Untuk Dapat Emas, Penambang Setor Rp 100 Ribu Per Bulan
Ke Papua tanpa ke Wamena memang tidak lengkap. Tapi, ke Wamena tanpa ke Timika juga belum sempurna. Sebab, dua kota itu memiliki kehidupan yang bertolak belakang. Padahal, suku asli yang hidup di sana lebih banyak. Salah satunya suku Dani. Apa saja persamaan dan perbedaan kedua kota itu, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) NANY WIJAYA.
UNTUK sampai ke Wamena, kita harus ke Jayapura dulu. Sebab, inilah satu-satunya pintu masuk ke "ibu kota" Lembah Baliem itu. Padahal, tidak ada penerbangan langsung dari luar Papua ke Jayapura. Semua pesawat harus transit di Biak, Sorong, atau Timika.Saya memilih berhenti di Timika karena inilah jalur terpendek dari Surabaya ke Jayapura. Selain ingin melihat dari dekat Kuala Kencana, kotanya Freeport yang dijuluki Amerika-nya Papua, juga untuk menengok harian Radar Timika, anak perusahaan Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group).
Timika memang bukan kota besar. Meski gedung terminalnya tidak besar, Bandara Mozes Kilangan berkelas internasional. Jujur, saya agak kaget ketika memasuki gedung terminalnya. Tidak besar, memang (sesuai kotanya), tetapi bersihnya, rapinya, tertibnya, tak kalah dengan bandara di kota-kota besar.Tidak seperti di Jayapura -apalagi Wamena-, portir di Mozes Kilangan lebih tertib. Jumlahnya juga tidak banyak dan lebih bersifat menunggu penumpang. Penumpang yang tidak membutuhkan portir bisa membawa sendiri bagasinya karena di situ disediakan troli-troli besar.
Yang luar biasa adalah kebersihannya. Tak kalah dengan bandara internasional lain, seperti Cengkareng yang terkenal dan bandara di Makassar yang masih baru dan sangat mewah. Dan, yang bersih bukan hanya ruang tunggu dan ruang kedatangan, tetapi juga toiletnya. Lantainya kering, tidak berbau, klosetnya bersih dan dilengkapi tisu.
Hebatnya lagi, penjemput tidak boleh ikut masuk. Sekalipun itu Dirut Cenderawasih Pos Suyoto dan Oktovianus, direktur Radar Timika, harian terbesar di Timika. Padahal, kedua pimpinan media Jawa Pos Group itu sangat dekat dengan para petinggi Freeport Indonesia, pemilik Bandara Mozes Kilangan. Tetapi, Mufi, staf media relation Freeport di Timika yang ikut menjemput saya, boleh masuk sampai ke tempat saya menunggu bagasi. Ya, pastilah!
Sampai saat meninggalkan Timika saya belum melihat adanya persamaan kota itu dengan Wamena. Saya pikir malah sebaliknya, kedua kota itu memiliki perbedaan yang sangat ekstrem. Seperti langit dan bumi, meski di Timika juga ada suku Dani. Dan, suku Dani bukan satu-satunya suku asli yang hidup di Timika. Di kota tersebut ada tujuh suku asli, yakni Dani, Nduga, Mee atau Ekari, Moni, Kamoro, Amungme, dan Damai. Suku-suku tersebut mendapatkan perhatian khusus dari Freeport. Hak istimewa ketujuh suku itu disebut sebagai hak ulayat.
Bedanya dengan yang di Wamena, suku Dani di Timika tidak mengenakan koteka. Apalagi, berkeliaran dalam keadaan telanjang. Saat pecah perang antarsuku saja, hanya ada sedikit di antara mereka muncul dengan hanya mengenakan pakaian tradisional itu.Mata pencarian suku ini juga berbeda dengan sesamanya yang di Wamena. Mereka bekerja sebagaimana penduduk lain yang bukan asli Papua. Jadi, ada yang bertani, berdagang, bekerja di kantor, atau di toko. Tetapi, tidak sedikit juga yang menjadi penambang liar di areal tambang milik Freeport.
Suku Dani bersama suku lain, seperti Mee, Nduga, Moni, dan Amungme, banyak melakukan penambangan liar di Kampung Arwano, Banti, dan Wah. Kampung-kampung tersebut terletak di sekitar Tembagapura. Jumlah mereka, kalau ditotal, sangat banyak. Bisa mencapai lebih dari 10.000 orang.Dibanding penambang liar lain yang bukan suku asli, mereka lebih beruntung karena mengambil lokasi di sungai yang sangat dekat dengan tambang. Karena letak geografisnya lebih tinggi, mereka bisa mendapatkan lebih banyak emas daripada penambang pendatang yang umumnya mengambil lokasi penambangan di Timika, tepatnya di mile 32-34, yang berada di dataran rendah.
Kalau beruntung, mereka yang menambang di dataran tinggi bisa mendapatkan emas sampai 4-5 gram sehari, per orang. Sedangkan yang di bawah, "Paling juga bisa dapat dua gram. Itu pun jarang. Yang sering ya 1 gram," jelas seorang penambang liar yang kami temui di mile 34.Meski lokasi mereka berbeda, para penambang liar itu bekerja dalam formasi yang sama: berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas dua sampai lima orang. Alat kerjanya juga sama: wajan, karpet kecil, dan sabun deterjen.
Selain itu, modal yang harus dimiliki seorang penambang liar, kabarnya, adalah bukti bahwa dia sudah membayar upeti kepada oknum kepala desa, Rp 100.000 per orang per bulan.Inilah ternyata yang membuat mereka menolak disebut penambang liar. "Kami ini tidak liar. Untuk bisa bekerja di sini kami membayar Rp 100.000 per orang per bulan," jelas mereka secara terpisah.Bila di sepanjang Sungai Ajkwa ada 5.000 penambang liar dan setiap penambang menyetor Rp 100.000, penghasilan si kepala desa bisa mencapai Rp 500 juta per bulan. Wauw! Jika uang setoran itu dibagi rata dengan 20 oknum saja, setiap orang bisa berpenghasilan (lain-lain) Rp 25 juta per bulan. Jangan-jangan uang setoran yang menggiurkan inilah salah satu sebab mengapa penambang liar di sana tidak bisa diberantas.
Dengan bukti itu, mereka bisa memasuki kawasan penambangan liar dengan aman. Kemudian, dengan karpet mereka "menyaring" pasir halus yang mereka dulang dari Sungai Ajkwa. Butiran yang mengandung unsur logam akan menyangkut di bulu-bulu karpet.Setelah itu karpetnya dicuci di wajan dengan menggunakan sabun deterjen. Sabun itu berfungsi untuk mengikat butiran-butiran emas yang sehalus pasir, sehingga terbenam.
Bentuknya yang melengkung di bagian tengah memudahkan pendulang mengumpulkan butiran-butiran berwarna kuning itu. Sedikit demi sedikit, emas-emas yang berhasil didulang itu dikumpulkan. Menjelang sore, dalam perjalanan pulang ke rumah, emas-emas itu disetorkan kepada pengepul. Untuk setiap gram, para pendulang itu mendapatkan Rp 240.000.Kalau mereka bekerja dalam kelompok yang terdiri atas empat orang, bisa dipastikan bahwa setiap hari mereka berpenghasilan empat kali Rp 240.000. Umumnya, mereka bekerja 25 hari dalam sebulan. Sebagian saja yang bekerja 30 hari penuh. "Minggu kami libur. Ada yang istirahat, ada juga yang ke gereja," ujar Bobby, pendulang asal Buton, Sulawesi, yang berkelompok dengan tiga temannya.
Pendulang lain yang lupa saya tanya namanya menjelaskan, dalam sebulan dia dan kelompoknya bisa mendapatkan Rp 25-35 juta. Hasil itu lantas dibagi lima, sesuai anggota kelompoknya."Bekerja seperti ini sangat bergantung pada nasib dan ketekunan. Kalau tekun dan nasib lagi baik, ya dapat banyak. Bisa sampai Rp 10 juta per orang. Tapi, kalau sedang sial, ya hanya dapat Rp 2-3 juta," katanya.
Jumlah pendatang di Timika lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka berasal dari Jawa, Toraja, Bone, dan Makassar. Tetapi, hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai penambang liar. Sisanya bekerja sebagaimana pendatang di provinsi lain. Ada yang jadi petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, dan anggota militer. Ada juga yang menjadi guru dan penjaga toko.Tentang pendatang asal Toraja, yang juga banyak tinggal di Wamena, kabarnya memilih hijrah di Papua karena memiliki kultur dan adat yang hampir sama.
Misalnya, dalam hal membunuh babi. Meski jenis babinya berbeda, penduduk asli kedua daerah itu sama-sama menggunakan babi sebagai makanan utama dalam pesta-pesta adat. Cara mematikannya pun nyaris sama, yakni sama-sama menikamnya hidup-hidup. Yang di Papua menikamnya sampai mati dengan anak panah, yang di Toraja dengan pisau.Bicara tentang babi, seorang teman yang sangat mengenal profil hewan-hewan liar menjelaskan bahwa babi di Wamena memang tidak sama dengan yang di Jawa. Babi di Wamena adalah hasil persilangan antara babi biasa (yang berwarna pink dan tidak berbulu) dengan babi hutan. Perkawinan silang ini terjadi karena babi hutan Wamena cukup dekat dengan manusia. Karena itu, banyak yang jadi jinak dan dipelihara.
"Dagingnya lebih gurih, tidak sama dengan gurihnya babi biasa maupun babi hutan. Lemaknya dua lapis. Tak seperti babi biasa. Karena itu, orang di sana sering memakan babi hasil persilangan itu dengan kulitnya," kata Singky Soewadji, teman saya itu.Di Timika, babi hasil persilangan itu ada dua jenis. Yang kecil hasil persilangan alami, lokal. Sedangkan yang besar, "Bisa sampai 60 kilogram beratnya, didatangkan dari Bali. Pemda mendatangkannya secara rutin sebagai proyek pembibitan. Untuk babi yang besar itu kami di sini menyebutnya babi Inggris. Memang lebih gurih rasanya, beda dengan babi biasa," jelas Oktovianus, direktur harian Radar Timika yang menemani saya dan Suyoto selama dua hari di Timika.
Seperti di Wamena, di Timika pun berlaku ketentuan yang sama bila sopir menabrak babi. Kerugian dihitung berdasarkan puting dan janinnya juga. Ketentuan serupa berlaku di kedua daerah itu, kalau kita menabrak anjing. Hanya, harganya lebih murah.Kalau babi dan anjing dihargai begitu tinggi saat tertabrak, bagaimana dengan manusia? Di Wamena, menabrak orang juga harus bayar. Tetapi, nilainya lebih bisa dinego. Ini berbeda dengan di Timika. Apalagi, kalau yang menabrak pengemudi dari Freeport. Wah, serem.
Kalau sampai menabrak mati mahasiswa, penabrak yang bekerja di Freeport harus membayar denda Rp 1 miliar. Kalau korbannya cuma anak SMA atau lulusan SMA, penabrak harus membayar Rp 500 juta. Pelajar SMP dihargai Rp 250 juta. Anak SD cuma Rp 100 juta. Untuk penabrak yang bukan orang Freeport, dendanya sedikit lebih rendah. Selain denda tradisional itu, si penabrak masih harus berurusan dengan polisi dan pengadilan.Padahal, Freeport sendiri menyediakan fasilitas sekolah keterampilan khusus untuk tujuh suku asli di Kabupaten Mimika, tanpa melihat pendidikan mereka. Yang tidak bisa baca tulis pun boleh ikut belajar di sekolah itu dan digaji. Gaji itu mereka terima setiap bulan, selama mereka bersekolah. Bagaimana kalau tidak cepat lulus? "Ya, dibayar terus sampai lulus," jelas Agus, kepala sekolah itu.
Bukan hanya itu. Freeport juga menyediakan rumah sakit dengan fasilitas yang sangat modern untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada warga dari tujuh suku asli di kawasan tambang itu. Berobat ke luar negeri pun, kabarnya, ketujuh suku asli itu ditanggung Freeport. Wauw!
Sumber : Cenderawasih Pos
Ke Papua tanpa ke Wamena memang tidak lengkap. Tapi, ke Wamena tanpa ke Timika juga belum sempurna. Sebab, dua kota itu memiliki kehidupan yang bertolak belakang. Padahal, suku asli yang hidup di sana lebih banyak. Salah satunya suku Dani. Apa saja persamaan dan perbedaan kedua kota itu, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) NANY WIJAYA.
UNTUK sampai ke Wamena, kita harus ke Jayapura dulu. Sebab, inilah satu-satunya pintu masuk ke "ibu kota" Lembah Baliem itu. Padahal, tidak ada penerbangan langsung dari luar Papua ke Jayapura. Semua pesawat harus transit di Biak, Sorong, atau Timika.Saya memilih berhenti di Timika karena inilah jalur terpendek dari Surabaya ke Jayapura. Selain ingin melihat dari dekat Kuala Kencana, kotanya Freeport yang dijuluki Amerika-nya Papua, juga untuk menengok harian Radar Timika, anak perusahaan Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group).
Timika memang bukan kota besar. Meski gedung terminalnya tidak besar, Bandara Mozes Kilangan berkelas internasional. Jujur, saya agak kaget ketika memasuki gedung terminalnya. Tidak besar, memang (sesuai kotanya), tetapi bersihnya, rapinya, tertibnya, tak kalah dengan bandara di kota-kota besar.Tidak seperti di Jayapura -apalagi Wamena-, portir di Mozes Kilangan lebih tertib. Jumlahnya juga tidak banyak dan lebih bersifat menunggu penumpang. Penumpang yang tidak membutuhkan portir bisa membawa sendiri bagasinya karena di situ disediakan troli-troli besar.
Yang luar biasa adalah kebersihannya. Tak kalah dengan bandara internasional lain, seperti Cengkareng yang terkenal dan bandara di Makassar yang masih baru dan sangat mewah. Dan, yang bersih bukan hanya ruang tunggu dan ruang kedatangan, tetapi juga toiletnya. Lantainya kering, tidak berbau, klosetnya bersih dan dilengkapi tisu.
Hebatnya lagi, penjemput tidak boleh ikut masuk. Sekalipun itu Dirut Cenderawasih Pos Suyoto dan Oktovianus, direktur Radar Timika, harian terbesar di Timika. Padahal, kedua pimpinan media Jawa Pos Group itu sangat dekat dengan para petinggi Freeport Indonesia, pemilik Bandara Mozes Kilangan. Tetapi, Mufi, staf media relation Freeport di Timika yang ikut menjemput saya, boleh masuk sampai ke tempat saya menunggu bagasi. Ya, pastilah!
Sampai saat meninggalkan Timika saya belum melihat adanya persamaan kota itu dengan Wamena. Saya pikir malah sebaliknya, kedua kota itu memiliki perbedaan yang sangat ekstrem. Seperti langit dan bumi, meski di Timika juga ada suku Dani. Dan, suku Dani bukan satu-satunya suku asli yang hidup di Timika. Di kota tersebut ada tujuh suku asli, yakni Dani, Nduga, Mee atau Ekari, Moni, Kamoro, Amungme, dan Damai. Suku-suku tersebut mendapatkan perhatian khusus dari Freeport. Hak istimewa ketujuh suku itu disebut sebagai hak ulayat.
Bedanya dengan yang di Wamena, suku Dani di Timika tidak mengenakan koteka. Apalagi, berkeliaran dalam keadaan telanjang. Saat pecah perang antarsuku saja, hanya ada sedikit di antara mereka muncul dengan hanya mengenakan pakaian tradisional itu.Mata pencarian suku ini juga berbeda dengan sesamanya yang di Wamena. Mereka bekerja sebagaimana penduduk lain yang bukan asli Papua. Jadi, ada yang bertani, berdagang, bekerja di kantor, atau di toko. Tetapi, tidak sedikit juga yang menjadi penambang liar di areal tambang milik Freeport.
Suku Dani bersama suku lain, seperti Mee, Nduga, Moni, dan Amungme, banyak melakukan penambangan liar di Kampung Arwano, Banti, dan Wah. Kampung-kampung tersebut terletak di sekitar Tembagapura. Jumlah mereka, kalau ditotal, sangat banyak. Bisa mencapai lebih dari 10.000 orang.Dibanding penambang liar lain yang bukan suku asli, mereka lebih beruntung karena mengambil lokasi di sungai yang sangat dekat dengan tambang. Karena letak geografisnya lebih tinggi, mereka bisa mendapatkan lebih banyak emas daripada penambang pendatang yang umumnya mengambil lokasi penambangan di Timika, tepatnya di mile 32-34, yang berada di dataran rendah.
Kalau beruntung, mereka yang menambang di dataran tinggi bisa mendapatkan emas sampai 4-5 gram sehari, per orang. Sedangkan yang di bawah, "Paling juga bisa dapat dua gram. Itu pun jarang. Yang sering ya 1 gram," jelas seorang penambang liar yang kami temui di mile 34.Meski lokasi mereka berbeda, para penambang liar itu bekerja dalam formasi yang sama: berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas dua sampai lima orang. Alat kerjanya juga sama: wajan, karpet kecil, dan sabun deterjen.
Selain itu, modal yang harus dimiliki seorang penambang liar, kabarnya, adalah bukti bahwa dia sudah membayar upeti kepada oknum kepala desa, Rp 100.000 per orang per bulan.Inilah ternyata yang membuat mereka menolak disebut penambang liar. "Kami ini tidak liar. Untuk bisa bekerja di sini kami membayar Rp 100.000 per orang per bulan," jelas mereka secara terpisah.Bila di sepanjang Sungai Ajkwa ada 5.000 penambang liar dan setiap penambang menyetor Rp 100.000, penghasilan si kepala desa bisa mencapai Rp 500 juta per bulan. Wauw! Jika uang setoran itu dibagi rata dengan 20 oknum saja, setiap orang bisa berpenghasilan (lain-lain) Rp 25 juta per bulan. Jangan-jangan uang setoran yang menggiurkan inilah salah satu sebab mengapa penambang liar di sana tidak bisa diberantas.
Dengan bukti itu, mereka bisa memasuki kawasan penambangan liar dengan aman. Kemudian, dengan karpet mereka "menyaring" pasir halus yang mereka dulang dari Sungai Ajkwa. Butiran yang mengandung unsur logam akan menyangkut di bulu-bulu karpet.Setelah itu karpetnya dicuci di wajan dengan menggunakan sabun deterjen. Sabun itu berfungsi untuk mengikat butiran-butiran emas yang sehalus pasir, sehingga terbenam.
Bentuknya yang melengkung di bagian tengah memudahkan pendulang mengumpulkan butiran-butiran berwarna kuning itu. Sedikit demi sedikit, emas-emas yang berhasil didulang itu dikumpulkan. Menjelang sore, dalam perjalanan pulang ke rumah, emas-emas itu disetorkan kepada pengepul. Untuk setiap gram, para pendulang itu mendapatkan Rp 240.000.Kalau mereka bekerja dalam kelompok yang terdiri atas empat orang, bisa dipastikan bahwa setiap hari mereka berpenghasilan empat kali Rp 240.000. Umumnya, mereka bekerja 25 hari dalam sebulan. Sebagian saja yang bekerja 30 hari penuh. "Minggu kami libur. Ada yang istirahat, ada juga yang ke gereja," ujar Bobby, pendulang asal Buton, Sulawesi, yang berkelompok dengan tiga temannya.
Pendulang lain yang lupa saya tanya namanya menjelaskan, dalam sebulan dia dan kelompoknya bisa mendapatkan Rp 25-35 juta. Hasil itu lantas dibagi lima, sesuai anggota kelompoknya."Bekerja seperti ini sangat bergantung pada nasib dan ketekunan. Kalau tekun dan nasib lagi baik, ya dapat banyak. Bisa sampai Rp 10 juta per orang. Tapi, kalau sedang sial, ya hanya dapat Rp 2-3 juta," katanya.
Jumlah pendatang di Timika lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka berasal dari Jawa, Toraja, Bone, dan Makassar. Tetapi, hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai penambang liar. Sisanya bekerja sebagaimana pendatang di provinsi lain. Ada yang jadi petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, dan anggota militer. Ada juga yang menjadi guru dan penjaga toko.Tentang pendatang asal Toraja, yang juga banyak tinggal di Wamena, kabarnya memilih hijrah di Papua karena memiliki kultur dan adat yang hampir sama.
Misalnya, dalam hal membunuh babi. Meski jenis babinya berbeda, penduduk asli kedua daerah itu sama-sama menggunakan babi sebagai makanan utama dalam pesta-pesta adat. Cara mematikannya pun nyaris sama, yakni sama-sama menikamnya hidup-hidup. Yang di Papua menikamnya sampai mati dengan anak panah, yang di Toraja dengan pisau.Bicara tentang babi, seorang teman yang sangat mengenal profil hewan-hewan liar menjelaskan bahwa babi di Wamena memang tidak sama dengan yang di Jawa. Babi di Wamena adalah hasil persilangan antara babi biasa (yang berwarna pink dan tidak berbulu) dengan babi hutan. Perkawinan silang ini terjadi karena babi hutan Wamena cukup dekat dengan manusia. Karena itu, banyak yang jadi jinak dan dipelihara.
"Dagingnya lebih gurih, tidak sama dengan gurihnya babi biasa maupun babi hutan. Lemaknya dua lapis. Tak seperti babi biasa. Karena itu, orang di sana sering memakan babi hasil persilangan itu dengan kulitnya," kata Singky Soewadji, teman saya itu.Di Timika, babi hasil persilangan itu ada dua jenis. Yang kecil hasil persilangan alami, lokal. Sedangkan yang besar, "Bisa sampai 60 kilogram beratnya, didatangkan dari Bali. Pemda mendatangkannya secara rutin sebagai proyek pembibitan. Untuk babi yang besar itu kami di sini menyebutnya babi Inggris. Memang lebih gurih rasanya, beda dengan babi biasa," jelas Oktovianus, direktur harian Radar Timika yang menemani saya dan Suyoto selama dua hari di Timika.
Seperti di Wamena, di Timika pun berlaku ketentuan yang sama bila sopir menabrak babi. Kerugian dihitung berdasarkan puting dan janinnya juga. Ketentuan serupa berlaku di kedua daerah itu, kalau kita menabrak anjing. Hanya, harganya lebih murah.Kalau babi dan anjing dihargai begitu tinggi saat tertabrak, bagaimana dengan manusia? Di Wamena, menabrak orang juga harus bayar. Tetapi, nilainya lebih bisa dinego. Ini berbeda dengan di Timika. Apalagi, kalau yang menabrak pengemudi dari Freeport. Wah, serem.
Kalau sampai menabrak mati mahasiswa, penabrak yang bekerja di Freeport harus membayar denda Rp 1 miliar. Kalau korbannya cuma anak SMA atau lulusan SMA, penabrak harus membayar Rp 500 juta. Pelajar SMP dihargai Rp 250 juta. Anak SD cuma Rp 100 juta. Untuk penabrak yang bukan orang Freeport, dendanya sedikit lebih rendah. Selain denda tradisional itu, si penabrak masih harus berurusan dengan polisi dan pengadilan.Padahal, Freeport sendiri menyediakan fasilitas sekolah keterampilan khusus untuk tujuh suku asli di Kabupaten Mimika, tanpa melihat pendidikan mereka. Yang tidak bisa baca tulis pun boleh ikut belajar di sekolah itu dan digaji. Gaji itu mereka terima setiap bulan, selama mereka bersekolah. Bagaimana kalau tidak cepat lulus? "Ya, dibayar terus sampai lulus," jelas Agus, kepala sekolah itu.
Bukan hanya itu. Freeport juga menyediakan rumah sakit dengan fasilitas yang sangat modern untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada warga dari tujuh suku asli di kawasan tambang itu. Berobat ke luar negeri pun, kabarnya, ketujuh suku asli itu ditanggung Freeport. Wauw!
Sumber : Cenderawasih Pos