Magang di Mapi
SESUDAH bertahun-tahun digembleng sebagai adspirant-controleur
diperbantukan (kepada kepala afdeling atau onderafdeling) tentu merupakan
puncak kehidupan bagi amtenar muda kalau pada akhirnya ia
menerima telegram atau radiogram - yang sudah lama ia nantikan - yang
mengabarkan pengangkatannya sebagai HPB di suatu onderafdeling dan
harus segera ke sana.
Begitulah pengalaman saya ketika saya, sesudah satu setengah tahun
bekerja di daerah Mapi, mendapat berita telah diangkat menjadi kepala
Onderafdeling Muyu. Seperti pemuda berumur 28 tahun umumnya, saya
mempunyai anggapan (yang salah) bahwa pendidikan akademis dan
pengalaman turne-turne saya di daerah Merauke, di Pulau Frederik-Hendrik
dan terutama di daerah Mapi, merupakan bekal yang memadai untuk
tanggung jawab di pos baru saya kelak.
Pada mulanya ada juga rasa kecewa. Sebetulnya saya sangat mengharapkan
ditempatkan di Asmat, tetapi setelah tahu akan ditempatkan di
daerah yang "jauh lebih maju" seperti Muyu, buyarlah angan-angan saya
selama bekerja di Mapi di bawah bimbingan atasan saya, Jaap Thooft,
yang inspiratif.
Bagi Thooft, di seluruh Nugini-Belanda hanya ada satu daerah tempat
seorang amtenar BB dapat mencurahkan tenaga sepenuh hati dan itu
adalah daerah Asmat. Kecintaan Jaap dan Rietje Thooft terhadap orang
Asmat sangat kentara; banyaknya cerita dan gambaran mereka yang
hidup tentang pelbagai situasi, yang tidak tanpa humor, tak pelak sangat
berkesan buat istri saya dan saya sendiri.
Saya selalu menduga bahwa Jaap Thooft hendak menyiapkan saya
untuk ditempatkan di daerah Asmat dengan memberi saya tanggung
jawab sebagai bagian dari program latihan dia atas distrik Citak, yang
melalui Sungai Wildeman dan Sungai Eilanden menjadi agak dekat
dengan daerah Asmat.
Pada 1958 sekelompok orang Citak nekat melintasi daerah Mapi keKepi, ibu kota onderafdeling, untuk berdagang. Pada perjalanan pulang
mereka diserang dan dikayau oleh orang Yaqai dari desa-desa Mapi:
Rep, Enem, dan Kogo (tidak jauh dari Kepi), yang dibantu oleh warga
desa tetangga mereka. Beberapa orang yang selamat berhasil sampai di
Kepi dan melapor pada pemerintah dan misi.
Dampak dari kesalahan orang Yaqai yang dianggap sudah raenjadi
Kristen itu ialah mencuatnya kembali ketegangan antara pemerintah dan
misi yang sudah bertahun-tahun terpendam. Saling tuduh berakhir dengan
digantikannya HPB pada waktu itu oleh Jaap Thooft dan dengan
campur tangan pemerintah yang lebih besar di daerah Sungai Wildeman/
hulu Sungai Eilanden (daerah Citak).
MESKIPUN jalan pintas Kepi-Agats lewat Sungai Miwamon, Wildeman,
dan Eilanden sudah lama diketahui, orang Citak tidak banyak atau sama
sekali tidak terpengaruh pemerintah dan misi yang melewati sungaisungai
mereka. Campur tangan pemerintah yang lebih intensif diawali
dengan penyelesaian ganti rugi dari desa-desa Yaqai yang terlibat dalam
pengayauan dan penyerahannya kepada desa-desa Citak, yang kehilangan
nyawa beberapa penduduknya. Dengan kata lain, gencatan senjata
dan persetujuan damai itu dapat tercapai berkat perantaraan pemerintah.
Proses tukar-menukar harta milik atau hewan hidup sebagai ganti rugi
untuk orang yang terbunuh, di antara dua desa yang berdekatan di Nugini-
Belanda merupakan hal biasa. Tetapi, bagi orang Citak mendapat
ganti rugi dari musuh bebuyutan yang ditakuti dan adidaya, yaitu orang
Yaqai, adalah peristiwa yang tidak biasa. Apalagi barang-barang itu (kapak
besi, tembakau, tali pancing nilon, kail, pakaian) diserahkan oleh
pemerintah atas nama mereka.
Baik untuk orang Mapi maupun orang Citak berlaku imbauan pemerintah
yang sama: "jangan membunuh". Setiap kali mengunjungi desadesa
yang bersangkutan di tepi Sungai Miwamon, Wildeman, dan Eilanden,
imbauan, atau lebih tepat perintah ini, diulang-ulang hingga membosankan
di dalam rapat dengan penduduk. Itu suatu ritus yang lekat
pada pekerjaan amtenar di daerah-daerah yang baru saja dibuka, di mana
pengayauan (musuh) masih merupakan bagian dari pandangan hidup
magis-religius dan di mana amtenar BB harus memiliki daya persuasi
dan karisma tertentu.
Kehadiran Jaap Thooft di daerah Asmat bukan tanpa hasil. Cara dia
setiap kali menekankan kepada para pelaku pengayauan di Miwamon -
dalam bahasa Melayu sekenanya yang diterjemahkan oleh anggota polisi
setempat - agar sungguh-sungguh tidak saling menyerang, sangat berkesan
juga buat saya.
SAYA juga mulai dengan menggunakan taktik serupa karena menyadari
bahwa keamanan dan ketertiban menjadi prioritas. Juga karena pertimbangan
keadaan politik, yakni tuntutan Indonesia untuk menguasai
Nugini-Belanda dan opini internasional tentang perwalian Belanda atas
orang Papua.
Minat yang mengutamakan ilmu, yang dasar-dasarnya saya peroleh
dari pendidikan antropologi dan sosiologi saya, sedikit banyak secara
sadar disisihkan karena khawatir (tepat atau tidak) perhatian yang (terlalu)
besar kepada segi magis-ritual dan sosial atas pengayauan janganjangan
oleh penduduk akan diartikan sebagai persetujuan diam-diam dari
seseorang yang mewakili pemerintah.
Penekanan pada soal keamanan dan ketertiban itu kelak, di daerah
Asmat, menyebabkan saya bentrok dengan para ilmuwan profesional
(dan kadang-kadang juga tidak begitu profesional) yang berambisi
menguji teori-teori di lapangan. Mereka meminta penduduk setempat
mendemonstrasikan aksi pengayauan, termasuk berbagai upacara dan
kegiatan magis-religius yang mendahuluinya.
DAERAH Mapi pada waktu itu tidak begitu disorot para ilmuwan; kecuali
para misionaris MSC P. Drabbe dan J.H.M.C. Boelaars tidak ada linguisatau antropolog yang ditempatkan di sana. Daerah tersebut memang
disinggahi oleh berbagai ekspedisi (pseudo-) ilmiah, yang beberapa di
antaranya sangat berbau turistis.
Satu contoh dari ekspedisi seperti itu yang beberapa waktu menyela
rutinitas - sebetulnya ini tidak menyenangkan - ialah rombongan Gaisseau.
Rombongan ini pada 1959 melakukan ekspedisi film dan foto dari
selatan ke utara Nugini-Belanda melalui daerah Asmat dan Mapi. Perjalanannya
sebagian menggunakan katamaran (dua perahu panjang Asmat
yang dihubungkan dengan geladak dari bilah kayu nibung dan diberi
motor tempel) dan sebagian dengan berjalan kaki. Sejumlah agen polisi
orang Papua dan pejabat AA Jan Sneep diikutsertakan sebagai pengawal.
Keenam orang Prancis anggota ekspedisi tersebut sampai di Kepi
dengan membawa "segudang" tustel, kamera film, tape, peralatan penyiaran
portabel, motor-motor tempel baru, dan alat-alat modern lain.
Kami membanding-bandingkan, kelihatan iri, dengan peralatan usang
kami. Perlengkapan materiilnya boleh saja mengagumkan orang, namun
premis mereka mendekati penduduk "yang harus ditemukan", tidak
begitu mengagumkan.
Tony Saulnier, juru foto dan wartawan rombongan tersebut, memberi
komentar yang khas tentang (jarangnya) penduduk yang diharapkan
akan ia jumpai, sebagai orang kulit putih pertama, di pegunungan
yang belum diselidiki di antara Sungai Steenboom dan Idenburg.
Sudah sepuluh tahun kami bersumpah di antara kami bahwa kami akan menjadi
orang pertama yang akan menemukan manusia asli ini. [...] Penduduk di
lembah-lembah yang asing ini sudah sejak ribuan tahun bahkan tidak sudi saling
berhubungan. Mereka terus hidup tanpa sedikit pun perubahan dengan
norma-norma lama mereka. Suku-suku yang bertetangga terpisah karena bahasa,
yang karena tidak ada persentuhan menjadi semakin berbeda satu sama
lain. Kami bahkan segera harus menyimpulkan bahwa sejak zaman dahulu di
antara suku-suku mereka, yang hidup tersembunyi di pegunungan, hanya ada
satu hal yang mempertalikan mereka: perang abadi (Saulnier 1962:9).
SIKAP paternalisme yang simplistis terhadap obyek "ekspedisi ilmiah"
mereka kentara sekali. Sering sulit mendekati mereka secara diplomatis.
Untuk membantu para wisatawan modern itu - satu aspek public
relations aktivitas pemerintahan yang penting sebagai upaya memberi
kesan yang baik di dunia internasional - diputuskan saya akan menyertai
mereka dengan perahu motor sampai Sungai Steenboom.
Tujuannya,
sebagian untuk memudahkan rombongan melewati daerah Citak melalui
Sungai Wildeman, dan sebagian lagi untuk memastikan bahwa mereka
akan selamat sampai di batas onderafdeling melalui daerah yang sebagian
masih belum dijamah pemerintah. Sesudah itu, rekan-rekan dari Centraal Bergland dan Noord-Nieuw-Guinea dapat mengambil alih
tanggung jawab serta menyediakan berbagai fasilitas dan pengamanan.
Di perjalanan tak banyak kejadian yang menarik, kecuali kesembronoan
khas Prancis dalam memperlakukan peralatan teknis, seperti
motor tempel, kamera, pemancar, dan peralatan. Semua itu dilemparke
luar perahu kalau rusak. Perjalanan selama tiga minggu itu bukan tanpa
berbagai kejutan. Di antara Sungai Wildeman dan Steenboom tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Kemudian, sesudah kelokan Sungai Boven-
Eilanden perlahan-lahan di tepian tampak tali jemuran dengan pakaian
yang berkibaran. Khawatir kalau-kalau ada infiltrasi militer Indonesia
(yang kecil kemungkinannya), kami mengintai hati-hati. Semua menjadi
lega ketika daerah yang tidak berpenghuni itu ternyata sangat menarik
seorang misionaris, yang keluar dari serikatnya, bersama kekasihnya.
Teka-teki lenyapnya dia dari Kepi sejak beberapa minggu, dengan
demikian jadi terjawab.
KATA "karisma" tadi telah saya sebut. Dalam banyak percakapan sa\a
dengan Jaap Thooft tiap kali muncul satu soal: apa yang menjamin bahwa
- meskipun kami sangat menganjurkan agar tidak mengayau lagi
agar tidak lagi main hakim sendiri, dan agar percaya bahwa pemerintaf
sebagai wasit tidak akan berat sebelah - mereka betul-betul akan menuruti
nasihat kami yang bermaksud baik itu? Mengapa orang Citak tidak
akan melakukan balas dendam terhadap desa Mapi yang terdekat, m:-
salnya Kotup di tepi Sungai Wildeman? Atau, apa yang kiranya menghalangi
para lelaki dari Kotup untuk menculik dan membunuh beberap,
orang Citak dari desa Senggoh yang juga terletak di tepi Sungai Wild
man? Penduduk dari daerah yang belum dijamah pemerintah tahu ben.
bahwa tindakan yang dapat diambil hanyalah menangkap, mengadili da
kalau perlu memenjarakan. Penangkapan dapat dengan mudah mereka
hindari dengan menghilang ke daerah rawa-rawa dan hutan lebat.
Hukuman penjara dalam masyarakat yang norma-norma kemasyarakatannya
menetapkan hukuman seperti itu sebagai jalan terakhir
untuk perbaikan, mungkin memiliki sedikit kekuatan preventif. Di dalam
masyarakat tradisional, memenjarakan orang mempunyai akibat yang
lain sekali. Seorang terhukum di daerah Mapi atau Asmat dijebloskan
ke dalam bangunan yang terbuat dari bahan lokal, dan dilingkari kawat
berduri yang bergantungan agak longgar, tidak lebih dari simbol pengasingan
dari lingkungannya. Tahanan itu diceburkan ke dalam lingkung-an Barat yang tidak mereka kenal dengan segala hal yang baru sama
sekali bagi mereka, seperti seragam (penjara), makanan, bantuan kesehatan,
tembakau secara cuma-cuma, pendidikan cara hidup sehat dan
teknik bercocok tanam.
Pendek kata, penjara sering dianggap sebagai pengalaman yang menarik
serta sebagai persiapan ke alam modern yang ditawarkan oleh
pemerintah dan misi. Selain itu, hukuman penjara di daerah yang belum
lama dijamah itu singkat sekali (dua hingga tiga tahun) untuk kejahatan
adat seperti pengayauan, yang disetarakan oleh Wetboek van Strafrecht
van Nederlands-Indië sebagai pembunuhan berencana. Bahkan kalau
orang dipenjara lebih dari dua tahun dan harus dipindahkan ke penjara
di Merauke, sering tahanan yang sudah pulang membanggakan diri bahwa
ia "Sudah ke Merauke toh?". Dengan kata lain, mereka sudah mengenyam
asam garam di daerah kosmopolitan. Oleh karena itu, mereka
berharap agar diperlakukan dengan lebih hormat.
Juga diketahui umum bahwa pemerintah sangat tidak menyukai prinsip
"utang nyawa bayar nyawa". Pemerintah juga jarang membalas kekerasan
dengan kekerasan, meskipun para polisi menyandang senjata.
Para amtenar BB kadang-kadang bersenjata, tetapi mereka biasanya
minta ditemani agen-agen polisi yang bersenjata. Persenjataan mereka
biasanya terdiri atas senapan Mauser kuno dan sebuah pistol Schmeisser,
yang berasal dari pasukan Jerman semasa PD II.
Penggunaan senjata api itu, terutama untuk membela diri, di suatu tempat
dapat menimbulkan akibat yang sangat tidak enak untuk pegawai lain
yang mengunjungi tempat kejadian itu, kadang-kadang malah sampai bertahun-
tahun sesudah insiden itu terjadi. Soal ini akan saya uraikan nanti.
Insiden seperti itu, yang sering tidak dapat dihindari, bertahun-tahun
kemudian juga dapat membawa dampak terhadap para pegawai yang
bersangkutan. ' è *
DEMIKIANLAH, kami tidak dapat berbuat banyak kalau orang menafikan
nasihat atau perintah dan kemudian seperti zaman dahulu, pergi berperang
atau mengayau. Meskipun demikian, kunjungan yang sering ke
daerah Yaqai dan Citak, disusul dengan pidato yang kerap monoton, jelas
membawa akibat yang diharapkan: pengayauan tidak ada lagi, dan kejahatan
serta pertikaian yang oleh penduduk dilaporkan untuk diadili dan
diselesaikan oleh pemerintah meningkat tajam. Kalau mereka (untuk
sementara) meninggalkan praktek pengayauan dan balas dendam serta
mematuhi nasihat pemerintah, agaknya alasannya yang terpenting ialah
karena mereka menganggap wakil-wakil pemerintah itu memiliki kelebihan
magis-religius. Juga kemampuannya dalam sekejap pindah dari satu tempat ke tempat lain. Motor tempel yang dipasang pada perahu
Asmat yang sangat ramping memungkinkan para amtenar BB dan polisi
secara tiba-tiba mengunjungi desa-desa dan melakukan patroli lewat
jalan air.
Beberapa kali saya, tanpa dugaan apa-apa, mendarat di sebuah desa
sesudah terjadi perkelahian atau penganiayaan. Penduduk desa lanta^
keheranan bagaimana pemerintah bisa cepat mengetahui apa yang
terjadi.
Rasa segan kepada "kemahatahuan" pemerintah itulah yang banyak
menopang wibawa pemerintah yang sebenarnya hanya macan kertas:
sebuah aparat yang jangan sampai memperoleh publisitas internasional
karena adanya civil disobedience. Kalau ini ditambah dengan karisma
pribadi dari banyak amtenar BB maka tidak heran jumlah perang antarsuku
dan pengayauan selama pemerintahan Belanda sesudah perang di
Nugini-Belanda berkurang.
Matang di Muyu
PEKERJAAN saya di Citak terutama berkaitan dengan pasifikasi, dan setelah
menjabat kepala Onderafdeling Muyu pembangunan sosial-ekonomi
dan politiklah yang menjadi pekerjaan utama saya. Tidak perlu lagi
menasihati penduduk agar menahan keinginan mengayau dan menawarkan
jasa sebagai penengah dalam berbagai perselisihan yang agakbesar.
Kunjungan dadakan dengan perahu motor yang cepat tidak mungkin
di perbukitan dan daerah pegunungan di mana turne selalu dengan jalan
kaki. Desa-desa sudah berhari-hari sebelumnya tahu akan kedatangan
amtenar BB. Panitia penyambutan (dengan atau tanpa orkes tiup) siap
berdiri untuk menyambut para tamu. Pidato-pidato kedinasan mengenai
hal-hal yang lain sama sekali: pembuatan jalan raya, penanaman areal
dengan tanaman komersial, seperti karet, cokelat, dan kopi, pembelian
dan pengangkutan banyak sagu untuk bekal tenaga bayaran pada proyek
jalan Tanah Merah-Mindiptana dan para pekerja proyek jalan karet.
Berkembangan ekonomi, soal bendera Papua, Dewan Daerah dan Dewan
Fèjwakilan Rakyat Nugini-Belanda, serta kemajuan adalah kata-kata
kunci dalam setiap pidato. Ini tidak berarti di akhir setiap pidato pada
méreka tidak ditekankan lagi agar tidak main hakim sendiri. Pembunuh
gelap yang didorong dendam masih tetap banyak. Selain itu, campur tangan
pemerintah yang lebih intensif dan hubungan orang Muyu dengan
dunia luar (cukup banyak orang Muyu yang pernah ke daerah-daerah
lain dan mereka jadi lebih mengetahui ekonomi uang) yang lebih sering
menimbulkan banyak sekali gerakan kargo - sering berskala kecil - yang kebanyakan bermotif penipuan. Mengatasi hal tersebut menuntut banyak
waktu dan kesabaran dan terutama dengan cara membuka kedok sang
pemimpin, kalau mungkin oleh para pengikutnya sendiri. Bekerja di
daerah Muyu itu tak pelak menarik dan merangsang: dituntut usaha keras
untuk menemukan jawaban atas problema penduduk yang agak materialistis
yang berusaha keras untuk maju. Dan itu sangat berbeda dengan
apa yang saya kerjakan selama satu setengah tahun di Mapi yang saya
anggap sebagai persiapan kedudukan baru di daerah Asmat.
SEPERTI amtenar BB di pos-pos pemerintahan di pedalaman umumnya,
kami pun tidak terlalu menghiraukan pelbagai peristiwa politik di dunia
luar. Berita-berita tentang tekanan internasional presiden Indonesia dan
pemerintahnya untuk merebut Irian Barat tidak perlu mengusik kami.
Juga berita-berita tentang infiltrasi bersenjata tidak terlalu mengganggu
kami. Sangat banyak urusan lain yang di mata kami betul-betul menuntut
tenaga. Ada banyak yang menyedot perhatian: perbekalan yang tidak
sampai di Mindiptana karena kapal pengangkutnya kandas di Kali Kao;
satu-satunya buldoser tua untuk proyek jalan rusak; sebuah perahu tambang
di Kali Kao yang menghubungkan Mindiptana dengan jalan baru ke
Tanah Merah dihanyutkan banjir.
Demikianlah, masih banyak urusan lain,
yang meskipun berlingkup sempit, di tingkat lokal jauh lebih penting.
Maka berita pada 20 November 1961 yang mengguncang dunia tentang
hilangnya putra seorang jutawan Amerika di daerah Asmat tidak
terlalu menarik perhatian di Mindiptana. Pemuda itu dianggap pasti akan
muncul atau ditemukan di suatu tempat. Tentu tidak terpikir oleh saya
bahwa peristiwa itu secara tidak langsung menyebabkan menjelang berakhirnya
pemerintahan Belanda atas Nugini-Belanda saya akan dimutasi
ke daerah Asmat. Tetapi, proses pencarian mau tidak mau mendapat
perhatian kami, terutama karena diperlukan minyak disel yang langka
itu agar dapat menjalankan generator lebih lama untuk pemancar. Dalam
hubungan radio rutin antara pukul tujuh dan delapan pagi selama ada
kegiatan pencaharian, pos-pos Agats dan Pirimapun mendapat prioritas
dan Mindiptana baru mendapat giliran terakhir. Percakapan radio antara
Agats, Pirimapun, dan Merauke telah memberi gambaran yang memadai
kepada kami tentang apa yang telah terjadi.
Sejak medio 1961 Michael Rockefeller, putra jutawan dan Gubernur
New York Nelson Rockefeller, di Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea, terutama
di daerah Asmat, berburu benda-benda etnografis untuk Museum of Primitive
Art di New York. Dalam ekspedisi pertama pada bulan Juni-Juli ia ditemani
oleh S. Putnam dan antropolog pemerintah René Wassing dan berjalan
tanpa masalah. Salah satu desa tempat Rockefeller membeli barang barang seni primitif seperti perisai dan tiang bisy ialah Otsyanep, desa di
pantai Casuarinen, yang beberapa waktu kemudian akan menjadi berita.2
Rupanya, belum puas dengan banyaknya barang etnografis yang telah
dibelinya, ditemani oleh René Wassing, Michael Rockefeller berangkat
lagi untuk kedua kalinya ke daerah Asmat pada Oktober 1961.
Sesudah menjelajahi desa-desa di sekitar dan sebelah utara ibu kota Agats,
diputuskan untuk melalui desa Per lewat laut pergi ke desa Atsy yang
lebih terkenal dan lebih besar di tepi Sungai Eilanden dengan katamaran.
Jalan yang lebih aman dan lebih biasa ialah dari Agats melalui Sungai
Utumbuwe dan jalan tembus ke hulu Sungai Eilanden dan selanjutnya
ke Atsy di tepi muara Sungai Eilanden. Pemandangan di jalan sangat
menarik, dan jelas jauh lebih aman daripada jalan yang lebih pendek
namun lebih berbahaya lewat laut. Navigasi di muara Sungai Eilanden
pada pergantian pasang-surut membutuhkan banyak pengalaman dan
pengetahuan tentang arus kuat pasang-surut itu dengan segala akibatnya.
Air yang mulai pasang dan hujan lebat di bagian hulu Sungai Eilanden
berakibat besar pada ulah permukaan air di muara yang lebarnya paling
sedikit dua kilometer. Air yang bergumpal-gumpal, pusaran dan gelombang
dari pantai, menuntut kecakapan mengemudi juragan perahu motor
dan sekoci.
Mengapa Michael Rockefeller mengabaikan semua nasihat dan memilih
melalui jalan lain agaknya akan tetap misterius. Terjadilah apa
yang tidak dapat dihindarkan, katamarannya kemasukan air dan mulai
tenggelam karena berat Rockefeller, Wassing serta kedua orang Papua,
Simon dan Deo. Ketika garis pantai masih terlihat, kedua orang yang
terakhir memutuskan nekat berenang ke pantai dengan bantuan jerigenjerigen
kosong. Air yang sudah mulai pasang rupa-rupanya sangat membantu
mereka. Kedua orang Papua itu sampai di Agats dan mencari bantuan.
Sementara itu, katamaran yang penuh air itu semakin jauh hanyut
ke laut dan terbalik dihantam gelombang besar. Terapung di atas perahu
yang terbalik, Rockefeller dan Wassing menghabiskan malam harinya
basah kuyup dan menggigil kedinginan. Menjelang pagi, mereka hanyut
kembali ke pantai, yang tampak sangat kabur di cakrawala.
Sesudah lama berdebat, Rockefeller memutuskan melaksanakan ren-cananya juga mencapai pantai dengan berenang, meniru kedua orang
Papua tadi, kendati Wassing telah memperingatkan. Menurut Wassing
jaraknya terlalu jauh (sekitar sepuluh km) dan arus air sudah berbalik.
Sangat percaya kepada kemampuannya berenang, Rockefeller tetap
nekat. Dengan bantuan kaleng-kaleng bensin yang disatukan, ia berusaha
mencapai pantai. Apakah ia berhasil, tidak ada yang tahu. Kalengkaleng
bensinnya akhirnya memang ditemukan, satu di pantai barat
Pulau Frederik-Hendrik dan lainnya di muara Sungai Digul.
Sesudah menghabiskan satu malam lagi di sebuah perahu karet yang
bocor dan mengapung terbalik, yang dijatuhkan oleh pesawat terbang
yang menemukannya, Wassing ditolong oleh kapal patroli "Tasman"
milik pemerintah.
Kejadian yang diberitakan oleh pers secara panjang lebar dan sering
sensasional tersebut mengundang perhatian dunia.3 Bantuan ditawarkan
oleh pemerintah Australia dalam bentuk helikopter-helikopter dan
Amerika bahkan tidak ketinggalan dengan tawaran untuk menggunakan
Armada Ketujuh. Gerakan besar-besaran dan perhatian dari seluruh
dunia atas nasib putra jutawan yang hilang mengundang komentar sinis
majalah Komsomolskaya Pravda yang terbit di Moskow pada 2 Desember
1961 bahwa seluruh dunia dimobilisasikan dalam suatu usaha siasia
untuk menemukan seorang putra jutawan Amerika yang hilang dalam
suatu ekspedisi perburuan barang etnografis dan tengkorak korban pengayauan.
Perhatian media dalam periode yang sama untuk pembunuhan atas
kontrolir Nimboran, A.M. Hilkemeyer, dan dua orang agen polisi Papua
yang dibunuh di desa Diadam jauh lebih kecil. Juga tidak banyak disorot
laporan misi parlementer ke Nugini-Belanda yang baru saja diumumkan
yang mengkritik ekspedisi film ilmiah dari Harvard-Peabody Museum
di Lembah Baliem (di mana Michael Rockefeller menjadi anggotanya)
dan usaha pemimpinnya untuk memfilmkan perang antarsuku
guna keperluan ilmiah.
Akhirnya sampai di Asmat: kasus Rockefeller
PADA awal April 1962 ketegangan atas semua kejadian itu sebetulnu
sudah banyak berkurang, tetapi kemudian tiba-tiba datang radiogram
yang mengabarkan bahwa saya dimutasi ke Agats. Saya harus segerake
sana. Nasib yang sama dialami oleh komandan detasemen Dinas Kepohsian
di Mindiptana, Wally Schilling. Dengannya saya telah dapat menjalin
hubungan kerja yang menyenangkan dan produktif selama satu
setengah tahun di daerah Muyu. Hubungan antara HPB dan komandar
polisi sering tegang karena besarnya rasa curiga dan persaingan kekuasaan.
Dalam waktu singkat, setelah radiogram tadi diterima, penggant
saya, Jaap de Groot, bersama istrinya tiba dengan kapal "Tasman". Se
sudah serah terima pemerintahan Muyu, dua pasangan suami-istri yan.
kurang bergairah bertolak ke Agats dengan kapal yang sama.
Kami kecewa dan kurang bergairah, karena mutasi sebetulnya tidal
kami harapkan lagi, mengingat perkembangan perundingan internasic
nal tentang hari depan Nugini-Belanda sudah sedemikian jauhnya. Kebijakan
untuk mutasi itu kelihatannya picik bagi sebuah tim yang sudah
kompak di suatu daerah yang pada hemat kami punya prospek.
Bertahun-tahun kemudian saya mendengar dari Jaap Thooft bahw
mutasi itu terjadi atas rekomendasi dia kepada Residen F.R.J. Eibrink
Jansen.
Setiba kami di Agats, Cor Nijhoff dan asistennya, seorang kontrolir
yang seingat saya juga bernama De Groot, menyambut di dermaga.
Dalam waktu sangat singkat nota serah terima diselesaikan, karena keesokan
paginya mereka berdua sudah harus ke Merauke. Secara lisan
Nijhoff menjelaskan pada saya bahwa ternyata enam bulan yang terakhir
sebagai kepala onderafdeling baginya cukup menguras tenaga. Kasus
Rockefeller dan kabar burung sesudahnya tentang kematian Rockefeller.
desas-desus yang tak henti-hentinya tentang rencana pengayauan di daerah
Asmat, perselisihan antara misi Katolik dan TEAM (The Evangelical
alliance Mission) yang berkembang menjadi perkelahian, serta ancaman
infiltrasi Indonesia, semua ini sangat menegangkan.
Saya hanya diberi waktu dua minggu untuk mengadakan orientasi
serta dialog dengan misi dan zending. Desas-desus tentang rencana pengayauan
di sebelah utara dan barat laut Agats menghamskan saya
meninjau ke sana. Pengalaman di Mapi sangat berguna di sini. Perahu
Asmat yang ditempeli motor memungkinkan tiba di tujuan hanya dalam
beberapa jam. Beberapa kali rencana melakukan aksi pengayauan sudah
nyaris terlaksana. Berbagai upacara persiapan sudah selesai dan dengan
penuh semangat para prajurit menunggu perintah berangkat. Kedatangan sekelompok kecil patroli pemerintah yang sangat mendadak membuat
malu kepala kampung (yang diangkat oleh pemerintah), yang bersicepat
mengenakan seragam biru mereka sebagai usaha menutupi corengmoreng
perang. Pidato kedinasan dan nasihat (gaya Mapi) diterima seketika
itu juga dan disusul dengan janji tidak akan ada lagi yang berniat
melakukan kejahatan (pengayauan).
Aktivitas pemerintahan sudah mulai menjadi rutinitas, ketika tiba-tiba
sebuah berita radio menghentikan pekerjaan pasifikasi untuk sementara
pada awal Mei 1962. Pejabat AA W. van de Waal, kepala distrik pantai
Casuarinen, melaporkan bahwa Pater A. van der Wouw (pengganti Pater
C.H. van Kessel) dari sumber-sumber yang dapat dipercaya mendapat
kepastian atas kabar angin sebelumnya bahwa Michael Rockefeller
dibunuh oleh orang Otsyanep (di pantai Casuarinen). Tengkoraknya,
katanya, telah diawetkan dalam sebuah ritus oleh sejumlah orang, di
antaranya seorang panglima perang, Ajim. Proses pengawetannya, antara
lain dengan mengasapkan tengkorak itu, disaksikan oleh anak piara
Pater Kessel, yang karena cuti pulang ke desanya Omandesep dengan
berperahu melalui desa tempat kejadian.
Ketika dicek ternyata laporan itu tidak baru, karena pada bulan Januari
telah disampaikan oleh Pater Van Kessel kepada apostolis vikaris
(semacam uskup) dan kepada pemerintah. Tetapi, pada waktu itu beritanya
disangsikan, karena sama sekali tidak ada petunjuk bahwa itu
mengenai tengkorak Rockefeller dan terutama karena anak piaranya
berasal dari Omandesep. Sudah lama desa itu selalu bermusuhan dengan
Otsyanep dan telah berkali-kali berusaha menjatuhkan nama Otsyanep.
Juga diketahui oleh umum bahwa misi tidak terlalu disenangi di Otsyanep;
berkali-kali misionaris dan guru bantu diancam di sana. Sebaliknya,
Omandesep bersikap baik terhadap misi dan menikmati keberadaan
sekolah desa yang dipimpin oleh misi. Dari pihak misi, H. Tillemans,
apostolis vikaris untuk Zuid-Nieuw-Guinea, telah mendesak Pater Van
Kessel agar tidak menyebarluaskan dugaannya.
Kabar angin semacam itu juga sudah disebarkan oleh Pendeta W.
Hekman dari TEAM pada Maret 1962. Mengabaikan desas-desus seperti
itu hanya akan mengundang lebih banyak desas-desus yang sukar ditangkal.
Selain itu, Otsyanep dan Omandesep termasuk daerah yang rawan
huru-hara dan tampaknya akan bijaksana jika kami tunjuk muka di
sana. Otsyanep terkenal sebagai desa yang memusuhi pemerintah se-bagai akibat dari peristiwa Januari 1959. Di situ, sejumlah panglima
perang terbunuh oleh sebuah patroli pemerintah.
Ke Otsyanep dengan perahu Asmat yang diberi motor tempel rasanya
tidak cocok. Tetapi, kebetulan sekali kapal "Tasman" telah tiba di
Agats membawa dokter pemerintah M.M. Ziedses des Plantes beserta
istri. Residen Eibrink Jansen, yang dilaporkan tentang desas-desus yang
tidak kunjung berhenti, meminjamkan kapal patroli itu untuk saya. Dan
ia minta supaya saya, sesudah mengadakan penyelidikan, terus berlayar
ke Merauke guna melaporkan sendiri.
Demikianlah, kapal "Tasman", dengan menarik perahu yang dilengkapi
motor tempel, berangkat ke pantai Casuarinen. Di kapal juga
ada sejumlah penumpang, di antaranya dua orang suster dan C.C. Verhey
van Wijk, salah seorang pemilik perusahaan kayu IMEX, yang
menuju Merauke.
Untuk menekan provokasi sampai sekecil-kecilnya saya minta ditemani
oleh dua orang agen polisi Papua yang dipilih karena berkepala
dingin dan berani, bersenjatakan senapan Mauser. Meskipun laras kebanyakan
Mauser Dinas Kepolisian di Nugini-Belanda sangat aus, para
agen polisi itu ternyata sungguh-sungguh mahir menembak. Terutama
dalam berburu, ada di antara mereka yang sangat mengagumkan karena
mampu sekali tembak menjatuhkan hewan buruan yang tinggi dan jauh.
Persenjataan saya sendiri berupa sebuah senapan mesin Uzi yang disediakan
untuk para amtenar BB dan kader polisi sebagai perlindungan terhadap
kemungkinan adanya infiltran Indonesia. Pelurunya berasal dari
persediaan lama untuk senapan mesin Schmeisser dari masa PD II.
Kesamaan kaliber Uzi dan Schmeisser dan banyaknya peluru lama
menyebabkan pegawai yang diberi tugas pembelian tergoda membeli
senapan mesin tanpa peluru untuk menghemat. Pada waktu itu tidak ada
yang mengira bahwa penggunaan peluru lama dengan kecepatan yang
lebih kecil akan mengundang bencana untuk Uzi yang larasnya saja
sudah sangat pendek. Dengan mengandalkan teknologi modern serta
kebijakan dan efisiensi pemerintah, yang sangat memikirkan keamanan
bawahannya, senjata dan peluru tua itu dimasukkan ke dalam kaleng
kosong patroli - tanpa setahu mereka yang barangkali kurang setuju.
Kapal "Tasman" menapaktilasi jalan yang ditempuh oleh Rockefeller
dan Wassing setengah tahun sebelumnya. Sesampai di muara Sungai
Eilanden, sewaktu berusaha mencari jalan ke laut, kapal patroli yang
agak besar, yang dilengkapi dua mesin disel besar itu, mulai terombangambing
karena benturan air laut yang mulai pasang dengan banyaknya
air sungai sesudah turunnya hujan lebat di bagian hulu. Perahu yang ditarik
mulai penuh air dan harus dipompa ke luar. Bagi semua penumpang di kapal, jelas bahwa dalam keadaan seperti itu perahu katamaran pasti
akan terbalik.
Kira-kira satu mil dari pantai di depan muara Sungai Ewta, jangkar
dibuang. Pantai Casuarinen, seperti bagian terbesar pantai di Zuid-
Nieuw-Guinea, sangat dangkal dan berlumpur. Dengan dibantu kedua
agen polisi tadi, segala keperluan untuk tinggal selama tiga hari dipindahkan
ke perahu. Sesudah menginstruksikan nakhoda kapal "Tasman"
untuk meneruskan pelayaran ke Merauke kalau dalam waktu tiga hari
kami belum kembali, kami berperahu memasuki Sungai Ewta.
Biasanya di daerah Asmat ada perempuan dan anak-anak di muara
dan di delta pada sungai-sungai yang kecil seperti itu, mencari ikan,
udang, dan kepah. Kali ini tak terlihat batang hidung mereka. Ini bukan
isyarat yang baik dan suatu peringatan untuk melipatgandakan kewaspadaan.
Tampaknya mereka sudah melihat kedatangan kami dan sudah
memerintahkan wanita dan anak-anak agar bersembunyi di hutan dan
rawa-rawa. Semakin ke hulu kami berperahu pepohonan semakin lebat
dan karena banyak pohon yang tumbuh agak miring ke atas sungai maka
jalan masuk ke Otsyanep lebih menyerupai terowongan daripada jalan
air yang terbuka.
Para pendatang ini rupanya tidak dipercaya, bahkan boleh jadi dianggap
musuh, dan itu ternyata ketika dengan suara dahsyat, kira-kira lima
puluh meter di belakang perahu kami, sebatang pohon tumbang memotong
sungai dan menutup jalan kembali. Beberapa waktu kemudian terjadi
hal yang sama tanpa ada seorang pun yang kelihatan. Perjalanan
dilanjutkan perlahan-lahan dan kami berharap dapat menimbulkan kesan
bahwa kami tidak gentar. Dengan para polisi telah disepakati tidak
menggunakan senjata api - kendati terisi - sampai ada aba-aba dari saya.
Akhirnya, hutan berubah menjadi lapangan terbuka dengan rumahrumah
lelaki (yew) di kedua tepi sungai. Ini salah satu desa terbesar di
pantai Casuarinen dengan total penduduk kira-kira seribu dua ratus jiwa.
Desa itu terdiri atas lima rumah lelaki dan sejumlah besar rumah keluarga.
Ketika kami datang, tidak banyak penduduk yang kelihatan. Hanya
sedikit sekali perahu yang tertambat di pinggir sungai dan para perempuan
serta anak-anak sama sekali tidak terlihat. Hanya beberapa lelaki
yang bersenjatakan tombak berdiri di atas dan di sekitar sebuah konstruksi
yang boleh jadi dimaksudkan sebagai dermaga. Sewaktu perahu
kami merapat di sana, tiba-tiba bermunculan perahu-perahu dengan
orang-orang bersenjata baik dari arah hulu Sungai Ewta maupun dari
arah kedatangan kami.
Kedua agen polisi menoleh pada saya sambil menunggu instruksi.
Bagi saya, strategi terbaik pada waktu itu ialah berlaku seperti biasa dengan mengucapkan salam, memeriksa, dan membuat tempat bermalam.
Uzi tetap dalam jangkauan di dalam kaleng patroli dan para agen
menyandang mauser mereka. Kami sepenuhnya sadar tidak punya banyak
peluang untuk mempertahankan diri secara efektif dengan senjata
api. Duduk di perahu yang sempit dan bergoyang-goyang, kami tak dapat
berbuat apa-apa manakala berhadapan dengan beberapa ratus prajurit
yang bersenjata tombak dan kapak. Apalagi posisi mereka strategis:
berada di atas dermaga dan di darat juga sudah berdiri para prajurit bersenjata.
Kendati demikian, pendaratan berlangsung tanpa sesuatu insiden,
meskipun penyambutannya sangat tidak bersahabat. Kapara yew (kepala)
dari kelima rumah lelaki menghampiri dengan agak merengut dan
waspada. Dalam perjalanan melalui desa, di kanan-kiri sungai banyak
orang bersenjata mengikuti kami, yang untungnya semakin berkurang
ketika perjalanan keliling kami semakin jauh. Menjelang kami sampai
pada yew yang bersedia memberi tempat bermalam kepada kami, yang
membuntuti kami tinggal kira-kira dua puluh orang.
Kecilnya patroli dan sedikitnya persenjataan (yang kelihatan) tentu
mempercepat susutnya kecurigaan mereka. Mulai disadari bahwa ini
bukan patroli khusus untuk melakukan penangkapan, bahwa ini bahkan
mungkin hanya merupakan patroli rutin. Dengan mengecualikan konfrontasi
yang kira-kira seperti ini tetapi tidak seserius di Pulau Frederik
Hendrik, ini adalah untuk pertama kali saya sebagai kontrolir harus
mengambil keputusan yang dapat membahayakan hidup kami bertiga
dan mungkin juga warga Otsyanep. Sikap kami berdampak positif, tetapi
saya menyadari sikap itu sebetulnya bisa juga berdampak sebaliknya,
seperti yang pernah dialami oleh beberapa rekan yang kurang beruntung.
Kepanikan dalam situasi genting seperti itu di mana semua tanda
mengisyaratkan bahaya serangan bersenjata, gampang mendorong orang
bertahan dengan menggunakan senjata untuk memaksa diadakannya
jalan keluar yang aman untuk para anggota patroli.
Sewaktu kami mempersiapkan tempat bermalam di rumah laki-laki,
para lelaki tua maupun wanita dan anak-anak kembali ke desa. Tak lama
kemudian mulai berjalanlah perdagangan barter antara para agen dan
beberapa penduduk. Sagu dan ikan dengan tembakau. Salah seorang dari
kapara yew bertanya dengan nada agak menantang apakah saya "juga"
tertarik membeli perisai, tiang bisy, dan golok dari rahang buaya. Ditanya
tentang arti kata "juga", orang tersebut, yang menggunakan nama
Ajim dan dalam laporan-laporan Pater Van Kessel disebut sebagai pengayau
Rockefeller, menunjuk pada kunjungan kelompok orang Eropa
baru-baru ini yang cukup banyak membeli benda-benda etnografïs, di antaranya tiang-tiang bisy, ditukar tembakau, kapak baja, dan pakaian.
Waktu itu saya belum mengetahui kunjungan Rockefeller pada bulan
Juni-Juli 1961 ke Otsyanep ditemani Gerbrands, Putnam, dan Wassing,
untuk mengumpulkan benda-benda etnografis. Karena mengira bahwa
Rockefeller baru pada bulan November 1961 untuk pertama kali ingin
mengunjungi Otsyanep namun tidak pernah sampai di desa itu, tidak
terpikir oleh saya bahwa mereka sudah berkenalan dengan Rockefeller
pada bulan Juni. Orang kulit putih yang dimaksud, saya kira adalah para
wisatawan, misionaris, pedagang, para ahli antropologi dan bahasa.
Orang Asmat ketika itu memperoleh perhatian dari para pastor ordo Salib
Suci Amerika, misionaris ordo Hati Kudus dari Belanda, tenaga-tenaga
zending Amerika dari TEAM, serta sejumlah antropolog dan linguis dari
Amerika dan Belanda. Selain itu, pengusaha Verhey van Wijk dan F.F.D.
baron d'Aulnis de Bourouill dari IMEX aktif di daerah tersebut mencari
kawasan-kawasan baru kayu (besi).
Kalau dipikirkan kembali, ada dugaan kuat bahwa Ajim hampir seketika
mau menarik perhatian atas (hilangnya) Rockefeller, tetapi usahanya
itu gagal karena saya belum tahu soal tersebut. Ia terpaksa harus
bersabar sampai rapat para kapara yew yang direncanakan hari berikutnya.
Sengaja rapat kedinasan pada hari kedatangan dihindari. Agaknya
bijaksana membiarkan suasana menjadi dingin terlebih dahulu dan untuk
memberi kesan bahwa turne kami tidak istimewa atau mendesak.
Tetapi, tetap dilaksanakan pengamanan yang diperlukan: dengan alasan
apa pun dilarang pergi ke mana-mana seorang diri, senjata harus mudah
dijangkau, dan dibuat jadwal jaga malam.
Keesokan harinya desa tampak mulai normal: wanita-wanita pergi
mencari ikan dan kepiting, dan kebanyakan lelaki tidak lagi hilir-mudik
menyandang senjata. Pagi hari kami melakukan pekerjaan rutin: membangun
poliklinik sederhana untuk merawat beberapa luka tusukan
dalam perkelahian antarmereka sendiri, menyelidiki sebab-sebab perkelahian,
menjadi penengah dalam perselisihan hak guna areal sagu,
serta memberi nasihat untuk menghindarkan bayi dan anak-anak selagi
tidur terguling ke tungku. Menjelang siang, manakala wanita dan anakanak
sudah pulang, diadakan rapat umum. Pidatonya seperti dulu di
daerah Mapi dan Citak, seluruhnya mengenai keamanan dan ketertiban
masyarakat. Main hakim sendiri, demikianlah ditekankan kepada para
hadirin yang tampak dingin, tidak akan ditolerir lagi dalam zaman modern
dan maju ini. Pengayauan sudah tidak sesuai lagi karena mereka
sudah memasuki zaman baru. Banyak dari apa yang dikatakan itu mungkin
sekali akan menyebabkan timbulnya gerakan kargo.
Akhirnya tidak
banyak kemajuan ekonomi yang dapat diberikan kepada penduduk daerah
yang begitu berawa-rawa dan sukar dimasuki itu. Perkembangan
politik yang menyebabkan Nugini-Belanda diserahkan kepada Indonesia
sudah tampak membayang. Semua itu kedengarannya agak kosong
dan tidak sungguh-sungguh untuk memberi harapan kepada orang-orang
ini yang betapapun juga tidak dapat kami penuhi. Meskipun demikian,
langkah yang di daerah Mapi dahulu membawa hasil yang diinginkan,
merupakan satu-satunya strategi guna meredakan suasana yang masih
agak panas.
Sesudah pidato untuk memberi semangat pada penduduk diadakan
rapat dengan para kapara yew. Setelah pengantar tentang kegiatan pencarian,
pesawat terbang, kapal, dan ekspedisi, saya lemparkan pertanyaan
apakah masih ada informasi lain tentang wisatawan yang hilang
tadi. Yang mengherankan saya, Ajim berdiri dan dengan panjang lebar
menceritakan bahwa ia dan beberapa kawannya telah menemukan mayat orang kulit putih di sebuah tanjung tidak jauh dari muara Sungai
Ewta. Saya kira penemuan yang mengerikan itu berlangsung kira-kira
pada waktu terjadinya kecelakaan di muara Sungai Eilanden. Ajim memastikan
bahwa mereka telah menguburkan jenazahnya secara Kristen.
Mereka siap menunjukkan kuburannya. Ia menambahkan bahwa tidak
semuanya dikubur: tengkoraknya dibersihkan, dan diasapi di atas api
kecil untuk diawetkan. Tengkoraknya kemudian dibungkus dalam keranjang
daun sagu. Ia tentu bermaksud menyerahkannya kepada pemerintah,
demikian ia menegaskan sambil meringis penuh ejekan.
Meskipun ceritanya tidak terlalu meyakinkan, ada hal-hal tertentu
yang cocok dengan apa yang disaksikan oleh anak piara Pater Van
Kessel. Ajim tentu sudah memperhitungkan reaksi saya sebelumnya:
salah seorang kawannya menyerahkan kepada Ajim tengkorak yang terbungkus.
Ini kemudian diserahkan kepada saya secara sambil lalu tidak
seperti yang seharusnya yang dilakukan oleh seorang pengayau manakala
menyerahkan hasil kayauannya. Pada umumnya sesudah pengayauan
sukar sekali menemukan dan menyita kepala yang dikayau di daerah
Asmat atau Mapi. Tengkorak itu atribut mutlak untuk memperoleh
gengsi dan memiliki arti magis-religius yang sangat penting untuk pemiliknya.
Sesudah penyerahan "tengkorak Rockefeller" secara sukarela dan
bahkan spontan, rapat segera bubar. Saya mendapat kesan bahwa Ajim
dan dua kawannya merasa terbebaskan dari sesuatu yang memberatkan
pikiran mereka dan dengan senang hati menyerahkannya. Suasana di
seluruh desa berubah seketika dan dapat dikatakan hampir bersahabat.
Pemeriksaan isi keranjang tidak memberi bukti yang meyakinkan
bahwa itu memang tengkorak Rockefeller. Tengkoraknya lengkap, rahang
bawahnya diikutsertakan. Kepalanya diawetkan bagus sekali dan
sisa-sisa dagingnya dikerok dengan teliti. Gigi-giginya tampak tidak
terlalu mulus, tetapi tidak ada tambalan, pembungkus atau sentuhansentuhan
lain dari dokter gigi. Bentuk tengkoraknya dolichocephal dan
tidak terlihat adanya kerusakan pada bagian tempurung. Pendek kata,
orang awam sulit menentukan apakah tengkorak itu berasal dari orang
Asmat atau orang Eropa.
Sesudah tengah hari saya meminta Ajim menunjukkan kuburan itu.
Ia seketika bersedia dan dengan perahu bermotor tempel kami menuju
muara Sungai Ewta (pepohonan yang tumbang sudah disingkirkan) dan
dari sana, sesudah menyusuri pantai sepanjang satu atau dua kilometer,
memasuki sebuah sungai kecil. Kuburan itu terletak di sebuah dataran
pasir yang agak berlumpur dan ditandai dengan empat batang kayu. Ajim menawarkan untuk mengangkat jenazahnya. Sesudah lumpurnya
sedikit dikorek-korek dengan dayung kelihatanlah jasad seseorang
yang sudah sangat membusuk, tanpa kepala. Tetapi, sama sekali tidak
ada sisa-sisa pakaian atau milik pribadi lainnya.
Saya memutuskan agar jasad itu dibiarkan di tempat dan tengkoraknya
diperlukan dalam identifikasi yang mungkin akan diadakan. Jika
diperlukan kuburan tersebut kelak dapat dibongkar lagi.
Keesokan paginya diadakan perpisahan dengan Otsyanep yang jauh
lebih bersahabat oleh patroli yang dapat menarik napas lega. Di atas
kapal, keranjang dan isinya itu dibungkus dengan selimut dan disimpan
di dalam salah satu almari di bilik kapal "Tasman" tanpa diketahui oleh
penumpang lain. Sesudah meninggalkan perahu di Pirimapun, perjalanan
dilanjutkan ke Merauke. Perjalanannya lancar sampai ketika kapal
"Tasman" keluar dari Selat Marianne dan harus menghadapi ombak yang
cukup besar. Ini ternyata memaksa dua orang suster, yang bersama dengan
hasil patroli kami, keluar dari bilik satu-satunya yang agak pengap.
Bukan hanya guncangan kapal yang memaksa mereka keluar dengan
pucat dan mabuk laut, tetapi juga udara yang berbau apek. Meskijmn
telah diasapi dan diawetkan tengkorak itu tetap mengeluarkan bau yang
sangat khas bagi setiap orang yang pernah bermalam di rumah lakilaki.
Setiba kami di Merauke Residen Eibrink Jansen menyambut di dermaga
dan mengundang saya menginap di rumahnya selama saya di Merauke.
Keranjang dengan isinya yang berbau dengan penerbangan pertama
Dakota maskapai Kroonduif segera dikirim kepada seorang ahli di Hollandia
untuk ditentukan apakah tengkorak itu memang milik Rockefeller
berdasarkan data yang ada tentang gigi-giginya.
SAMBIL menunggu hasil penelitiannya, hari demi hari dihabiskan di
Merauke. Saya betul-betul menguras isi gudang-gudang CBL (Centraal
Bureau Landsmagazijnen/Jawatan Perbekalan Pemerintah), berbekal
surat kuasa dari Eibrink Jansen, untuk mendapatkan apa saja yang saya
kira akan dibutuhkan di daerah Asmat. Hasilnya lebih banyak daripada
dugaan saya: sebuah generator, empat motor tempel, perkakas, dan
masih banyak keperluan lain yang dapat membuat hidup dan bekerja di
pos terpencil jadi lebih menyenangkan.
SESUDAH menunggu berhari-hari, datanglah berita dari Hollandia:
tengkorak itu bukan milik Rockefeller, melainkan sangat boleh jadi milik
seorang Papua, begitu Eibrink Jansen memastikan kepada saya. Ia menambahkan,
ini sebaiknya menyudahi pemberitaan simpang-siur yang makan hati bagi ayah Rockefeller. Selain itu, desas-desus tadi juga dapat
menimbulkan reaksi intemasional yang tidak menyenangkan untuk
posisi Belanda di Nugini-Belanda. Meskipun sesudah ke Otsyanep saya
mulai percaya bahwa tengkorak itu milik Rockefeller, saya menganggap
pendapat ahli dari Hollandia itu benar, karena saya sadar bahwa memendam
persoalan itu merupakan jalan terbaik untuk semua pihak. Saya
tidak mengira kejadian itu kelak masih berkali-kali dibongkar lagi dalam
berbagai tulisan dan laporan, di antaranya yang paling kontroversial
ialah Mild Machlin Story (diterbitkan dengan judul "The Death of
Michael Rockefeller" dalam majalah Argosy, Maret 1972).
MESKIPUN telah memutuskan melupakan peristiwa Rockefeller-Otsyanep,
saya masih diganggu kesangsian. Perilaku Ajim yang seolah-olah
bernafsu sekali untuk menyerahkan tengkoraknya kepada pemerintah,
sangat ganjil untuk seorang pengayau. Ia tentu tidak akan segampang itu
memelorotkan ketangguhan kepemimpinan, gengsi, dan kedudukannya
di mata masyarakat, kecuali kalau dipaksa.
Tingkah laku Ajim itu mencerminkan tindakan orang yang melakukan
balas-dendam karena diperlakukan tidak adil. Pada 1959 patroli
pemerintah telah menembak mati beberapa dari kawan-kawan jew-nya.
Kalau laporan Van Kessel tadi memang berdasarkan kenyataan dan
Rockefeller, sesudah terdampar dibunuh oleh Ajim dan kawan-kawannya,
maka (sebagian?) utangnya telah terbayar. Tengkorak wisatawan
kulit putih, yang menurut dia termasuk satu kelompok dengan amtenar
kulit putih yang telah melepaskan tembakan maut tadi, tidak penting
sebagai benda pada upacara magis. Sebab benda itu tidak diperoleh
melalui berbagai upacara yang sangat mutlak untuk mengawali aksi
pengayauan.
SAYA sudah tentu tidak mengabaikan kemungkinan bahwa Ajim berusaha
selekasnya terbebas dari tamu-tamu yang tidak dikehendaki itu dengan
menyerahkan tengkorak seadanya disertai pernyataan bahwa itu
milik Michael Rockefeller. Itu bukan yang pertama kali Otsyanep berbohong
pada para amtenar BB.
Tetapi sebaliknya, kami telah memberi kesan pada Otsyanep bahwa
kami berada di desa itu untuk tujuan-tujuan rutin dan sama sekali tidak
mendesak agar mereka menyerahkan tengkorak yang bersangkutan
Patroli kami sama sekali tidak menimbulkan kesan mengadakan ekspedisi
dengan misi menghukum, dan kekuatannya yang sangat minim berhasil
meyakinkan. Selain itu, umumnya orang tidak senang menyerahkan tengkorak,
entah hasil pengayauan atau berasal dari sesama penduduk desa yang
dicintai. Pendek kata, menurut saya, seluruh kelakuan Ajim tidak
menunjukkan tanda-tanda pengelabuan yang disengaja dan terencana.
KETIKA tiba di Agats, saya menghadapi kejutan baru: pendaki gunung
dan ahli Tibet Heinrich Harrer telah memutuskan mengadakan perjalanan
terobosan utara-selatan melalui Centraal Bergland. Ia berharap dijemput
pada hari tertentu di tempat tertentu di sekitar Sungai Boven-Eilanden
untuk mampir di daerah Asmat dalam perjalanannya ke Merauke.
Harrer ditemani oleh ahli geologi Gerard van der Wegen dan sejumlah
agen polisi yang diperbantukan kepadanya serta setengah lusin kuli
angkut orang Muyu.
Kecuali beberapa rintangan karena sungai-sungai yang banjir, pertemuannya
tadi berlangsung cukup baik. Melalui Atsy (tempat berlangsungnya
defile armada Asmat) kami menuju Agats dengan wisatawan
yang mencari nama itu. Permintaannya untuk mengadakan demonstrasi
perang tradisional tidak dapat dipenuhi. Gagasan Harrer untuk mengunjungi
desa-desa di pantai Casuarinen tanpa pengawal disambut dingin.
Berita bahwa kapal patroli "Kolff' sebentar lagi akan sampai di Agats
untuk membawa Harrer ke Merauke ternyata merupakan jalan keluar
yang jitu. Dengan rasa lega saya meiepas wisatawan yang kesekian ini
pada etape terakhir penjelajahannya.
BANYAKNYA waktu dan tenaga yang dikerahkan untuk para wisatawan etnografis,
hilang atau tidak, mulai sangat mengganggu pemerintah, juga
penduduk sendiri. Ekspedisi Gaisseau, Rockefeller, dan Harrer kesemuanya
mempunyai satu kesamaan: mereka bermaksud melihat manusia
primitif dari zaman batu dengan mata kepala sendiri, memotret dan
mendokumentasikan mereka, serta melucuti mereka dari kebudayaan
materiil mereka dengan ditukar tembakau dan barang-barang lain. Di
belakang semua ini terdapat gagasan bahwa itu adalah kesempatan terakhir
untuk menyaksikan atraksi yang unik tersebut.
Perjalanan wisata itu memaksa pemerintah menyelenggarakan
perlindungan kepolisian dan tindakan preventif, dan ini agaknya tidak
disadari para wisatawan yang antusias itu. Pemerintah harus mengerjakannya
berhubung kaitannya dengan politik interaasional dan citra Belanda
sebagai salah satu dari sedikit pemerintah kolonial yang masih
tersisa. Jasa-jasa yang diberikan kepada mereka dipandang sebagai sesuatu
yang sudah semestinya dan bahkan sering dibalas dengan kritik
yang kasar. IMPIAN bahwa pada akhimya kelak dapat dimulai dengan pemerintahan
yang teratur ternyata hampa. Persiapan untuk menyerahkan kekuasaan
kepada UNTEA sudah harus dilakukan. Itu berarti, berakhirlah riwayat
sebagai amtenar BB yang bagi saya singkat tetapi sangat mengesan.
Sebuah periode yang sangat berharga buat saya.
RUDY DE IONGH