Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya.
UPDATE!! Berita di Radar Merauke dapat dibaca langsung lewat Smartphone Android! Baca fiturnya DISINI atau Download aplikasinya disini : LINK Download Android RadarMeraukeCom.APK !!! Baca berita Via Opera Mini Atau Browser Handphone (Blackberry/Iphone/Symbian) : http://www.radarmerauke.com/?m=1 .

Wednesday, 18 February 2009

Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (6-Habis)

Disebut Amerikanya Papua, SIM Keluaran Freeport Sendiri
Berkunjung ke Timika tanpa mampir di Kuala Kencana dan Tembagapura sama saja bohong. Sebab, inti Timika ya dua kota itu. Untuk menyempurnakan kunjungan itu, naik ke Grasberg, tambang emas terbesar dunia milik Freeport Indonesia. Sayang, untuk bisa ke tempat itu harus punya akses khusus. Laporan wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) NANY WIJAYA yang berhasil mengunjungi tiga lokasi istimewa itu.

KESAN bahwa Timika kotanya Freeport terasa sekali sejak langkah pertama memasuki kota itu. Di pintu utama Bandara Mozes Kilangan, Timika, identitas itu sudah ditunjukkan dengan adanya ban bekas truk pengangkut hasil tambang dan buldoser di dekat gerbang masuk kawasan itu. Bukan hanya itu, hotel terbaik di kota tersebut juga milik Freeport sekarang. Namanya Hotel Rimba Papua. Hotel yang bangunannya didominasi kayu -mulai pilar hingga lantai- itu dulu bernama Sheraton Timika. Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir sudah diambil alih Freeport dan namanya pun diubah.

Saya hanya merencanakan tinggal di Timika selama dua hari. Mau saya, dalam kurun waktu yang relatif pendek itu, saya bisa mengeksplorasi Timika dan Freeport-nya. Sungguh keinginan yang ambisius. Padahal, saya tak punya gambaran apa-apa tentang kota tambang yang dikenal sebagai kota paling maju di Papua itu.Risiko dari ambisi saya itu adalah saya tak punya waktu untuk beristirahat. Begitu tiba di hotel, sarapan sebentar, check in, langsung jalan. Sasaran pertama saya ialah melihat daerah reklamasi, daerah tailing yang banyak dipersoalkan aktivis lingkungan hidup. Tailing adalah buangan sisa pengolahan hasil tambang.

Agak terkejut saya ketika berkunjung ke situ. Ternyata daerah buangan limbah tambang itu sudah diubah menjadi perkebunan melon, lombok, tomat, sagu, dan hutan alam. Hutan alam adalah hutan yang tumbuh secara alami.Di areal yang sama, saya melihat kolam-kolam ikan, lahan sagu, dan -ini yang paling menarik- lokasi pembiakan kupu-kupu. Ada puluhan jenis kupu-kupu yang dibiakkan di tanah buangan limbah itu. Begitu banyaknya kupu di lokasi tersebut mengingatkan saya pada taman kupu-kupu yang ada di Pulau Sentosa, Singapura.

Dari situ, di siang yang sangat panas itu, saya dengan ditemani Suyoto (Dirut Cenderawasih Pos), Oktovianus (direktur Radar Timika) dan Teuku Mufizar Mahmud (media relation officer Freeport di Timika) langsung melaju ke Kuala Kencana. Kota mandiri yang hanya dihuni staf dan karyawan Freeport itu dikenal sebagai Amerika-nya Papua.Dibandingkan dengan semua kota di republik ini, Kuala Kencana termasuk yang paling modern, indah, dan hijau. Sepanjang jalan menuju ke pusat kota itu tak ada pemandangan kecuali pohon-pohon besar yang rimbun serta jalan raya yang mulus dan bersih. Tak ada deretan rumah yang terlihat di pinggir jalan. Padahal, desa tersebut berpenduduk lebih dari 7.000 jiwa. Kok bisa?

Pasti bisa karena rumah-rumah yang semua dihuni oleh karyawan dan staf Freeport itu dibangun di balik pepohonan besar yang mengisi sepanjang jalan menuju ke pusat kota.Begitu tiba di pusat kota -yang ditandai dengan alun-alun besar yang sangat hijau- itu, kesan modern terlihat. Di sekitar alun-alun itulah semua fasilitas pendukung kehidupan warga dibangun. Mulai supermarket, restoran, mini mall, sekolah, bank, kantor pos, gedung bioskop, hingga klinik kesehatan.

Dari cara menatanya, yang tak seperti umumnya kota di sini, membuat kita tak menyadari kalau masih di bumi Indonesia. Tak mengherankan kalau desa modern itu disebut banyak orang dengan istilah Amerika-nya Papua.Sebutan itu tidak berlebihan sama sekali. Sebab, desa ini juga memiliki aturan lalu lintas yang tidak sama dengan daerah mana pun di Papua, kecuali Tembagapura tentunya. Aturan lalu lintasnya jauh lebih ketat daripada daerah mana pun di negeri ini. Sebab, di sana ada polisi lalu lintas khusus yang selalu berpatroli untuk memantau mobil mana yang berjalan melebihi kecepatan, kendaraan mana yang berjalan tanpa menyalakan lampu, dan pengemudi mana yang mengemudi sambil merokok. Pengemudi dan penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman juga akan kena tilang. Bagaimana si polisi tahu itu?

Sangat tidak sulit karena semua mobil di Kuala Kencana dan Tembagapura tak boleh berkaca agak gelap. Bahkan, kaca depan kotor pun akan kena tilang. Tilang di kawasan tersebut tentu juga tidak sama dengan di derah lain, apalagi bisa dinego dendanya. Yang ditilang akan menerima surat peringatan. Jika terulang, SIM-nya akan dicabut.Jangan heran kalau mereka punya kewenangan mencabut SIM pengemudi di sana. Sebab, mereka jugalah yang mengeluarkan SIM. Dengan kata lain, SIM mereka bukan keluaran polantas Polri, tapi oleh Freeport. Itu karena pengemudi yang bukan karyawan perusahaan tersebut dan tidak menggunakan mobil yang terdaftar di kawasan itu tak boleh masuk.

Dari Kuala Kencana, kami berempat menelusuri Sungai Ajkwa dan kemudian berhenti di mile 34 untuk menemui para penambang liar di situ. Ketiga pendamping saya agak ragu memenuhi keinginan saya untuk memotret dan berbincang dengan para penambang liar itu. Sebab, kesan yang ada selama ini, para pendulang liar tak bisa dan tak mau didekati orang di luar komunitas mereka. Dan, mereka sangat berbahaya.Untung Suyoto, Dirut Cenderawasih Pos, mau meminta Octovianus yang direktur Radar Timika untuk mencoba mendekati para pendulang itu. ''Cobalah, siapa tahu bisa.'' Ternyata kami bertiga, termasuk Teuku Mahmud yang akrab dipanggil Mufi, pun berkesempatan berbincang dengan para pendulang itu.

Sebelum ke lokasi pendulang liar itu, kami sempat bertandang ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) yang dibangun Freeport untuk masyarakat di sekitar daerah tambang mereka. Rumah sakit yang dikelola Yayasan Charitas itu tidak luas. Total bangunannya hanya sekitar 10 hektare. Luas tanahnya juga hanya 15 hektare. Bangunannya juga sederhana, dari kayu tetapi kukuh. Karena itu, sepintas rumah sakit itu lebih menyerupai puskesmas.

Tetapi, cobalah masuk dan bersiaplah untuk terkejut. Sebab, fasilitas medis yang ada di situ sangat modern. Misalnya, inkubatornya. Alat penghangat bayi itu termasuk yang modern. Ini sebabnya beberapa bayi yang lahir premature, bahkan yang bobotnya hanya 900 gram, bisa hidup. Ketika kami berkunjung ke situ, seorang bayi yang lahir kurang dari 900 gram baru saja berulang tahun yang ke tiga. Luar biasa. Fasilitas lain di situ yang juga terbilang modern adalah peralatan UGD, ICU, dan NICU (ICU untuk bayi). Ranjang-ranjangnya bisa dinaikturunkan seperti yang ada di ruma sakit-rumah sakit internasional di kota-kota besar.

Rumah sakit yang berdiri pada 1998 itu memiliki bagian gigi, radiologi, dan patologi dengan peralatan modern. Di situ juga ada ruang bersalin dan kamar bedah yang fasilitasnya tak kalah dengan rumah sakit internasional di kota besar. Tak jauh dari bangunan utama rumah sakit, ada sebuah unit khusus penanganan dan penelitian malaria dan TBC. Penyakit khas Papua.

Dan, semua fasilitas itu bisa dinikmati oleh tujuh suku asli di Timika (Amungmee, Me, Moni, Nduga, Kamoro, Dani, dan Damai) secara cuma-cuma. Gratis. Apa pun jenis pengobatannya, gratis. Termasuk obat, operasi, dan ambulans bila diperlukan. Bahkan jika si pasien terpaksa harus dirujuk ke luar negeri -apalagi cuma ke Makassar, Denpasar, Surabaya, atau Jakarta.

''Sampai sekarang sudah lebih dari 120.000 orang pasien yang kami layani dengan cuma-cuma di sini,'' jelas dr Paulus S. Sugiarto SpB, direktur RSMM, ketika menemui kami berempat.Menjelang makan malam, kami berempat kembali ke hotel. Tetapi, ini pun tidak lama karena perut sudah sangat lapar. Dengan didampingi Budiman Moerdijat, corporate communication manager Freeport Indonesia yang baru tiba dari Jakarta, kami makan di warung seafood Surabaya yang cukup terkenal di Timika.

Begitu selesai makan, kami segera pulang karena esoknya harus siap di lobi pada pukul 05.30 WIT. Kalau kami berangkat lebih dari pukul 06.00, bisa dipastikan takkan bisa sampai ke Grasberg. Apalagi masih mau mampir Tembagapura. Sebab, cuaca di Tembagapura sampai Grasberg sangat sulit ditebak dan memiliki curah hujan tertinggi. Dengan kata lain, daerah di dataran tinggi ini selalu mendung dan hujan setelah pukul 14.00.

Dengan menggunakan mobil four wheels drive yang berbendera kecil di bagian atas, menjelang pukul 06.00 kami sudah meluncur. Mobil yang kami gunakan pada hari kedua itu tidak sama dengan yang kami pakai sehari sebelumnya. ''Mobil yang boleh naik ke atas hanya yang pakai bendera seperti ini. Selain ini, tidak boleh karena berbahaya. Bisa digilas haul truck-haul truck di atas,'' jelas Budiman yang mantan wartawan the Jakarta Post.Hingga tiba di Tembagapura, saya belum paham apa yang dimaksud Budiman itu. Sebab, ketika bertemu dengan Steve yang satu departemen dengan Budiman dan Sinta Sirait, vice president Freeport Indonesia, kami tidak membahas hal itu.

Saya baru ngeh dengan penjelasan itu setelah berada di Grasberg, yang ada di ketinggian 4.285 meter di atas permukaan laut (dpl). Di ketinggian itu, oksigen sudah sangat tipis. Bahkan, sebelum sampai ke situ pun saya sudah merasa agak sesak dan pusing. Tak jauh dari Grasberg adalah puncak Cartenz yang terkenal bersalju abadi, dengan ketinggian sekitar 6.000 meter dpl.
Berada di Grasberg adalah pengalaman tersendiri. Sebab, di areal tambang terbuka (open pit) itu justru banyak truk raksasa yang berkeliaran. Padahal, untuk naik ke tempat itu, kami harus menggunakan sky tram yang menaikkan kami sampai di ketinggian lebih dari 700 meter dari permukaan tanah. Atau dari ketinggian 2.800 mdpl sampai 3.500 mdpl.

Yang ada di benak saya, bagaimana truk-truk itu bisa dibawa naik? Padahal, bobotnya, ya ampun. Kemampuan angkutnya saja rata-rata 300 ton. Bahkan, ada yang sampai 330 ton. Terkecil, kapasitasnya 280 ton sekali angkut. Tinggi truk-truk itu sekitar 10 meter.Begitu berat dan tingginya sehingga tidak mudah untuk melihat ke bawah. Jarak pandang para pengemudi ke bawah adalah tujuh meter. Jadi, mobil atau apa pun yang tingginya di bawah itu sudah pasti tak terlihat. Belum lagi beratnya kendaraan yang membuat mereka takkan bisa merasakan apa-apa ketika menggilas mobil-mobil kecil. Menggilas truk biasa pun, mereka takkan bia merasakan. Apalagi mobil sekecil jip. Itulah sebabnya mobil-mobil kecil yang melintasi jalur raksasa-raksasa itu harus berbendera. ''Supaya terlihat para sopir haul truck,'' tambah Budiman.

Tentang Grasberg sendiri, sebagai informasi, itu areal tambang dengan kandungan emas terbanyak di dunia dan kandungan tembaga terbanyak kedua di dunia. Keistimewaan Grasberg, kandungan emas dan tembaga berada di permukaan dan di bawah. Karena itu, penambangan bisa dilakukan dari atas (open pit) dengan cara menyingkap sedikit permukaan dan melalui bawah tanah (underground).

Penambangan Grasberg yang open pit tak lama lagi berakhir, digantikan dengan bawah tanah. Tetapi, puncak itu sangat indah meski anginnya sangat kuat dan sangat dingin. Tetapi, mungkin karena keindahannya, sambil menanti habisnya emas dan tembaga yang di atas, di situ akan dibangun lapangan golf mini 5 holes hanya untuk putting. Di ketinggian seperti itu, dengan angin sekencang itu, tak mungkin pegolf profesional sekali pun bisa nge-chip. ''Akhir Februari lapangan itu selesai dan siap untuk dipakai,'' kata Nurhadi Sabirin, manajer operasional Grasberg, yang menemui kami di puncak gunung batu itu.

Agak lewat jam makan siang, kami kembali ke Tembagapura. Makan siang di Restoran Lupalelah, lantas turun ke Institut Pertambangan Nemangkawi. Sebuah pusat pelatihan yang diperuntukan bagi putra-putri tujuh suku asli di Mimika. Sesuai namanya, lembaga pendidikan yang kini dikepalai Agus Winarko itu bertugas menyiapkan tenaga-tenaga terampil yang siap untuk dipekerjakan di semua departemen di Timika. Tak terkecuali pengemudi kendaraan-kendaraan raksasa pengangkut hasil tambang. Dan, kini sudah ada beberapa wanita pengemudi truk-truk raksasa yang dihasilkan lembaga itu.

Hebatnya lembaga milik Freeport itu, semua siswa dibayar sejak hari pertama masuk sekolah. Seleksi di situ tidak berdasar ijazah, tapi kemauan belajar. Karena itu, ada beberapa siswa di situ yang saat masuk belum bisa membaca, apalagi menulis. Tetapi, yang sarjana lulusan IPB Bogor pun ada.Pola pengajaran di situ tidak hanya sebatas teori, tetapi lebih banyak praktik. Kecuali untuk mengemudikan haul truck. Mereka menggunakan simulator yang computerized sehingga bisa memberikan sensasi dan pengalaman yang sama dengan saat mengemudikan kendaraan yang sebenarnya. (Habis)

Sumber : Tabloid Jubi

Share on :
Silahkan berikan komentar melalui Facebook. Jangan lupa login dulu melalui akun facebook anda. Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel atau berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan radarmerauke.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Artikel Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (6-Habis) ini diposting oleh Portal Berita Merauke pada hari Wednesday, 18 February 2009. Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.
 
© Copyright RadarMerauke.com | Portal Berita Merauke @Since 2008 - 2013 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Owner Template | Published by Owner Template and Owner
WWW.RADARMERAUKE.COM - PORTAL BERITA MERAUKE
( www.radarmerauke.me | www.radarmerauke.asia | Email : radarmerauke@gmail.com | radarmerauke@yahoo.com )

Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Bintang Papua, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, suluhpapua, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.