Pemahat dari Suku Asmat, Papua, mendemonstrasikan ketrampilan mereka di stan Museum Asmat Taman Mini Indonesia Indah pada pameran The Museum Week 2013 di mal Senayan City, Jakarta, Rabu (28/8/2013). | KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
AGATS, KOMPAS — Setelah lebih dari sepuluh jam menikmati goyangan Laut Arafuru dari Mimika, Papua, Tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” Kompas akhirnya tiba di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, Minggu (20/10/2013) pagi. Dari kapal, tim bisa melihat deretan rumah panggung yang sebagian sudah reyot, seperti garis hitam memanjang di tepi laut.
Kapal KN Bimasakti Utama yang ditumpangi tim ekspedisi tak bisa bersandar di dermaga pelabuhan Agats karena ada kapal Pelni Tatamailau yang juga akan bersandar. Nakhoda KN Bimasakti Utama Suntoro memilih melego jangkar di dekat dermaga. Dengan sekoci, tim pun menuju ke daratan.
Saat mulai berjalan, tim menyadari tidak menginjak tanah. Kota di atas rawa ini memiliki jaringan jalan dari papan setinggi 1 meter di atas tanah. Warga membangun rumah panggung yang sebagian menyambung ke jalan papan. Dari pagi sampai siang, aroma lumpur di kolong jalan dan rumah panggung sangat terasa. Saat sore menjelang, air pasang dari laut pun menggenang.
Banyak warga Agats adalah nelayan. Ada pula yang menjadi penjual sayur di emperan toko, tukang ojek, atau buruh angkut di pelabuhan kapal penumpang atau pasar.
Agats merupakan ibu kota kabupaten, tempat suku Asmat yang tenar berkat keindahan dan kreativitas ukiran kayunya. Namun, kondisi perkampungan dan kehidupan warga setempat menggambarkan wajah ketertinggalan Asmat.
Aktivitas perdagangan didominasi pedagang dari luar Asmat, yang menjual sandang, pangan, hingga barang elektronik, termasuk sepeda motor listrik yang setahun terakhir ramai lalu lalang di jalan papan di Agats.
Satu jalan beton tengah dibangun dari tepi kota ke pelabuhan penumpang, melengkapi jalan ke arah pasar. ”Jadi nanti bertambah lagi ’jalan tol’ di sini,” kata Theresia Penensia, warga Agats, sambil tertawa.
Hidup di Agats tak mudah. Suplai air bersih terbatas. Warga mengandalkan tampungan air hujan. (MHF/HAM/OTW)