'Dari ACI, ya?', begitu tanya Nuke, seorang Papua di depan Swiss Bell Hotel, Jayapura, ketika kami menemui Dede dan Ayos. Kami pun terkejut sekaligus gembira, ada yang , mengenal kami di kota ini.
Saya dan Harley memang hanya transit di Jayapura ini karena jadwal pesawat yang tak tentu dari Ewer ke Merauke, yang akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke Sentani dengan pesawat MAF Air dari bandara Sungai Daerum di Senggo.
Ternyata singgah di Sentani menarik saya untuk mengunjungi Jayapura, dan lagi-lagi, Tuhan memang mempertemukan 5 petualang ACI sekaligus di sana. Ada saya, Harley, Dede, Ayos, dan Anshar sang tuan rumah. Ditambah lagi ada yang mengetahui keberadaan kami di depan Swiss-Bell Hotel membuat kami semakin dekat dengan penduduk Papua.
Nuke yang baik mengajak kami mengobrol sambil minum kopi di rumahnya, di atas bukit yang bernama Angkasa. Tak terasa ngobrol segalanya tentang alam dan keindahan Papua, waktu pun sudah melewati tengah malam. Kami pun segera pamit dan kembali ke hotel masing-masing.
Keesokkan harinya Nuke mengajak kami keliling Jayapura, melihat bukit-bukit indah di sekitar kota yang eksotik ini. Sempat berfoto-foto di Jayapura City dengan pemandangan Samudera Pasifik dan pulau-pulau sekitar tanjung yang sangat indah. Dihiasi lampu-lampu yang mulai menyala kala senja tiba.
Nuke pun mengajak kami ke salah satu temannya, Marlyn namanya, biasa dipanggil Alin. Setelah berkenalan, Alin pun mengobrol dengan kami dan bercerita bahwa dia pernah tinggal di pedalaman Korowai Batu selama satu bulan. Alin ke Korowai menunaikan pengabdiannya terhadap agamanya, untuk mengenalkan agama, bersama beberapa misionaris lainnya kepada Suku Korowai.
Menyelami kehidupan Suku Korowai selama sebulan tersebut, membuatnya lebih memahami adat-istiadat mereka. Suku Korowai yang hampir semuanya tidak bisa berbahasa Indonesia, diajarinya sedikit demi sedikit bahasa Indonesia dengan terjemahan bahasa tubuh.
Orang-orang dari Suku Korowai aslinya tidak memiliki nama. Ada seorang anak yang menanya Alin dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah. Bercampur senang, Alin pun langsung memberinya nama "Petrus". Anak Korowai itu pun begitu girangnya memiliki nama.
Tanpa nama pun, ternyata suku Korowai dapat berkomunikasi dengan baik, biasanya dengan mencolek satu sama lainnya, begitu menurut Alin. Hal ini jadi mengingatkan saya sewaktu berkenalan dengan salah satu suku Korowai di desa Basman, ketika saya tanya nama, orang tersebut terdiam, ketika saya sebut nama saya "Erwin", orang suku Korowai yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu pun berkata "Erwin" lagi. Setelah kenal Alin saya jadi tahu lebih banyak tentang Suku Korowai ini.
Ada satu benda yang sangat berharga bagi suku Korowai. Bentuknya sangat sederhana, rajutan atau mungkin hanya sekedar anyaman dari serat pohon yang dibentuk menjadi kalung, bertahtakan kerang-kerang kecil dari sungai. Namun benda inilah yang mengikat cinta mereka, lambang cinta suku Korowai yang tulus, tanpa mengenal kata harta ataupun tahta. Kalung ini bagai mahar yang tak mahal, namun tetap memberi arti ikatan suci sebuah pernikahan dari suku terasing di nusantara ini.
Sangat sederhana cinta mereka, namun tetap memberi arti bagi hidup mereka. Jauh di sana, di pelosok timur Indonesia, di mana kesederhanaan masih menjadi adat dan budaya leluhur, ada cinta di antara mereka. Tulus dan apa adanya, namun cinta tetaplah cinta, benih kehidupan dan kelestarian umat manusia.