Saudara Mati Potong Jari, Tabrak Babi Hitung Puting
Bukan hanya memotret suku Dani di Kurulu yang istimewa dan unik. Berkeliling Wamena dan desa-desa di sekitarnya juga merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan. Paling tidak, itulah yang dialami wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) Nany Wijaya pada hari keduanya di ibu kota Lembah Baliem itu.
Kalau ada yang paling saya tunggu selama dua hari di Lembah Baliem, itu adalah matahari. Nikmatnya tinggal di kaki Pegunungan Jayawijaya ini adalah saat mentari mulai meninggi. Sebab, ketika itu cuaca menjadi hangat, tapi tidak terlalu panas. Sedangkan saat mentari tenggelam, apalagi tengah malam, hujan pula, dinginnya luar biasa. Karena itu, tidur pun harus pakai kaus kaki dan tutup kepala. Mirip tidur di musim dingin.
Karena cuaca sedang bersahabat dan tak mau kehilangan momentum, saya yang hari itu ditemani Dirut Cendarawasih Pos, Suyoto dan korespondennya, Djoko Setyanto, serta sopir sewaan asal Toraja, Yavet, sudah meninggalkan hotel pada pukul 09.30 waktu setempat. Di hari kedua itu kami tidak punya sasaran khusus seperti pada hari pertama. Kami hanya berkeliling kota. Menikmati pemandangan di pusat Kota Wamena. Memotret orang-orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak di bahu atau yang membawa noken (tas rajutan khas Papua).
Cara penduduk asli Papua membawa noken, menurut saya, sangat unik. Mereka tidak menggantungkan tali di bahu, melainkan di ubun-ubun. Padahal, noken itu bukan sekadar hiasan atau untuk menyimpan dompet, karena orang sana tidak biasa menyimpan uangnya di dompet, apalagi kemudian menaruhnya di noken.
Tas rajutan yang warnanya khas-merah, putih, kuning, hijau, biru dan hitam- itu juga berfungsi untuk membawa barang dagangan. Mulai sayur, buah sampai beras, ikan dan barang-barang dagangan, serta kebutuhan hidup lainnya.Apa pun isi noken itu, tak terkecuali yang berat, cara membawanya selalu dengan dilingkarkan di kepala. Sehingga bisa dibayangkan, betapa kuat leher mereka. Seorang dokter ahli tulang pernah mengatakan kepada saya, orang-orang yang suka membawa beban di kepala, lehernya pasti kuat dan tidak akan mengalami kekeroposan.Di Wamena, sepertinya kepala juga berfungsi sebagai bahu, untuk membawa beban. Dengan demikian, kayu pun mereka bawa dengan cara menempatkannya di kepala. Padahal, kayu yang mereka bawa tidak sedikit, karena memang untuk dijual sebagai kayu bakar, bukan untuk dapur mereka sendiri.
Cara orang Wamena berdagang juga unik. Barang dagangan mereka tidak selalu banyak. Terkadang hanya beberapa genggam. Padahal, untuk membawa barang-barang itu, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa alas kaki. Tetapi, ada juga yang membawa cukup banyak barang dagangan.
Apakah yang membawa banyak barang dagangan itu berarti lebih modern atau lebih pintar, sama sekali tidak. Yang menentukan banyak sedikitnya barang dagangan yang mereka bawa ke pasar adalah berapa banyak yang bisa mereka petik atau mereka miliki.Cara menjualnya pun sangat khusus. Mereka tidak menggunakan meja-meja seperti yang kita lihat di pasar-pasar tradisional di Jawa. Pedagang di sana hanya meletakkan dagangan di tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh atau selonjor di sampingnya.
Untuk melindungi kepala dari panas dan hujan, biasanya mereka memasang payung. Payung merupakan salah satu barang favorit. Semula heran juga saya melihat seseorang yang berkulit sangat gelap, berjalan sambil membawa payung yang terbuka. Padahal, kakinya tanpa alas. Lantas yang dipayungi apa?
Bagi saya, pemandangan seperti itu tentu menarik untuk dipotret. Dan, saya tidak punya kesulitan untuk memotret mereka. Tentu saja kalau saya membidiknya dari jauh, dan yang dibidik tidak menyadari. Tetapi, kalau tahu sedang dipotret, mereka pasti minta bayaran. Minimal Rp 5.000. Sedihnya, setiap melihat orang membawa kamera, mereka pasti berpose. Tentu dengan harapan bisa meminta bayaran.Kayaknya angka Rp 5.000 itu standar harga untuk sekali pemotretan. Jadi, ke mana pun saya memotret, pasti harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiap orang, sekali jepret.Mengapa saya tidak mencoba kabur saja? Toh saya membawa mobil sewaan. Ternyata ini bukan ide yang baik karena bisa ribut dan kita bisa mendapat masalah. Tak peduli Anda turis atau bukan. Wajah Anda mirip mereka atau tidak. Kalau memotret, ya harus bayar.
Tradisi minta bayaran setiap kali dipotret itu ada di mana-mana. Jadi, tidak hanya di Kurulu, kampung tradisional Suku Dani. Sampai di desa-desa terpencil pun, mereka minta bayaran ketika dipotret. Terutama yang masih mengenakan koteka atau yang cara berpakaiannya masih sangat sederhana.Mereka yang sudah mengerti berdagang atau mengenal kehidupan modern, tak terlalu mempermasalahkan. Sesekali saja mereka minta bayaran. Tetapi, kalau Anda membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih, pasti mereka tak lagi mempersoalkan itu.
Nah, untuk mereka yang masih berkoteka, biasanya tak mau dibayar Rp 5.000. Mereka akan minta Rp 50.000 atau sedikitnya Rp 20.000. Masalahnya, orang-orang yang berkoteka itu berkeliaran di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Sehingga bisa dibayangkan indahnya foto kita kalau objeknya adalah pemakai koteka di antara kehidupan modern, yang ditandai dengan orang berpakaian seperti kita, mobil atau motor. Tapi, becak dan sepeda juga bisa jadi pertanda kehidupan yang tidak lagi primitif lho!
Anda pasti heran mendengar kata 'becak.' Ini beneran! Di Wamena, becak merupakan salah satu alat transportasi. Harga sebuah becak di sana bisa sampai Rp 2 juta karena barang itu didatangkan dari Jawa Timur, menggunakan pesawat. Karena itu, bentuk becak di sana mirip sekali dengan becak yang ada di Jawa Timur.Ongkos Rp 50.000 untuk satu foto bukan masalah, kalau Anda bisa mendapatkan objek yang sudah sangat langka: Orang berkoteka, atau bertelanjang dada dengan buku-buku jari yang putus. Atau yang daun telinganya terkoyak rapi.Mereka itu adalah orang-orang langka yang bakal segera musnah. Jari yang putus dan daun telinga yang robek adalah pertanda bahwa mereka pernah menjalani upacara adat yang kini makin sirna. Yakni, upacara potong jari atau merobek daun telinga, setiap kali saudara kandungnya meninggal dunia.
Pemotongan buku-buku jari dan daun telinga itu dilakukan dengan menggunakan kapak batu. Jadi, bisa dibayangkan, berapa jari yang masih tersisa pada seseorang yang kehilangan enam saudara kandungnya. Satu saudara, satu buku jari. Jadi, kalau enam saudara, berarti kehilangan enam buku jari, alias tiga jari.Banyak sekali objek foto yang menarik di Wamena. Dan itu tidak hanya orang. Babi pun bisa menjadi objek foto yang cantik di sana. Tapi, apa juga harus membayar, seperti kalau kita memotret manusia? Ini pengalaman saya. Ceritanya, menjelang pulang, saya mampir ke pasar terbesar di Wamena. Namanya Pasar Jibama.
Selain memotret para pedagang bunga abadi dan buah merah, di pasar itu saya memotret para penjual babi. Ini karena babi di sana diperdagangkan dalam keadaan hidup, seperti orang di Jawa memperjualbelikan ayam kampung di pasar-pasar tradisional.Anehnya lagi, yang mereka namakan babi itu berbeda sekali dengan babi yang saya lihat selama ini. Babi di sana berbulu tebal dan sesekali bercula. Lebih menyerupai babi hutan (celeng). Tetapi, mereka menolak ketika saya sebut binatang itu sebagai babi hutan.
Namun, saya juga tak yakin dengan ucapan saya. Sebab, setahu saya, babi hutan berwarna hitam. Di sana, babi hutannya ada yang berwarna merah muda seperti babi pada umumnya. Bahkan, ada juga yang berwarna cokelat seperti kijang. Aneh kan?Saya lantas memotretnya. Karena itu binatang, saya tidak siap mental untuk dimintai bayaran. Sehingga, betapa terkejut dan paniknya saya ketika seorang pedagang memaksa saya membeli babi kecilnya dengan harga Rp 1,25 juta hanya karena saya telanjur memotretnya.
Karena nilai itu tinggi sekali dan tidak mungkin juga saya membelinya, saya pun kabur. Si pedagang meneriaki saya dengan suara agak tinggi, menggunakan bahasa daerah mereka, yang tentu saja tidak saya pahami. Untung ada Djoko, koresponden Cenderawasih Pos yang menemani saya. Keadaan pun bisa diredam meski si pedagang lantas melotot marah kepada saya.Babi memang binatang yang sangat berharga di Wamena. Bukan cuma dari nilai rupiahnya yang bisa Rp 4 juta sampai 5 juta per ekor, tetapi juga kegunaan dan nilai psikologisnya.
Kegunaan babi bukan cuma untuk dimakan. Babi juga untuk melindungi tubuh mereka dari serangan nyamuk Papua yang terkenal keganasannya. Caranya, dengan mengoleskan minyak babi ke sekujur tubuh mereka.Selain untuk menghalau nyamuk, minyak babi mereka gunakan untuk meminyaki rambut. Dan menghiasi wajah. Hiasan wajah mereka ada dua warna, putih dan hitam. Untuk warna hitam, mereka menggunakan minyak babi yang dicampur dengan jelaga. Warna putih, biasanya dari kapur.
Yang lebih istimewa, babi juga disusui. Tradisi itu masih ada di suku-suku yang hidup di pedalaman. Tapi, bukan dengan menggunakan botol susu lho! Mana ada?Jadi, kalau sedang punya bayi, mereka akan membagi air susunya. Payudara yang satu untuk menyusui sang anak, payudara lainnya buat si babi. Wanita yang suka menyusui bayi babi bisa dilihat dari bentuk putingnya.Karena itu, berhati-hatilah kalau mengemudikan mobil di sana. Kalau sampai menabrak mati babi, bisa dipastikan sopir itu akan miskin. Lebih celaka lagi kalau yang ditabrak adalah babi betina. Makin sengsara kalau babi itu sudah punya anak. Sebab, dia harus membayar ganti rugi Rp 8 juta untuk si babi. Ini harga mati, tak bisa ditawar. Polisi pun tak bisa membantu.
Kalau babi itu betina, harga tersebut masih harus ditambah dengan Rp 1 juta per puting susunya. Padahal, babi di Wamena bisa punya 10-20 puting susu, sesuai jumlah anak yang pernah dilahirkan. Kalau putingnya 20, ya berarti tambah Rp 20 juta.Kalau si babi dalam keadaan bunting, lebih parah lagi. Selain membayar tambahan berdasarkan jumlah putingnya, si sopir harus membayar lagi untuk janin di rahim si babi. Untuk menentukan ini, babi akan dibedah dan janinnya dihitung. Satu janin dihargai Rp 1 juta. Bayangkan kalau di perut itu ada 10 janin.
Begitu berharganya babi di sana, begitu tingginya rasa sayang mereka terhadap binatang yang satu itu. Tetapi, mengapa mereka tega memanahnya hidup-hidup pada saat ada pesta atau festival budaya? Mungkin itulah uniknya budaya asli Papua. (besok: mengenal para penambang (emas) liar)
Sumber : Cenderawasih Pos
Bukan hanya memotret suku Dani di Kurulu yang istimewa dan unik. Berkeliling Wamena dan desa-desa di sekitarnya juga merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan. Paling tidak, itulah yang dialami wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) Nany Wijaya pada hari keduanya di ibu kota Lembah Baliem itu.
Kalau ada yang paling saya tunggu selama dua hari di Lembah Baliem, itu adalah matahari. Nikmatnya tinggal di kaki Pegunungan Jayawijaya ini adalah saat mentari mulai meninggi. Sebab, ketika itu cuaca menjadi hangat, tapi tidak terlalu panas. Sedangkan saat mentari tenggelam, apalagi tengah malam, hujan pula, dinginnya luar biasa. Karena itu, tidur pun harus pakai kaus kaki dan tutup kepala. Mirip tidur di musim dingin.
Karena cuaca sedang bersahabat dan tak mau kehilangan momentum, saya yang hari itu ditemani Dirut Cendarawasih Pos, Suyoto dan korespondennya, Djoko Setyanto, serta sopir sewaan asal Toraja, Yavet, sudah meninggalkan hotel pada pukul 09.30 waktu setempat. Di hari kedua itu kami tidak punya sasaran khusus seperti pada hari pertama. Kami hanya berkeliling kota. Menikmati pemandangan di pusat Kota Wamena. Memotret orang-orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak di bahu atau yang membawa noken (tas rajutan khas Papua).
Cara penduduk asli Papua membawa noken, menurut saya, sangat unik. Mereka tidak menggantungkan tali di bahu, melainkan di ubun-ubun. Padahal, noken itu bukan sekadar hiasan atau untuk menyimpan dompet, karena orang sana tidak biasa menyimpan uangnya di dompet, apalagi kemudian menaruhnya di noken.
Tas rajutan yang warnanya khas-merah, putih, kuning, hijau, biru dan hitam- itu juga berfungsi untuk membawa barang dagangan. Mulai sayur, buah sampai beras, ikan dan barang-barang dagangan, serta kebutuhan hidup lainnya.Apa pun isi noken itu, tak terkecuali yang berat, cara membawanya selalu dengan dilingkarkan di kepala. Sehingga bisa dibayangkan, betapa kuat leher mereka. Seorang dokter ahli tulang pernah mengatakan kepada saya, orang-orang yang suka membawa beban di kepala, lehernya pasti kuat dan tidak akan mengalami kekeroposan.Di Wamena, sepertinya kepala juga berfungsi sebagai bahu, untuk membawa beban. Dengan demikian, kayu pun mereka bawa dengan cara menempatkannya di kepala. Padahal, kayu yang mereka bawa tidak sedikit, karena memang untuk dijual sebagai kayu bakar, bukan untuk dapur mereka sendiri.
Cara orang Wamena berdagang juga unik. Barang dagangan mereka tidak selalu banyak. Terkadang hanya beberapa genggam. Padahal, untuk membawa barang-barang itu, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa alas kaki. Tetapi, ada juga yang membawa cukup banyak barang dagangan.
Apakah yang membawa banyak barang dagangan itu berarti lebih modern atau lebih pintar, sama sekali tidak. Yang menentukan banyak sedikitnya barang dagangan yang mereka bawa ke pasar adalah berapa banyak yang bisa mereka petik atau mereka miliki.Cara menjualnya pun sangat khusus. Mereka tidak menggunakan meja-meja seperti yang kita lihat di pasar-pasar tradisional di Jawa. Pedagang di sana hanya meletakkan dagangan di tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh atau selonjor di sampingnya.
Untuk melindungi kepala dari panas dan hujan, biasanya mereka memasang payung. Payung merupakan salah satu barang favorit. Semula heran juga saya melihat seseorang yang berkulit sangat gelap, berjalan sambil membawa payung yang terbuka. Padahal, kakinya tanpa alas. Lantas yang dipayungi apa?
Bagi saya, pemandangan seperti itu tentu menarik untuk dipotret. Dan, saya tidak punya kesulitan untuk memotret mereka. Tentu saja kalau saya membidiknya dari jauh, dan yang dibidik tidak menyadari. Tetapi, kalau tahu sedang dipotret, mereka pasti minta bayaran. Minimal Rp 5.000. Sedihnya, setiap melihat orang membawa kamera, mereka pasti berpose. Tentu dengan harapan bisa meminta bayaran.Kayaknya angka Rp 5.000 itu standar harga untuk sekali pemotretan. Jadi, ke mana pun saya memotret, pasti harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiap orang, sekali jepret.Mengapa saya tidak mencoba kabur saja? Toh saya membawa mobil sewaan. Ternyata ini bukan ide yang baik karena bisa ribut dan kita bisa mendapat masalah. Tak peduli Anda turis atau bukan. Wajah Anda mirip mereka atau tidak. Kalau memotret, ya harus bayar.
Tradisi minta bayaran setiap kali dipotret itu ada di mana-mana. Jadi, tidak hanya di Kurulu, kampung tradisional Suku Dani. Sampai di desa-desa terpencil pun, mereka minta bayaran ketika dipotret. Terutama yang masih mengenakan koteka atau yang cara berpakaiannya masih sangat sederhana.Mereka yang sudah mengerti berdagang atau mengenal kehidupan modern, tak terlalu mempermasalahkan. Sesekali saja mereka minta bayaran. Tetapi, kalau Anda membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih, pasti mereka tak lagi mempersoalkan itu.
Nah, untuk mereka yang masih berkoteka, biasanya tak mau dibayar Rp 5.000. Mereka akan minta Rp 50.000 atau sedikitnya Rp 20.000. Masalahnya, orang-orang yang berkoteka itu berkeliaran di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Sehingga bisa dibayangkan indahnya foto kita kalau objeknya adalah pemakai koteka di antara kehidupan modern, yang ditandai dengan orang berpakaian seperti kita, mobil atau motor. Tapi, becak dan sepeda juga bisa jadi pertanda kehidupan yang tidak lagi primitif lho!
Anda pasti heran mendengar kata 'becak.' Ini beneran! Di Wamena, becak merupakan salah satu alat transportasi. Harga sebuah becak di sana bisa sampai Rp 2 juta karena barang itu didatangkan dari Jawa Timur, menggunakan pesawat. Karena itu, bentuk becak di sana mirip sekali dengan becak yang ada di Jawa Timur.Ongkos Rp 50.000 untuk satu foto bukan masalah, kalau Anda bisa mendapatkan objek yang sudah sangat langka: Orang berkoteka, atau bertelanjang dada dengan buku-buku jari yang putus. Atau yang daun telinganya terkoyak rapi.Mereka itu adalah orang-orang langka yang bakal segera musnah. Jari yang putus dan daun telinga yang robek adalah pertanda bahwa mereka pernah menjalani upacara adat yang kini makin sirna. Yakni, upacara potong jari atau merobek daun telinga, setiap kali saudara kandungnya meninggal dunia.
Pemotongan buku-buku jari dan daun telinga itu dilakukan dengan menggunakan kapak batu. Jadi, bisa dibayangkan, berapa jari yang masih tersisa pada seseorang yang kehilangan enam saudara kandungnya. Satu saudara, satu buku jari. Jadi, kalau enam saudara, berarti kehilangan enam buku jari, alias tiga jari.Banyak sekali objek foto yang menarik di Wamena. Dan itu tidak hanya orang. Babi pun bisa menjadi objek foto yang cantik di sana. Tapi, apa juga harus membayar, seperti kalau kita memotret manusia? Ini pengalaman saya. Ceritanya, menjelang pulang, saya mampir ke pasar terbesar di Wamena. Namanya Pasar Jibama.
Selain memotret para pedagang bunga abadi dan buah merah, di pasar itu saya memotret para penjual babi. Ini karena babi di sana diperdagangkan dalam keadaan hidup, seperti orang di Jawa memperjualbelikan ayam kampung di pasar-pasar tradisional.Anehnya lagi, yang mereka namakan babi itu berbeda sekali dengan babi yang saya lihat selama ini. Babi di sana berbulu tebal dan sesekali bercula. Lebih menyerupai babi hutan (celeng). Tetapi, mereka menolak ketika saya sebut binatang itu sebagai babi hutan.
Namun, saya juga tak yakin dengan ucapan saya. Sebab, setahu saya, babi hutan berwarna hitam. Di sana, babi hutannya ada yang berwarna merah muda seperti babi pada umumnya. Bahkan, ada juga yang berwarna cokelat seperti kijang. Aneh kan?Saya lantas memotretnya. Karena itu binatang, saya tidak siap mental untuk dimintai bayaran. Sehingga, betapa terkejut dan paniknya saya ketika seorang pedagang memaksa saya membeli babi kecilnya dengan harga Rp 1,25 juta hanya karena saya telanjur memotretnya.
Karena nilai itu tinggi sekali dan tidak mungkin juga saya membelinya, saya pun kabur. Si pedagang meneriaki saya dengan suara agak tinggi, menggunakan bahasa daerah mereka, yang tentu saja tidak saya pahami. Untung ada Djoko, koresponden Cenderawasih Pos yang menemani saya. Keadaan pun bisa diredam meski si pedagang lantas melotot marah kepada saya.Babi memang binatang yang sangat berharga di Wamena. Bukan cuma dari nilai rupiahnya yang bisa Rp 4 juta sampai 5 juta per ekor, tetapi juga kegunaan dan nilai psikologisnya.
Kegunaan babi bukan cuma untuk dimakan. Babi juga untuk melindungi tubuh mereka dari serangan nyamuk Papua yang terkenal keganasannya. Caranya, dengan mengoleskan minyak babi ke sekujur tubuh mereka.Selain untuk menghalau nyamuk, minyak babi mereka gunakan untuk meminyaki rambut. Dan menghiasi wajah. Hiasan wajah mereka ada dua warna, putih dan hitam. Untuk warna hitam, mereka menggunakan minyak babi yang dicampur dengan jelaga. Warna putih, biasanya dari kapur.
Yang lebih istimewa, babi juga disusui. Tradisi itu masih ada di suku-suku yang hidup di pedalaman. Tapi, bukan dengan menggunakan botol susu lho! Mana ada?Jadi, kalau sedang punya bayi, mereka akan membagi air susunya. Payudara yang satu untuk menyusui sang anak, payudara lainnya buat si babi. Wanita yang suka menyusui bayi babi bisa dilihat dari bentuk putingnya.Karena itu, berhati-hatilah kalau mengemudikan mobil di sana. Kalau sampai menabrak mati babi, bisa dipastikan sopir itu akan miskin. Lebih celaka lagi kalau yang ditabrak adalah babi betina. Makin sengsara kalau babi itu sudah punya anak. Sebab, dia harus membayar ganti rugi Rp 8 juta untuk si babi. Ini harga mati, tak bisa ditawar. Polisi pun tak bisa membantu.
Kalau babi itu betina, harga tersebut masih harus ditambah dengan Rp 1 juta per puting susunya. Padahal, babi di Wamena bisa punya 10-20 puting susu, sesuai jumlah anak yang pernah dilahirkan. Kalau putingnya 20, ya berarti tambah Rp 20 juta.Kalau si babi dalam keadaan bunting, lebih parah lagi. Selain membayar tambahan berdasarkan jumlah putingnya, si sopir harus membayar lagi untuk janin di rahim si babi. Untuk menentukan ini, babi akan dibedah dan janinnya dihitung. Satu janin dihargai Rp 1 juta. Bayangkan kalau di perut itu ada 10 janin.
Begitu berharganya babi di sana, begitu tingginya rasa sayang mereka terhadap binatang yang satu itu. Tetapi, mengapa mereka tega memanahnya hidup-hidup pada saat ada pesta atau festival budaya? Mungkin itulah uniknya budaya asli Papua. (besok: mengenal para penambang (emas) liar)
Sumber : Cenderawasih Pos