Saturday, 08 November 2008 09:07 WIB WASPADA ONLINE
BRISBANE - Setelah mendekam lebih dari 50 hari di Pusat Penahanan Imigrasi Australia di Darwin, lima elayan Indonesia asal Merauke dipulangkan ke kampung halaman mereka lewat Denpasar, Bali, Jumat (7/11).
Kelima nelayan terdiri dari nakhoda dan awak kapal ikan Maulana Rizki I asal Merauke yang ditangkap keamanan laut Australia pada 22 September itu adalah Kardi Jumari, Amir, Ardianto Saprudin, Yusuf bin Salman, dan Ardyansah. Menurut Sekretaris III/Staf Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin Wahono Yulianto, Kardi dan empat kawannya didakwa bersalah oleh otoritas Australia karena memasuki perairan negara itu secara tidak sah. Sedangkan kapal ikan mereka telah ditenggelamkan, karena alasan karantina.
Kepada setiap nelayan Indonesia yang ditangkap, ujar Wahono, Konsulat RI Darwin memberikan bantuan kekonsuleran. Sesuai dengan kesepakatan pemerintah kedua negara pada 1974 yang lebih dikenal dengan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia diizinkan untuk menangkap ikan di kawasan yang disepakati. Berdasarkan MoU Box 1974 itu, kawasan yang dibolehkan bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier, dan perairan di sekitarnya.
Kendati mengakui hak tradisional nelayan Indonesia, Australia memaknai kata tradisional sebatas perahu-perahu dayung atau perahu berlayar tanpa dilengkapi mesin, apalagi perangkat GPS (global positioning system). Setidaknya ada dua faktor yang mendorong banyak nelayan Indonesia melaut ke Australia, yakni kehadiran kapal pukat harimau asing yang menjarahi kekayaan laut Nusantara serta dampak negatif pemakaian bom ikan. Keduanya menyebabkan nelayan-nelayan kecil semakin kesulitan mencari sumber perikanan yang sesuai dengan kemampuan tangkap mereka.
Ada pula faktor warisan budaya dan kesejarahan yang hidup secara turun-temurun di kalangan nelayan tradisional di kawasan timur Indonesia. Sejak nenek moyang mereka, nelayan biasa menangkap ikan hingga ke pulau-pulau terluar Australia. Australia memberikan perhatian pada masalah perikanan dalam hubungan bilateralnya dengan Indonesia karena adanya isu pencurian ikan, pengelolaan ikan tuna, stok ikan yang berbagi, dan perdagangan ikan.
Bagi Indonesia dan Australia, masalah illegal fishing berdimensi regional. Karenanya kedua negara berupaya mencari solusi atas tantangan bersama bagi kelestarian sumberdaya kelautan di kawasan Asia Pasifik.
BRISBANE - Setelah mendekam lebih dari 50 hari di Pusat Penahanan Imigrasi Australia di Darwin, lima elayan Indonesia asal Merauke dipulangkan ke kampung halaman mereka lewat Denpasar, Bali, Jumat (7/11).
Kelima nelayan terdiri dari nakhoda dan awak kapal ikan Maulana Rizki I asal Merauke yang ditangkap keamanan laut Australia pada 22 September itu adalah Kardi Jumari, Amir, Ardianto Saprudin, Yusuf bin Salman, dan Ardyansah. Menurut Sekretaris III/Staf Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin Wahono Yulianto, Kardi dan empat kawannya didakwa bersalah oleh otoritas Australia karena memasuki perairan negara itu secara tidak sah. Sedangkan kapal ikan mereka telah ditenggelamkan, karena alasan karantina.
Kepada setiap nelayan Indonesia yang ditangkap, ujar Wahono, Konsulat RI Darwin memberikan bantuan kekonsuleran. Sesuai dengan kesepakatan pemerintah kedua negara pada 1974 yang lebih dikenal dengan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia diizinkan untuk menangkap ikan di kawasan yang disepakati. Berdasarkan MoU Box 1974 itu, kawasan yang dibolehkan bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier, dan perairan di sekitarnya.
Kendati mengakui hak tradisional nelayan Indonesia, Australia memaknai kata tradisional sebatas perahu-perahu dayung atau perahu berlayar tanpa dilengkapi mesin, apalagi perangkat GPS (global positioning system). Setidaknya ada dua faktor yang mendorong banyak nelayan Indonesia melaut ke Australia, yakni kehadiran kapal pukat harimau asing yang menjarahi kekayaan laut Nusantara serta dampak negatif pemakaian bom ikan. Keduanya menyebabkan nelayan-nelayan kecil semakin kesulitan mencari sumber perikanan yang sesuai dengan kemampuan tangkap mereka.
Ada pula faktor warisan budaya dan kesejarahan yang hidup secara turun-temurun di kalangan nelayan tradisional di kawasan timur Indonesia. Sejak nenek moyang mereka, nelayan biasa menangkap ikan hingga ke pulau-pulau terluar Australia. Australia memberikan perhatian pada masalah perikanan dalam hubungan bilateralnya dengan Indonesia karena adanya isu pencurian ikan, pengelolaan ikan tuna, stok ikan yang berbagi, dan perdagangan ikan.
Bagi Indonesia dan Australia, masalah illegal fishing berdimensi regional. Karenanya kedua negara berupaya mencari solusi atas tantangan bersama bagi kelestarian sumberdaya kelautan di kawasan Asia Pasifik.