MERAUKE - Menindak lanjuti aspirasi warga ihwal belum adanya pembayaran kompensasi kayu oleh PT. Agriprima Cipta Persada (AGP) kepada Komisi A DPRD Kabupaten Merauke, akhirnya Senin (14/10) kemarin, jajaran Komisi A DPRD Merauke melakukan kunjungan kerja ke wilayah operasi PT. AGP yang berada di Alvasera, Distrik Muting, Kabupaten Merauke.
Dalam aspirasi yang disampaikan masyarakat kepada para wakil rakyat yang duduk di Komisi A itu beberapa waktu lalu, warga mengadukan PT. ACP belum membayar kompensasi kayu yang ditebang ketika membuka lahan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya.
Berdasarkan laporan warga PT. ACP belum membayar kompensasi kayu yang ditebang itu, Dewan lantas mempertanyakan interaksi sosial perusahan yang terjalin dengan masyarakat selama ini.
“Kami datang ke sini (PT ACP, red) menyangkut ketenangan investasi dan masyarakat. Bagaimana PT. ACP ini berinteraksi dengan masyarakat, karena ada beberapa masukan dari masyarakat yang kemudian menurut kami perlu ada realisasi,” kata Anggota Komisi A DPRD Merauke, Nikolaus Tefo Mahuze, di sela kunjungan kemarin.
Menurut Niko, pembukaan lahan baru oleh perusahaan perkebunan dapat dilakukan setelah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), sehingga investasi bisa berjalan aman dan masyarakat sebagai pemilik pun merasa diberdayakan.
“Persolaan yang ada menyangkut IPK tentang pembayaran kompensasi kayu. Masukan dari masyarakat, kayu produksi itu tidak dilakukan pembayaran sehingga ada beberapa jenis-jenis kayu produksi itu dikubur. Kami ingin tahu sejauh mana administrasi perusahaan tentang hak masyarakat,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Manager PT. ACP Agus WD membantah bahwa informasi terkait tidak dibayarnya kompensasi kayu produksi milik Marga tidak benar adanya. Dijelaskan Agus, lahan yang sedang dikelola adalah merupakan lahan persemaian dengan luas 806 hektar, di luar IPK. Dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT. ACP sendiri, sambung dia, tengah diproses oleh pihak Dinas Kehutanan, sehingga belum dapat dilakukan pembayaran kompensasi kayu.
“Marga melepaskan lahan lahan seluas 806 hektar dimanfaatkan untuk persemaian, itu diberikan di luar IPK, itu adat murni. Tahun 2012 kami peroleh 287 hektar dan tahun 2013 seluas 519 hektar, totalnya 806 hektar itu tanpa IPK, itu lahan yang sekarang ini,” jelas Agus.
Masih dikatakan Agus, jika informasi perusahaan tidak membayar kompensasi kayu kepada marga pemilik dan perusahaan menimbun kayu produksi itu sangat tidak benar. Secara umum, tambahnya, perusahaan belum memperoleh IPK untuk lahan keseluruhannya. IPK yang baru diperoleh untuk lahan sekitar 500 hektar, tetapi lahan tersebut belum dikelola, sehingga belum ada kompensasi.
“Kami buka areal 1 hektar lebih untuk pembibitan. Pembibitan,intinya harus steril tidak boleh ada rumpukan-rumpukan. Bangunan kantor kami adalah dari kayu produksi dari sekitar sini, karena ini bukan IPK, kami beli dari marga dengan harga Rp800 ribu perkubik, itu kompensasi yang kami lakukan. Kami berlandaskan wiro warning, tidak boleh bakar lahan. Kayu-kayu sisa sersa itu yang kami timbun,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Komisi A DPRD Merauke Dominikus Ulukyanan ,menambahkan bahwa perusahan perlu memberdayakan masyarakat lokal. Terkait IPK, Komisi A akan menyampaikan ke pimpinan dewan untuk memanggil instansi terkait agar proses penerbitan IPK tidak diperlambat dan masyarakat dapat diberdayakan.
“Kami harap supaya perusahaan tetap memegang komitmennya untuk memberdayakan masyarakat lokal, sehingga investasi nyaman dan masyarakat pun sejahtera. Terkait IPK, kami akan sampaikan ke pimpinan. Instansi terkait akan kami tanyakan, ijin jangan berlarut-larut, supaya masyarakat juga bisa diberdayakan,” ucap Ulukyanan. (lea/achi/lo1)