Di seberang Muara Kali Koloi Merauke, Paskaline Mosembo (14) berseru memanggil tukang perahu agar datang menjemput dia dan teman-temannya. ”Hoi, ko kemari ka. Kita su telat ni,” teriak Paskaline berulang-ulang. Namun, waktu beberapa berselang, tukang perahu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Sementara itu, sinar tipis matahari pagi mulai mengintip dari rerimbunan daun kelapa di pinggir muara menerpa wajah anak-anak yang mulai gelisah ini. Tak sabar menanti dan takut terlambat tiba di sekolah, Carolus Ndiken (16), teman sekampung Paskaline, segera melepas sepatu.
Ia pun nekat turun ke muara yang tak begitu dalam karena masih musim kemarau. Sepatu dan kaus kaki digantung di pundak, celana seragam sekolah menengah pertama berwarna biru tua di tarik ke atas, dan remaja asal Kampung Makaling ini berjalan menyeberangi muara yang dalamnya hampir sepinggang. Beberapa saat kemudian, temannya menyusul sambil memanggul sepeda kayuh BMX. Di ujung tanjung masih tampak belasan siswa lain yang berlari-lari menuju tepi muara untuk menyeberang. Siswa-siswi SMP Okaba ini berjejer di pinggir kali sambil berharap teman-temannya yang berhasil menyeberang itu mau berbaik hati menjemput mereka.
Rutinitas kecil ini hampir tiap pagi menjadi pemandangan di Muara Kali Koloy Distrik Okaba Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Seruan nyaring anak-anak di kampung sebelah yang meminta tukang perahu di Kampung Okaba menjemput telah menjadi alarm waktu yang menyadarkan warga setempat bahwa pagi telah menginjak pukul 07.00. Sejak pukul 04.00 anak-anak Kampung Makaling bangun dari lelap beristirahat malam. Mereka bergegas berjalan kaki menyusuri pinggir pantai ke arah muara untuk mengikuti kegiatan belajar di Okaba, ibu kota distrik.
Sepulang sekolah, sekitar pukul 12.00, mereka kembali menjalani aktivitas rutin menyeberangi muara, kembali ke rumah. Sesampai di rumah mereka mulai membantu orangtua mengumpulkan kelapa untuk dibuat kopra. Ada juga siswa yang membantu orangtua masuk hutan berburu rusa atau kanguru yang biasa disebut ”saham”. Jika masuk hutan, biasanya esok hari mereka tak dapat berangkat ke sekolah karena terlalu lelah atau bahkan belum kembali ke kampung. Mereka tak dapat berbuat sesuatu karena sebagian orangtua masih belum sadar arti penting pendidikan bagi anak-anaknya.
Menjual daging hasil buruan kepada warga pendatang yang membawa ke kota lebih menghasilkan ketimbang bersekolah. Demikian pemikiran sebagian orangtua, apalagi jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh yang membuat pengawasan dari guru atau kepala sekolah sangat minim.
Transportasi
Dari Okaba ke Merauke kota ditempuh sekitar empat jam dengan memacu motor dan menyeberangi Sungai Bian menggunakan perahu motor tempel. Kondisi jalan relatif bagus meski di sana-sini banyak dijumpai aspal yang mengelupas, cekungan permukaan, dan jembatan rusak.
Jika musim hujan, pengendara bakal kesulitan melintas. Apalagi saat menuju Kali Bian, kondisi jalan masih berupa pasir pantai yang kadang berlumpur. Topografi Merauke relatif sangat rata, tidak ada bukit-bukit dan gunung. Di setiap tempat hanya tampak dataran luas dengan alang-alang dan beberapa tanaman pandan-pandanan. Di sepanjang jalan di Distrik Kurik terdapat ”bomi” atau rumah rayap yang berasal dari tanah yang disusun mengerucut di atas permukaan tanah. Rayap yang oleh suku asli setempat disebut ”mosamos” dapat membentuk rumah hingga setinggi 7 meter di atas permukaan tanah.
Sayangnya, kondisi pendidikan di Merauke tak mampu menjulang setinggi ”bomi” itu. Permasalahan kompleks seputar pendidikan warga di pedalaman menjadi beban kabupaten paling selatan di Tanah Papua ini. Seperti anak-anak kampung Makaling yang harus berjalan berjam-jam dan menyeberangi muara untuk mencapai sekolah merupakan contoh kecil dari berbagai kendala yang dialami masyarakat Merauke.
Ketersediaan tenaga guru serta kemauan para pahlawan tanpa tanda jasa ini bertugas di pedalaman menjadi permasalahan tersendiri. Vincentius Mekiuw, Kepala Dinas Pendidikan Dasar, mengakui, ketersediaan sekolah tak mampu melayani hingga ke setiap kampung. Untuk mendirikan sekolah harus dipertimbangkan jumlah siswa serta penyediaan guru dan tempat tinggalnya. Di Merauke terdapat 1.070 guru sekolah dasar yang tersebar di kota hingga pedalaman perbatasan dengan Papua Niugini. Mereka melayani 32.000 siswa di 108 SD negeri dan 89 SD swasta.
Di wilayah ini ada 26 sekolah menengah pertama negeri. Rasio murid terhadap sekolah sebesar 267, rasio murid terhadap ruang belajar sebesar 36, dan rasio murid terhadap guru mencapai 21. Selain SMP negeri juga terdapat 11 sekolah swasta. Rasio murid terhadap sekolah sebesar 212, rasio murid terhadap ruang belajar sebesar 34, dan rasio murid terhadap guru tercatat 29 orang siswa untuk satu orang guru.
Sebagian dari guru itu merupakan tenaga honorer yang digaji pemerintah setempat Rp 600.000-Rp 1 juta per bulan, tanpa tunjangan. Jumlah ini diakui sangat jauh dari cukup untuk menghidupi dan mengantarkan guru ke pedalaman. Karena itu, tak heran tingkat kehadiran guru di pedalaman sangat rendah atau tak mencapai 60 persen. Di samping permasalahan ketiadaan sarana dan mahalnya biaya transportasi, guru juga dihadapkan pada ketiadaan tempat tinggal di kampung.
Permasalahan guru dan siswa yang kompleks ini membuat Vincentius sempat melarang 30 SD mengikuti ujian nasional. ”Untuk sekolah yang kegiatan belajar mengajarnya sangat buruk, saya tidak perbolehkan mengikuti ujian nasional. Sebab, saya tahu, nanti yang meluluskan guru-gurunya,” ujarnya. Ia mengatakan, siswa akan tertatih-tatih saat melanjutkan ke tingkat lebih tinggi. ”Mata rantai ini harus diputuskan agar siswa dan guru giat dalam proses belajar mengajar,” sambung mantan guru yang telah mengabdi selama 28 tahun ini.
Ia juga mengungkapkan, pemerintah sempat menahan uang lauk-pauk guru. Langkah kedua itu diambil karena banyak kepala sekolah di pedalaman yang melaporkan absensi guru dengan sangat rapi dan rajin, tetapi kondisi di lapangan tidak seperti itu.
Permasalahan ini, menurut Vincentius, merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan dalam otonomi khusus Papua. Sayangnya, alokasi anggaran untuk pendidikan tak mencapai 30 persen dari dana otonomi khusus. Akankah siswa Merauke beberapa tahun mendatang masih berteriak-teriak untuk mencapai sekolahnya? Seperti Paskaline Mosembo yang berdiri tiap pagi di tepi Muara Kali Koloy.
From : Kompas