AGATS, KOMPAS — Suara bilah papan saling beradu ibarat musik pengiring kehidupan warga di Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” Harian Kompas menapaki jalan-jalan papan melihat sebagian pusat kehidupan warga di Agats sebelum berangkat menuju Merauke, Senin (21/10/2013).
Agats dikaruniai hasil laut yang melimpah. Warga menenteng ikan-ikan segar dari laut untuk dibawa pulang. Dengan uang Rp 50.000, kita bisa membeli beragam ikan laut dari pasar.
Kami pun membeli lima tumpuk udang tiger yang rata-rata berukuran dua jari tangan orang dewasa di tepi Jalan Yos Sudarso. Noa dari suku Asmat ini menjual Rp 20.000 per tumpuk yang berisi sekitar enam udang.
Seperti dua sisi koin, kemudahan mendapatkan sumber penghidupan berhadapan dengan kesulitan. Hasil laut yang melimpah belum cukup menyejahterakan masyarakat Asmat.
Mereka masih hidup dalam berbagai keterbatasan, seperti suplai air bersih, bahan bakar minyak yang mahal, dan biaya hidup yang mencekik leher. Akhirnya, penghasilan yang tidak menentu setiap hari terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Nelayan memang mendapat bantuan perahu bermesin tunggal dari Pemerintah Kabupaten Asmat. Namun, mereka harus membeli bensin Rp 15.000 per liter. Jika tidak sedang melaut, mereka menawarkan jasa ojek perahu kepada penumpang kapal yang tidak merapat ke dermaga dengan biaya Rp 20.000 per orang.
Demikian juga harga bahan kebutuhan pokok. Harga minyak goreng kemasan mencapai Rp 15.000 per liter, beras termurah Rp 7.000 per kilogram, dan minyak tanah Rp 6.000 per liter. Harga-harga ini biasa berfluktuasi mengikuti kelancaran distribusi barang. Bahkan harga sepotong ketimun Rp 10.000.
Ada dua akses untuk memasuki Agats. Yang termurah dan menjadi pilihan utama warga adalah kapal laut. Dari Pelabuhan Agats ke Pelabuhan Pomako, Mimika, Papua, tiket kapal Pelni sekitar Rp 130.000 per orang. Adapun untuk tujuan Merauke, tiketnya sekitar Rp 200.000 per orang.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANPara penumpang turun dari pesawat perintis yang melayani rute Merauke - Tanah Merah di Bandar Udara Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Selasa (2/7/2013). Pesawat perintis sangat efektif untuk membuka keterisolasian wilayah di Papua yang sebagian besar wilayahnya hutan dan tidak dapat ditembus melalui jalur darat maupun laut atau sungai. Pemerintah daerah memberikan subsidi anggaran untuk melayani rute-rute tersebut.
Akses lain adalah menumpang pesawat udara melalui Bandara Ewer dan naik perahu motor lagi sekitar satu jam ke Agats dengan biaya Rp 100.000 per orang. Hanya mereka yang berduit atau sedang terpaksa saja yang menggunakan jasa pesawat, karena dari Agats ke Timika, Mimika, harga tiket bisa mencapai Rp 2,5 juta per orang, dan ke Merauke sekitar Rp 800.000 per orang.
Namun, Bandara Ewer pun tidak bisa dipakai setiap saat. Ketika hujan, bandara ditutup karena landasan dari tikar baja menjadi licin dan sulit didarati pesawat. Pilot tak berani memaksa mendarat karena bisa-bisa pesawat tergelincir dan terperosok ke rawa lumpur.
Tak mudah hidup di Agats. Suku Asmat yang tersohor berkat keindahan ukiran kayunya masih harus berjuang untuk menikmati kesejahteraan ekonominya. (ham/mhf/otw)
Sumber : KOMPAS CETAK