 orang/tahun. Tetapi, pada tahun berikutnya bertumbuh 216 orang, 2004 bertambah 231 orang, 2005 bertumbuh 259 orang, dan 2007 bertambah jadi 277 orang per tahun. Yang agak istimewa tahun 2006, karena penambahan penderitanya hanya 227 orang. Atau 32 orang lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.
Ini pertumbuhan yang sangat mengerikan. Padahal, upaya pencegahan sudah banyak dilakukan. Tak terkecuali oleh Freeport sendiri dengan cara membagikan kondom gratis secara rutin, membantu pembiayaan kampanye pencegahan HIV/AIDS, dan bahkan membantu pemeriksaan dini bagi mereka yang berperilaku seks menyimpang.Namun, tahun ini Timika boleh merasa lega karena status "juara" dalam hal HIV/AIDS sudah diambil alih Wamena. Kota di Lembah Baliem yang kehidupannya jauh lebih tradisional dibanding Timika. Angka penderita HIV/AIDS-nya sudah mencapai 214 orang. Di kota itu juga sudah ada tiga rumah singgah bagi penderita penyakit akibat perilaku seksual menyimpang itu.
Meledaknya angka penderita HIV/AIDS di Papua, khususnya Wamena, Timika, dan Merauke, sangat mengkhawatirkan dan patut disikapi dengan serius oleh pemerintah maupun masyarakat. Sebab, para aktivis pencegahan HIV/AIDS di dalam dan luar negeri sudah bisa menduga, jika tak segera ditangani, angka penyakit ini di Papua bisa setinggi di Afrika dalam tempo beberapa tahun ke depan.Begitu ganasnya HIV/AIDS yang menyerang penduduk asli di Afrika, hingga menghilangkan satu etnis di sana. Ini fakta yang harus dicegah agar tidak terjadi di Papua karena suku-suku asli itu adalah aset keragaman budaya negeri ini.
Karena itu, banyak dana pencegahan HIV/AIDS berbagai negara yang kini dikonsentrasikan ke Papua. "Yang mengerikan dari epidemik HIV/AIDS di Papua adalah, daerah penyebarannya tidak hanya di kantong-kantong perilaku seks berisiko, tetapi sudah masuk ke masyarakat umum. Artinya, ibu rumah tangga, bayi, dan remaja pun sudah banyak yang terkena," kata Esti, aktivis pencegahan HIV/AIDS dari Surabaya.Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa sampai September 2008 tercatat 422 ibu rumah tangga yang positif HIV (102 di antaranya malah sudah positif AIDS). Juga tercatat di periode yang sama, ada 293 petani, 3 tokoh agama, 29 pelajar, dan 19 TNI-Polri yang terjangkit HIV/AIDS di daerah tersebut.
Dilihat dari kelompok usia dalam laporan Dinkes Mimika itu, keterangan Esti terdukung. Sebab, di data itu disebutkan, ada 143 remaja berumur 15-19 tahun yang positif. Sedangkan untuk usia 20-29 tahun, yang positif ada 860 orang atau hampir dua kali lipat jumlah penderita di kelompok usia 30-39 tahun.Sayangnya, sikap masyarakat di Wamena terhadap HIV/AIDS belum seterbuka mereka yang di Timika. Bahkan, di sini masih ada anggapan bahwa penyakit tersebut sengaja disebarkan untuk menghabisi penduduk asli di sana (genocide). Sungguh tidak masuk akal. Sikap mereka ini tentu juga sangat menyulitkan petugas untuk mendeteksi dan kemudian mengobati mereka yang sudah terjangkit.
Meningkatnya angka HIV/AIDS di Wamena adalah fakta yang sangat menarik. Sebab, jumlah prostitusi di sini tak sebanyak di Timika dan Merauke. "Tidak banyak, tetapi mereka itu aktif jemput bola," kata Kurniawan Muhammad, redaktur Jawa Pos yang pernah mengamati hal itu ketika berkunjung ke Papua pada 1999."Bola" yang dijemput tidak hanya pendatang, tetapi juga para kepala suku yang hidupnya masih agak primitif. Sebab, mereka yang primitif itu, tutur Kurniawan, "Tidak membayar PSK dengan uang, tapi dengan kayu gaharu."
Mengapa para PSK itu mau dibayar dengan sepotong kayu? Karena merekalah, ternyata, yang tahu bahwa harga kayu tersebut di luar Wamena sangat mahal, bisa sampai Rp 500.000 sepotong kecil. Sedangkan orang-orang primitif itu hanya mengerti bahwa kayu tersebut punya harga yang lebih tinggi dari kayu cendana. Dengan kata lain, mereka tak tahu bahwa mereka bisa membeli empat lima PSK dengan sepotong kayu gaharu. Jadi, tak hanya seorang penjaja seks, seperti yang mereka alami selama ini.Kabarnya, kebiasaan membayar dengan kayu gaharu itu masih berlaku di daerah-daerah pedalaman sampai sekarang.
Pekerja seks komersial (PSK) bukan satu-satunya medium penyebaran HIV/AIDS di Papua. Kebiasaan hidup dengan gaya seks bebas dan kemiskinan, terutama miskin pengetahuan kesehatan, adalah hal-hal yang menjadi pendorong paling kuat menyebarnya penyakit tersebut.
Seperti yang diakui Djoko, koresponden Cenderawasih Pos di Wamena, "Di sini, dengan sepiring nasi, seseorang bisa mendapatkan seks." Begitu miskinnyakah? "Daripada mati kelaparan. Lagi pula, ukuran kaya di sini kan punya beberapa ekor babi dan punya kebun ubi sendiri, meski tidak terlalu luas," tambahnya.
Tidak heran kalau nasi termasuk sesuatu yang mewah di sana. Harga beras per kilogram bisa mencapai Rp 25.000. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau untuk makan sepiring nasi dengan menu yang sangat sederhana di warteg pinggir jalan di Wamena, orang harus merogoh kocek sampai Rp 25.000 per orang.
Hubungan seks "komersial" seperti ini pasti tidak dilakukan dengan PSK yang datang dari luar Papua, tetapi antara si kaya dan si miskin. Dan, itu terjadi di dalam masyarakat yang tidak berpendidikan. Dengan kata lain, hubungan itu sebagai upaya penyelamatan dari kemiskinan yang parah. Daripada mati kelaparan.Selain "harganya" yang sangat murah, orang di sana biasa bermain seks di sembarang tempat. Jadi, begitu imbalan disepakati, "permainan" pun bisa segera dilakukan. Bisa di bawah pohon, di semak-semak, di dekat kandang babi, di ladang, dan di mana saja.
Tempat bermain seks yang tidak higienis ini juga mendorong tingginya angka penyakit kelamin akibat kuman gonoroe dan sifilis, serta jamur klamidia. Ketiganya bisa bikin mandul pria maupun wanita. Tetapi, yang parah, gonoroe dan sifilis bisa menyebabkan kebutaan dan kerusakan pada otak.Di luar faktor kemiskinan, value (nilai) keperawanan seorang gadis juga sangat rendah. Karena itu, nyaris tak ada (kecuali pendatang dan mereka yang berpendidikan tinggi, barangkali) yang menyoal keperawanan calon istri. Seperti tak banyak istri yang menyoal ketika suaminya kawin lagi. Kecuali para pendatang atau berpendidikan tinggi, banyak ditemui lelaki beristri lebih dari lima orang. Bahkan, seorang kepala suku bisa beristri sampai 12 orang. (Besok: Mengenal Freeport dan Grasberg-nya).
Sumber : Cenderawasih Pos
Di Papua, Timika dan Wamena adalah dua kota yang dilihat dari sudut pandang apa pun memiliki status sama: a must visit city. Kota yang wajib dikunjungi karena keduanya sama-sama menarik untuk diamati. Baik dari segi ekonomi, budaya, maupun (maaf) penyebaran HIV/AIDS. Tentang yang terakhir itu, inilah pengamatan wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) NANY WIJAYA.
TAK bisa dibantah bahwa makin tahun kehidupan ekonomi di Timika semakin baik. Itu bisa dilihat dari kian banyaknya jumlah pendatang yang mendulang kehidupan di ibu kota Kabupaten Mimika itu.Sebagaimana kota lain yang ekonomi daerahnya berkembang pesat, Timika pun mengalami ekses yang sama: Meningkatnya jumlah pekerja seksual (PSK) pendatang. Seperti semut, mereka datang ke tempat di mana ada gula.PSK di Timika dan daerah-daerah lain di Papua berbeda dengan rekan-rekan mereka di Jawa dan daerah lain di luar Papua. Mayoritas PSK di sana menjalankan strategi jemput bola. Jadi, konsumen tidak perlu repot-repot mencari mereka. Dengan sedikit tambahan honor, PSK-PSK itu dengan senang hati mendatangi konsumennya.
Mungkin karena saya hanya tinggal dua hari di Timika, sehingga tak sempat mencari tahu apakah di situ ada lokalisasi resmi atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah di kota yang kini menjadi pusat perdagangan paling maju di belahan timur Papua itu juga ada pelacur jalanan.Yang saya tahu, tidak sedikit PSK yang mendatangi daerah-daerah penambangan emas liar pada sore hari, menjelang para penambang pulang. Atau, setelah para penambang liar itu menukarkan butiran emas hasil dulangannya ke pengepul.
Namun, kabarnya, tidak sedikit penambang yang menemui PSK langganannya sebelum setor ke pengepul. Lantas, dengan apa mereka membayar para penjaja cinta itu? "Ya, dibayar dengan butiran emas," jelas Oktovianus, direktur harian Radar Timika (Jawa Pos Group) yang sudah cukup lama mengamati "gaya hidup" itu.Sangat disayangkan sebenarnya kalau ada penambang liar yang menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang dengan PSK. Sebab, untuk mendapatkan butiran-butiran emas itu, para penambang liar harus menempuh risiko yang tidak kecil. Misalnya, terbawa arus Sungai Ajkwa yang sulit diduga. Atau, terkubur hidup-hidup oleh tanah longsor, seperti yang pernah terjadi di Wanagon, lokasi penambangan liar di dekat Tembagapura. Belum lagi gigitan nyamuk malaria yang terkenal keganasannya. Risiko paling ringan adalah kulitnya rusak, mengelupas, atau dimakan kutu karena terlalu lama berendam di air yang tidak bersih.
Seperti diketahui, malaria di Papua sangat terkenal keganasannya. Penyakit ini tak hanya membuat tubuh menggigil kuat, tetapi juga menghancurkan limpa dan bahkan otak. Karena itu, kalau Anda berkunjung ke Papua, jangan lupa membawa losion antinyamuk dan meminum atau suntik obat pencegah malaria sejak sebelum berangkat. Kalau lupa membawa losion antinyamuk, boleh juga Anda mencoba repellent (cairan antinyamuk) tradisional: minyak babi yang baunya pasti tak sama dengan yang terbuat dari bunga lavender.Tetapi, rasanya juga tidak mungkin para penambang liar itu tidak menyadari risiko berat yang mereka hadapi saat mendulang. Namun, faktanya, prostitusi di Timika berkembang dengan sangat cepat. Sebagai dampaknya, angka penderita HIV/AIDS makin tahun makin meningkat.
Begitu cepatnya perkembangan penyakit mematikan itu, sehingga pada 2007, Timika menggantikan Merauke sebagai kota dengan angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Papua. Pada akhir triwulan ke empat 2007, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 3.629 orang (tertinggi di Indonesia). Sebanyak 1.478 penderita ada di Kabupaten Mimika, 969 di Merauke.
Angka di Kabupaten Mimika itu pada September 2008 lalu sudah melambung menjadi 1.745 orang. Ini data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika. Tak dijelaskan jumlah pastinya, tetapi disebutkan bahwa yang terbanyak ada di Timika. Dan, Desember lalu, angka itu sudah naik lagi menjadi 1.798 penderita. Berarti cepat sekali pertumbuhannya.Padahal 10 tahun lalu, atau pada 1998, jumlah penderita HIV/AIDS di Mimika hanya 13 orang.Melihat grafik pertumbuhannya, terlihat jelas bahwa pertumbuhan HIV/AIDS di Mimika melaju cepat seiring dengan melambungnya harga emas di pasaran. Coba perhatikan: Pada 2002, penderitanya hanya 111 orang/tahun. Tetapi, pada tahun berikutnya bertumbuh 216 orang, 2004 bertambah 231 orang, 2005 bertumbuh 259 orang, dan 2007 bertambah jadi 277 orang per tahun. Yang agak istimewa tahun 2006, karena penambahan penderitanya hanya 227 orang. Atau 32 orang lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.
Ini pertumbuhan yang sangat mengerikan. Padahal, upaya pencegahan sudah banyak dilakukan. Tak terkecuali oleh Freeport sendiri dengan cara membagikan kondom gratis secara rutin, membantu pembiayaan kampanye pencegahan HIV/AIDS, dan bahkan membantu pemeriksaan dini bagi mereka yang berperilaku seks menyimpang.Namun, tahun ini Timika boleh merasa lega karena status "juara" dalam hal HIV/AIDS sudah diambil alih Wamena. Kota di Lembah Baliem yang kehidupannya jauh lebih tradisional dibanding Timika. Angka penderita HIV/AIDS-nya sudah mencapai 214 orang. Di kota itu juga sudah ada tiga rumah singgah bagi penderita penyakit akibat perilaku seksual menyimpang itu.
Meledaknya angka penderita HIV/AIDS di Papua, khususnya Wamena, Timika, dan Merauke, sangat mengkhawatirkan dan patut disikapi dengan serius oleh pemerintah maupun masyarakat. Sebab, para aktivis pencegahan HIV/AIDS di dalam dan luar negeri sudah bisa menduga, jika tak segera ditangani, angka penyakit ini di Papua bisa setinggi di Afrika dalam tempo beberapa tahun ke depan.Begitu ganasnya HIV/AIDS yang menyerang penduduk asli di Afrika, hingga menghilangkan satu etnis di sana. Ini fakta yang harus dicegah agar tidak terjadi di Papua karena suku-suku asli itu adalah aset keragaman budaya negeri ini.
Karena itu, banyak dana pencegahan HIV/AIDS berbagai negara yang kini dikonsentrasikan ke Papua. "Yang mengerikan dari epidemik HIV/AIDS di Papua adalah, daerah penyebarannya tidak hanya di kantong-kantong perilaku seks berisiko, tetapi sudah masuk ke masyarakat umum. Artinya, ibu rumah tangga, bayi, dan remaja pun sudah banyak yang terkena," kata Esti, aktivis pencegahan HIV/AIDS dari Surabaya.Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa sampai September 2008 tercatat 422 ibu rumah tangga yang positif HIV (102 di antaranya malah sudah positif AIDS). Juga tercatat di periode yang sama, ada 293 petani, 3 tokoh agama, 29 pelajar, dan 19 TNI-Polri yang terjangkit HIV/AIDS di daerah tersebut.
Dilihat dari kelompok usia dalam laporan Dinkes Mimika itu, keterangan Esti terdukung. Sebab, di data itu disebutkan, ada 143 remaja berumur 15-19 tahun yang positif. Sedangkan untuk usia 20-29 tahun, yang positif ada 860 orang atau hampir dua kali lipat jumlah penderita di kelompok usia 30-39 tahun.Sayangnya, sikap masyarakat di Wamena terhadap HIV/AIDS belum seterbuka mereka yang di Timika. Bahkan, di sini masih ada anggapan bahwa penyakit tersebut sengaja disebarkan untuk menghabisi penduduk asli di sana (genocide). Sungguh tidak masuk akal. Sikap mereka ini tentu juga sangat menyulitkan petugas untuk mendeteksi dan kemudian mengobati mereka yang sudah terjangkit.
Meningkatnya angka HIV/AIDS di Wamena adalah fakta yang sangat menarik. Sebab, jumlah prostitusi di sini tak sebanyak di Timika dan Merauke. "Tidak banyak, tetapi mereka itu aktif jemput bola," kata Kurniawan Muhammad, redaktur Jawa Pos yang pernah mengamati hal itu ketika berkunjung ke Papua pada 1999."Bola" yang dijemput tidak hanya pendatang, tetapi juga para kepala suku yang hidupnya masih agak primitif. Sebab, mereka yang primitif itu, tutur Kurniawan, "Tidak membayar PSK dengan uang, tapi dengan kayu gaharu."
Mengapa para PSK itu mau dibayar dengan sepotong kayu? Karena merekalah, ternyata, yang tahu bahwa harga kayu tersebut di luar Wamena sangat mahal, bisa sampai Rp 500.000 sepotong kecil. Sedangkan orang-orang primitif itu hanya mengerti bahwa kayu tersebut punya harga yang lebih tinggi dari kayu cendana. Dengan kata lain, mereka tak tahu bahwa mereka bisa membeli empat lima PSK dengan sepotong kayu gaharu. Jadi, tak hanya seorang penjaja seks, seperti yang mereka alami selama ini.Kabarnya, kebiasaan membayar dengan kayu gaharu itu masih berlaku di daerah-daerah pedalaman sampai sekarang.
Pekerja seks komersial (PSK) bukan satu-satunya medium penyebaran HIV/AIDS di Papua. Kebiasaan hidup dengan gaya seks bebas dan kemiskinan, terutama miskin pengetahuan kesehatan, adalah hal-hal yang menjadi pendorong paling kuat menyebarnya penyakit tersebut.
Seperti yang diakui Djoko, koresponden Cenderawasih Pos di Wamena, "Di sini, dengan sepiring nasi, seseorang bisa mendapatkan seks." Begitu miskinnyakah? "Daripada mati kelaparan. Lagi pula, ukuran kaya di sini kan punya beberapa ekor babi dan punya kebun ubi sendiri, meski tidak terlalu luas," tambahnya.
Tidak heran kalau nasi termasuk sesuatu yang mewah di sana. Harga beras per kilogram bisa mencapai Rp 25.000. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau untuk makan sepiring nasi dengan menu yang sangat sederhana di warteg pinggir jalan di Wamena, orang harus merogoh kocek sampai Rp 25.000 per orang.
Hubungan seks "komersial" seperti ini pasti tidak dilakukan dengan PSK yang datang dari luar Papua, tetapi antara si kaya dan si miskin. Dan, itu terjadi di dalam masyarakat yang tidak berpendidikan. Dengan kata lain, hubungan itu sebagai upaya penyelamatan dari kemiskinan yang parah. Daripada mati kelaparan.Selain "harganya" yang sangat murah, orang di sana biasa bermain seks di sembarang tempat. Jadi, begitu imbalan disepakati, "permainan" pun bisa segera dilakukan. Bisa di bawah pohon, di semak-semak, di dekat kandang babi, di ladang, dan di mana saja.
Tempat bermain seks yang tidak higienis ini juga mendorong tingginya angka penyakit kelamin akibat kuman gonoroe dan sifilis, serta jamur klamidia. Ketiganya bisa bikin mandul pria maupun wanita. Tetapi, yang parah, gonoroe dan sifilis bisa menyebabkan kebutaan dan kerusakan pada otak.Di luar faktor kemiskinan, value (nilai) keperawanan seorang gadis juga sangat rendah. Karena itu, nyaris tak ada (kecuali pendatang dan mereka yang berpendidikan tinggi, barangkali) yang menyoal keperawanan calon istri. Seperti tak banyak istri yang menyoal ketika suaminya kawin lagi. Kecuali para pendatang atau berpendidikan tinggi, banyak ditemui lelaki beristri lebih dari lima orang. Bahkan, seorang kepala suku bisa beristri sampai 12 orang. (Besok: Mengenal Freeport dan Grasberg-nya).
Sumber : Cenderawasih Pos