SULITNYA kondisi dan lingkungan mengajar di sekolah daerah terpencil Muting, Merauke provinsi Papua memberi inspirasi Eko Ari Prabowo untuk menulis novel. Karya tersebut, diikutkan dalam lomba Penulisan Naskah Buku Pengayaan yang diadakan oleh Depdiknas periode Februari-Agustus 2008, dan menjadi juara I berhak atas piagam dan uang Rp 17 juta.
Eko yang dihubungi via telepon menuturkan, guru di SMPN 1 Muting Merauke berjumlah 10 orang dengan murid kelas 1-6 ada 167 anak. SMPN 1 Muting memiliki 6 lokal dengan 3 kondisinya rusak parah. Lokasinya sekitar 365 kilometer dari kota Merauke dengan akses jalan darat yang masih minim dan dipenuhi hutan lebat banyak sungai-sungai.
Naskah karyanya diberi judul "Petualangan Rendy" mengisahkan pengalaman seorang pendidik mengabdikan diri di daerah terpencil. Mirip dengan pengalaman hidupnya sendiri. Novel tersebut berhasil masuk menjadi finalis setelah menyisihkan 894 naskah dari 31 provinsi
lainnya. Hingga lolos ke final bersama 51 naskah dari 14 provinsi. Akhirnya, karya guru pelosok tersebut terpilih menjadi yang terbaik. Penyerahan hadiah bertepatan dengan peringatan hari guru nasional kemarin di Jakarta.
Ada satu kendala utama saat mengajar di SMPN I Muting Merauke. "Di sana, anak-anak asli dari suku Marin kebanyakan belum bisa baca tulis dan berhitung dengan lancar. Padahal usia masuk sekolah SMP berkisar 16-18 tahun (normalnya 12-13 tahun). Sehingga kurikulum nasional sangat sulit diterapkan. Solusinya, bila ujian ada penilaian tersendiri dari kepala sekola dan dinas pendidikan setempat," kata Eko usai menerima hadiah, Rabu (3/12).
Di sekolah tersebut, anak-anak berasal dari suku Marin (90%) Toraja 5%, Jawa (1%) dan sisanya suku lain. Di Muting Merauke sendiri hanya ada dua SMP. Satu di tempat transmigrasi dan SMPN 1 Muting itu. Sosialisasi dengan masyarakat pedalaman tidak mudah karena rata-rata mereka belum bisa memahami bahasa Indonesia dengan baik. Bila salah dimengerti bisa berbahaya. "Ya kita perbanyak senyum dan mengangguk agar mereka simpati," tambahnya.
Eko Ari adalah lulusan Fakultas Sastra UGM tahun 1998 kemudian menjadi guru honorer di daerah Papua. Sudah puluhan sekolah dia tempati untuk mengabdi hingga 2005 diangkat menjadi PNS. Kini gajinya sekitar Rp 1,8 juta. Padahal harga sembako di daerah terpencil sangat mahal dan fasilitas serba minim.
Di sekolahnya memang ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tapi tidak mencukupi untuk mengadakan perpustakaan atau buku gratis bagi murid. Karena penerangan menggunakan genset dan air sumur. Sehingga pengeluaran terbesar justru untuk BBM menghidupkan genset itu sendiri.
Dengan jarak 365 kilometer itu, dia menetap di rumah dinas lingkungan sekolah. Hanya waktu libur panjang saja bisa datang ke kota Merauke. Tapi kondisi seperti itu tidak menyurutkannya untuk menghasilkan karya ilmiah. "Memang kita harus berjuang keras agar masyarakat di
lingkungan terpencil seperti Papua bisa mengenyam pendidikan," pungkasnya. (widodo)
From : Kompas
Eko yang dihubungi via telepon menuturkan, guru di SMPN 1 Muting Merauke berjumlah 10 orang dengan murid kelas 1-6 ada 167 anak. SMPN 1 Muting memiliki 6 lokal dengan 3 kondisinya rusak parah. Lokasinya sekitar 365 kilometer dari kota Merauke dengan akses jalan darat yang masih minim dan dipenuhi hutan lebat banyak sungai-sungai.
Naskah karyanya diberi judul "Petualangan Rendy" mengisahkan pengalaman seorang pendidik mengabdikan diri di daerah terpencil. Mirip dengan pengalaman hidupnya sendiri. Novel tersebut berhasil masuk menjadi finalis setelah menyisihkan 894 naskah dari 31 provinsi
lainnya. Hingga lolos ke final bersama 51 naskah dari 14 provinsi. Akhirnya, karya guru pelosok tersebut terpilih menjadi yang terbaik. Penyerahan hadiah bertepatan dengan peringatan hari guru nasional kemarin di Jakarta.
Ada satu kendala utama saat mengajar di SMPN I Muting Merauke. "Di sana, anak-anak asli dari suku Marin kebanyakan belum bisa baca tulis dan berhitung dengan lancar. Padahal usia masuk sekolah SMP berkisar 16-18 tahun (normalnya 12-13 tahun). Sehingga kurikulum nasional sangat sulit diterapkan. Solusinya, bila ujian ada penilaian tersendiri dari kepala sekola dan dinas pendidikan setempat," kata Eko usai menerima hadiah, Rabu (3/12).
Di sekolah tersebut, anak-anak berasal dari suku Marin (90%) Toraja 5%, Jawa (1%) dan sisanya suku lain. Di Muting Merauke sendiri hanya ada dua SMP. Satu di tempat transmigrasi dan SMPN 1 Muting itu. Sosialisasi dengan masyarakat pedalaman tidak mudah karena rata-rata mereka belum bisa memahami bahasa Indonesia dengan baik. Bila salah dimengerti bisa berbahaya. "Ya kita perbanyak senyum dan mengangguk agar mereka simpati," tambahnya.
Eko Ari adalah lulusan Fakultas Sastra UGM tahun 1998 kemudian menjadi guru honorer di daerah Papua. Sudah puluhan sekolah dia tempati untuk mengabdi hingga 2005 diangkat menjadi PNS. Kini gajinya sekitar Rp 1,8 juta. Padahal harga sembako di daerah terpencil sangat mahal dan fasilitas serba minim.
Di sekolahnya memang ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tapi tidak mencukupi untuk mengadakan perpustakaan atau buku gratis bagi murid. Karena penerangan menggunakan genset dan air sumur. Sehingga pengeluaran terbesar justru untuk BBM menghidupkan genset itu sendiri.
Dengan jarak 365 kilometer itu, dia menetap di rumah dinas lingkungan sekolah. Hanya waktu libur panjang saja bisa datang ke kota Merauke. Tapi kondisi seperti itu tidak menyurutkannya untuk menghasilkan karya ilmiah. "Memang kita harus berjuang keras agar masyarakat di
lingkungan terpencil seperti Papua bisa mengenyam pendidikan," pungkasnya. (widodo)
From : Kompas