Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya.
UPDATE!! Berita di Radar Merauke dapat dibaca langsung lewat Smartphone Android! Baca fiturnya DISINI atau Download aplikasinya disini : LINK Download Android RadarMeraukeCom.APK !!! Baca berita Via Opera Mini Atau Browser Handphone (Blackberry/Iphone/Symbian) : http://www.radarmerauke.com/?m=1 .

Sunday, 21 October 2012

Kesan-Kesan Pertama Semasa di Onderafdeling Sarmi (dari buku Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962)


Awal petualangan

SAYA teringat pada ungkapan Amerika ini - bagai bayi di hutan - kalau
mengenang pengalaman-pengalaman yang ganjil, membingungkan, dan
lucu-lucu sewaktu saya tiba di Australia sebagai amtenar yang masih
muda dan tidak berpengalaman. Pada Agustus 1945 saya berangkat dari
Belanda yang baru merdeka ke Inggris dan kemudian sebuah kapal penumpang
yang memulangkan para tentara membawa saya ke Australia.
Dalam perkemahan NICA di dekat Brisbane saya ditanya ingin ditempatkan
di mana. Saya jawab Nugini-Belanda.

Itu sebagian adalah "dosa" Jan van Baal yang artikelnya, dimuat di
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) pada tahun
1939, "De bevolking van Zuid-Nieuw-Guinea onder Nederlands bestuur,
36 jaren" (Penduduk Zuid-Nieuw-Guinea di bawah pemerintahan Belanda,
36 tahun), menyebabkan saya terpesona kepada segala masalah yang
melingkupi suku bangsa Marind-Anim.
Tak lama kemudian saya diberi senapan dan bersama Bert Wiebols
ditugasi mengawal pesawat pembom B-29 yang membawa satu juta
uang gulden pecahan koin 10 dan 25 sen yang baru dicetak ke Morotai.
"Nanti Saudara segera akan mendapat angkutan ke Nugini-Belanda".

Tugas pertama
"SEGERA" itu ternyata tiga bulan; saya sulit melupakan bahwa komandan
NICA di Morotai, seorang asisten residen dari masa sebelum perang,
pada suatu hari memutuskan agar saya mempersiapkan diri sebelum
ditempatkan di sana. Ia memerintahkan saya menyiapkan sebuah patroli
empat orang. "Di pantai", katanya, "secara berkala datang perahuperahu
dari Halmahera. Orang-orang itu buang air besar di pantai. Karena
adanya disentri, itu merupakan bahaya besar bagi kesehatan
masyarakat. Sebuah masalah pemerintahan yang penting! Saudara berangkat
ke sana, mencari tumpukan kotoran itu, suruh pendam di tempat itu juga dan taruh sebuah papan dengan tulisan yang dapat dibaca
dengan jelas: Jangan berak di sini!"
Tugas pertama itu tidak saya laksanakan, sebab hari berikutnya J.P.K.
van Eechoud mampir dalam perjalanan dari Batavia ke Nugini-Belanda.
Ketika ia mendengar ada orang yang secara sukarela memilih Nugini-
Belanda, serta merta saya diajak.
Kapitulasi

BEBERAPA minggu kemudian saya ikut menumpang kapal perang Australia,
yang di Sarmi melangsungkan kapitulasi pasukan Jepang yang masih
ada di sana - 4.000 orang di bawah Jenderal Tanoye. Musuh yang kalah
itu menyerahkan bertumpuk-tumpuk peluru dan persenjataan, kamera,
serta jam tangan, yang langsung diangkut ke kapal. Salah seorang perwira
tinggi yang menyerah itu diperintahkan meiepas celananya untuk
diperiksa apakah itu buatan Amerika: pernah ada berita, seorang penerbang
Amerika yang tertembak jatuh dimakan orang Jepang.
Sesudah upacara selesai, kapal berangkat, dan para perwira Jepang
kembali ke perkemahan mereka di belakang rawa sagu, tinggallah saya
agak termangu di semenanjung di mana terdapat delapan lubang bekas
bom yang amat besar, tiga buah tank, dan sebuah truk.
Dua seksi prajurit Papua dengan seorang kopral dan seorang sersan,
serta hoofdbestuursassistent yang terkenal Pieter Petrus de Koek dan
istrinya - mereka inilah pegawai di pos pemerintahan tersebut. Kami
diharapkan dapat menangani orang Jepang tadi dan menyelenggarakan
pemerintahan yang normal.

Permukiman dari masa sebelum perang tidak bersisa sama sekali. Di
atas tanah kapur yang gundul berdiri beberapa barak serta beberapa
pondok dari gaba-gaba. Salah satu bangunan itu berkamar tiga: satu
untuk saya, kamar tengah untuk De Koek dan istrinya, dan kamar ketiga
untuk kantor kami. Arsip, buku-buku undang-undang dan lain-lain
bahan referensi tidak ada. Penerangan kami pada malam hari terdiri atas
sederet botol Coca-Cola dengan sumbu dan diisi dengan bahan bakar
pesawat terbang. Juga ada sebuah gubuk untuk beribadat pada hari
Minggu.

Masih segar dalam ingatan saya khotbah seorang guru mengenai seluk-
beluk Rob. Kudus. Ia mengumpamakannya dengan listrik pada trem.
Dengan sendirinya harus diterangkan terlebih dahulu trem itu apa, dan
rel itu apa, apa itu kabel listrik, pusat pembangkit listrik, dan lain-lain
semacam itu. Dengan begitu, khotbah tersebut segera tidak kekurangan
bahan.

Pemuda Papua penyelamat jiwa kami
PENGUASAAN bahasa Indonesia saya masih sangat minim. Setelah beberapa
minggu di sana, seorang pemuda Papua, penuh cascado - penyakit
kulit yang menyerupai tato - ingin menemui saya. Saya tidak mengerti
apa-apa ketika ia berbicara tentang "Jepang kusta". Saya cari dalam
kamus dan saya mendapatkan bahwa "kusta" itu suatu penyakit kulit.
Dengan putus asa saya minta bantuan Pieter Petrus. "Wah," katanya sesudah
mendengarkan si pemuda, "anak muda ini berkata bahwa orang
Jepang itu menipu semua ("dusta", bukan "kusta") dan menyembunyikan
banyak senjata di rawa di dekat jalan masuk sebelah barat ke semenanjung."
Lihat sketsa yang saya buat di halaman 176.

DE KOCK meragukannya, tapi ya sudah! Tidak ada jeleknya untuk pergi
melihat. Ini menjadi pengalaman saya yang pertama mengenai kepandaian
orang Papua yang mengagumkan dalam membaca jejak: di pantai
sepi yang terbentang tanpa batas itu si pemuda tiba-tiba menuju ke tempatnya
dan langsung masuk menyelam ke dalam rawa. Di situ kami
mendapatkan sejumlah besar senapan baru yang diolesi gemuk, delapan
peti peluru yang terbungkus kertas minyak, yang pada malam sebelumnya
memang diletakkan di sana oleh militer Jepang. Itu terjadi pada
malam menjelang 25 Desember 1945, sewaktu di barak-barak detasemen
kami sedang merayakan Natal dengan kue sagu, minuman keras,
dan lagu-lagu rohani. Saya yakin bahwa pemuda Papua itu telah menyelamatkan
jiwa kami.

Jenderal Tanoye (yang kelak oleh pengadilan militer dijatuhi hukuman
mati karena peristiwa tersebut) adalah salah seorang Jepang yang
sangat yakin bahwa tentara kekaisaran di Nugini-Belanda tidak pernah
terkalahkan.

Onderafdeling Sarmi
TIDAK lama sesudah itu saya keracunan atabrin (obat anti-malaria) dan
harus mondok di klinik di Hollandia-Kota NICA. Ketika setahun kemudian
istri dan anak saya datang dari Belanda, saya minta dimutasi kembali
ke Sarmi dan dikabulkan. Dimulailah perkenalan saya yang sebenarnya
dengan bagian dari wilayah Nugini-Belanda itu. Sebuah onderafdeling
seluas separuh Belanda, dengan ibu kota Sarmi. Dari sini sepanjang
pantai sampai sejauh kira-kira 150 km hingga Demta terbentang
wilayah kerja kami. Ke sebelah yang lain, bagian barat, tidak ada permukiman
- daerah kosong sampai Sungai Mamberano. Bagian timur tadiharus ditempuh dengan berjalan kaki, atau kadang-kadang dengan perahu
bercadik melalui laut.

Banyak kenangan saya akan peristiwa dan manusia dari daerah tersebut:
ada yang baik, yang buruk, serta yang gila. Beberapa di antaranya
sangat menonjol.
Turne

MULAILAH saya mengenal wilayah saya di lapangan: jalan kaki menyusuri
pantai ke timur dan mengunjungi desa-desa di sana. Turne itu, dari
hari ke hari menyusuri tanah datar, hutan, serta pasir pantai dan hanya
menempuh jarak yang pendek - tidak melelahkan, tetapi panas sekali.
Menenteng-nenteng jas hujan tidak ada gunanya: mengenakan jas itu
berarti basah oleh keringat. Kita akan sama basahnya seperti jika tidak
memakainya dalam guyuran hujan. Maka tidak ada yang lebih nyaman
daripada, sesudah sampai di pesanggrahan, menemukan drum berisi air
dingin dan bening (?), dan dapat mandi.

Kemudian menyusul perkenalan dengan penduduk desa:
1. korano (kepala desa): beberapa masih dengan seragam korano dengan
jas tutup dari masa sebelum perang.
2. guru, kadang-kadang orang Ambon, lebih sering orang Papua, yang
bersama keluarga masing-masing telah bertahan hidup di sini selama
masa pendudukan Jepang yang penuh penderitaan itu, tanpa gaji, dan
menderita kekurangan, serta tergantung kepada kebaikan sesama penduduk
desa, terpencil dan terasing, tanpa mengetahui keganasan perang
di Pasifik.
3. akhirnya, penduduk desa "biasa", yang - itu kesan saya - senang
sekali karena zaman normal kembali.
Ternyata mereka telah mengadakan perlawanan sengit terhadap pasukan
asing itu. Ini terutama terjadi ketika gerombolan orang Jepang
melarikan diri dari Wewak di Nugini-Australia di hadapan tentara Mac-
Arthur yang melakukan loncat-katak. Melalui rimba dan daerah pedalaman
mereka menuju ke arah barat. Ketika mereka sampai di sekitar
Hollandia tentara Sekutu telah mendarat di sana. Tidak ada yang dapat
mereka lakukan kecuali terus menuju ke barat. Karena sangat kelaparan,
mereka menjarah setiap kebun yang mereka jumpai. Apalagi mereka
memotong pucuk-pucuk pohon palem, yang di mata orang Papua merupakan
tindakan yang paling jahat. Bagi mereka, itu sesuatu yang nikmat,
sedang bagi orang Papua yang tertinggal adalah pohon mati. Orang
Papua jadi tidak senang karenanya dan di dalam keremangan hutan banyak
prajurit Jepang terkena tombak atau anak panah di punggungnya.
Saya memberi beberapa kesan atas sejumlah desa yang saya kunjungi
dalam turne yang pertama itu.

Bagaiserwar: kawin balas

DESA yang pertama ialah Bagaiserwar. Pada hari Minggu sebelum kedatangan
kami di sana terjadi keributan karena ada seorang janda yang
bunuh diri. Ia sangat putus asa karena protesnya tidak ditanggapi.
"Kawin balas" (tanpa maskawin) yang sudah disepakati dibatalkan.
Anak laki-lakinya telah kawin dengan anak perempuan dari sebuah keluarga.
Tetapi, ketika tiba waktunya untuk perkawinan anak perempuannya
dengan anak laki-laki dari keluarga itu, ternyata si pemuda ingkar
janji. Ia telah berhubungan dengan wanita lain. Korano, guru, dan semua
anggota masyarakat desa tidak ada yang dapat memecahkan
masalah ini. Orang tidak memedulikannya. Bestuursassistent juga mengatakan
bahwa ini perkara yang tidak dapat dipecahkan oleh pemerintah.
Tidak ada tempat yang menerima perkaranya: ini menyebabkan si
wanita putus harapan dan marah sekali. Sebagai protes terakhir, ia kemudian
bunuh diri. Itu dilakukannya sedemikian rupa sehingga seluruh
masyarakat terbuka matanya: ketika kebaktian usai ia meloncat dari pohon
kelapa yang tinggi ke tengah kerumunan orang yang berjalan di
bawahnya.

Sawar: sulit dan malas?
DESA berikutnya adalah Sawar. Dalam sebuah nota serah terima1 dari
masa sebelum perang yang saya temukan di Hollandia saya baca bahwa
di sini "rakyatnya sulit dan malas". Saya tersenyum kecut, dan berpendapat
bahwa pernyataan tersebut tentu mencerminkan ciri khas sikap "kolonial"
masa itu. Saya akan tunjukkan buah dari cara bergaul yang wajar
dan responsif. Orang Sawar menyimak saya dan reaksi mereka
menyenangkan. Masih diliputi rasa puas atas kiat saya, esoknya saya
mencari beberapa kuli angkut yang mau menemani kami ke desa berikutnya
dengan bayaran biasa. Sayang, desanya mati, sunyi-senyap, dan tak
ada satu orang pun yang layak.

Saya ingin mencari sedikit kesegaran di lautan Sawar yang ombaknya
menggerus pasir di pantai. Di sana, ketika gelombang bergulung
kembali seraya menggerogoti pasir di bawah kaki saya, saya jatuh ter-jengkang. Saya bersyukur bisa selamat dari pengalaman menakutkan
yang penuh hikmah itu.

Wakde, Wilhelmus van Nassauwe
DENGAN rakit kecil yang tidak lazim dari dahan-dahan pohon kami
menyeberangi Sungai Tor menuju desa berikutnya: Wakde. Di atas pulau
di depan desa ini Sekutu telah membangun sebuah landasan terbang.
Sesudah mereka pergi sejumlah besar peluru berbagai kaliber tertinggal
di sana. Orang Papua yang melihat betapa gampangnya menangkap ikan
dalam jumlah besar dengan granat itu, berhasil mengorek-ngorek mesiu
dari dalamnya. Mesiu itu mereka masukkan ke dalam granat bikinan
sendiri dari kain layar atau jenis daun yang kuat dan mereka beri sumbu.
Seninya ialah - malah melebihi granat Amerika - tidak melemparkannya
terlalu dini. Metode canggih ini bukan hanya menghasilkan banyak
ikan tetapi juga jari-jari dan tangan yang putus.

Guru Ambon di sini ialah guru Wenno, yang cakap dan selalu riang.
Ketika saya dan rombongan sudah mendekati desa, ia bersama muridmurid
sekolahnya bersembunyi di semak-semak. Sewaktu saya sudah
semakin dekat, mereka meloncat ke luar disertai teriakan-teriakan
mengerikan sambil mengacung-acungkan tombak dan perisai. Akibatnya
pasti sangat memuaskan mereka: jarang saya begitu terkejut. Sesudah
itu berhasil, mereka bersiap-siap dengan seruling bambu mereka
untuk memaksa saya berdiri tegak di terik matahari agar mendengarkan
lagu kebangsaan Belanda "Wilhelmus van Nassauwe" yang berpanjangpanjang.
Takar, "desa higienis"

TAKAR adalah tujuan kami berikutnya - di desa ini kelak beberapa tahun
kemudian botol-botol berisi minuman Simson disita sebagaimana juga
akan saya kisahkan nanti. Di situ pegawai yang tertinggi adalah
bestuursassistent. Keadaan desanya baik dan masih menunjukkan tanda-
tanda pernah ada prajurit Papua-NICA dengan komandan orang
Belanda atau Ambon. Salah satu "tanda kemajuan"-nya segera kami
bongkar: kakus-kakus yang pembuatannya diperintah oleh seorang juru
propaganda kesehatan yang keiewat rajin. Kakus-kakus itu terdiri atas
lubang sedalam dua meter dengan tempat duduk dari papan pohon nipah
dan sebuah tutup. Baik "bilik" maupun "kursi kebesarannya"-nya bobrok,
dan kedalamannya yang gelap dipenuhi hewan berbau busuk.
Untung saja di desa yang "higienis" ini belum berjangkit disentri.
Maka kami perintahkan agar semua itu segera diuruk. Kepada penduduk
desa kami jelaskan bahwa cara lama mereka - di tepi sungai atau di pasir
pantai kalau air pasang - seribu kali lebih baik.

Betaf: mengapa murid perempuan bolos
BETAF terletak sekitar sepuluh kilometer ke arah timur. Di sini guru Papua
Toon Meset punya masalah. Sejak beberapa waktu lalu tidak ada lagi
anak gadis yang bersekolah, melulu murid lelaki. Diatur sebuah pertemuan
dengan para orang tua guna membicarakan soal itu secara serius.
Sesudah mencari sedikit informasi, tersingkaplah keadaan yang sebenarnya.
Karena sudah dapat membaca dan menulis, anak-anak perempuan
yang cerdik itu dapat bertukar informasi dengan anak laki-laki yang
tidak dapat dimengerti oleh orang tua mereka. Dengan demikian, anakanak
itu dapat mengacaukan perjodohan yang sudah direncanakan oleh
orang tuanya. Semua ini bisa mendatangkan kehebohan seperti di
Bagaiserwar. Saya ingat betul kearifan Meset di dalam menanggapi
keberatan mereka. Ia akhirnya berhasil mengusahakan para gadis bersekolah
kembali. (Kelak Meset berperan penting dalam emansipasi politik
dan sosial bangsanya, orang Papua.)

Armopa dan yosim
AKHIRNYA kami mengunjungi desa Armopa tidak jauh dari batas sebelah
timur Onderafdeling Sarmi. Di sini ada korano yang sungguh berwibawa
dan punya pendirian sendiri. Ia tidak latah dengan mode baru yang
merendahkan tari-tarian Papua - yosim - yang oleh beberapa guru diberi
nama ejekan "goyang pantat". Ia menerangkan kepada saya bahwa beberapa
tarian secara erotis memang panas, yang dapat mengusik hubungan
sosial dalam masyarakatnya yang kecil. Tetapi, yang lain adalah penggambaran
kejadian-kejadian istimewa yang diekspresikan melalui ritme
dan nyanyian. Kedatangan mantri suntik yang pertama diungkapkan
dengan cara begitu. Atau contoh lain, kunjungan amtenar Belanda yang
demikian gemuk sehingga minta diusung dari desa ke desa: "dia punya
susu seperti perempuan punya". Tarian yang mengekspresikan
pengalaman seorang pendatang bangsa Eropa yang mengenaskan menimbulkan
gelak. Ia fanatik pada penggunaan kertas kloset. Karena tidak
ada kertas kloset di desa, ia mengira menemukan penggantinya, daun
yang besar dan bagus di dekat sungai. Tetapi, ternyata itu "daun gatal".
Ketika dicari, karena lama tidak kembali, ia ditemukan di pohon tempat
ia menggosok-gosokkan tubuhnya naik-turun sambil mengerang,
"Aduh, gatal!".

Menurut korano, pada zaman perang orang senang beratraksi di
depan serdadu Jepang yang lewat yang menikmati tariannya. Padahal,
dalam bahasa Armopa orang dengan gembira menyanyi, "Engkau memang
gerombolan pembunuh dan pencuri".
Pada malam kunjungan saya yang pertama juga diadakan (tarian)
yosim. Penjelasan korano membantu saya untuk lebih memahami tarian
itu daripada kesan pertama sebagai tarian yang membosankan, monoton,
dan bukan seni yang tinggi.

Pernyataan perang

Di ARMOPA ini saya menerima kabar yang pertama bahwa suku-suku di
pedalaman, yang telah mengumumkan perang kepada Kerajaan Belanda,
bersedia berunding. Kebetulan saya di Hollandia telah mendengar
bagaimana pernyataan perang itu diumumkan. Seorang wakil suku yang
dalam Perang Dunia Kedua telah membunuh seorang bestuursassistent
suku Ambon - yang terkenal sangat kasar - datang ke Hollandia. Di
asrama NICA ia menyandarkan sebuah tombak perang yang berhias di
dinding kantor pemerintah dan pergi lagi. Menurut cerita, mereka yakin
bahwa NICA akan menuntut balas. Suku itu, dengan cara itu, ingin
memberi tahu bahwa mereka tidak takut dan akan bertindak keras juga.
Karena ternyata tidak terjadi apa-apa, akhirnya ketegangan mengendur.
Kini mereka mencoba mendekati pendatang kulit putih yang baru di
Armopa. Saya mengatakan bahwa saya sebentar lagi akan mengunjungi
pedalaman dan berharap akan mencapai perdamaian.
Untuk itu dalam bulan-bulan berikutnya saya "belajar" mengunyah
pinang. Itu adalah cara tradisional dan manjur untuk menyatakan bahwa
persetujuan di antara kedua belah pihak sahih dan tidak dusta. Karena
saya dipindahkan, semua itu batal, tetapi setahun kemudian pengganti
saya berhasil memulihkan perdamaian. Dan untuk saya, yang tersisa
adalah kunyahan pinang yang getir.
Malaria: sumber petaka

KEMBALI ke pangkalan, kami menghadapi penyakit yang menyebabkan
daerah yang berawa-rawa itu terkenal jahat. Meskipun saya sendiri punya
pengalaman dengan malaria, istri sayalah yang sungguh-sungguh
menderita. Ia demam, tetapi pak mantri (yang tidak memiliki mikroskop)
mau tahu grafik suhu badannya dulu sebelum memberi obat. Baru sesudah
seminggu penyakitnya diketahui dan istri saya minum kina. Pada
malamnya kami ketahui bahwa ia mengandung, karena ia mengalami
pendarahan. Istri saya menangis dalam keremangan pondok gaba-gaba
kami. Ia berbaring lemah di tempat tidur. Mengurusi keadaan dalam
remang dengan pelita botol-botol Coca Cola, dan malam yang seperti
tidak pernah berakhir menyebabkan kami merasa tak berdaya. Apalagi
siang harinya panas luar biasa di bawah atap seng tanpa langit-langit.
Bagi kami merupakan mukjizat Tuhan bahwa istri saya dapat mengatasinya.
Ini adalah wajah Nugini-Belanda yang paling gelap.
Cerita tentang ketidakberdayaan yang mencekam waktu miskram
saya ceritakan kepada seorang tamu "tinggi" dari Den Haag. Reaksinya:
"Wan, risiko itu kadang-kadang harus kita hadapi. Di kebun HPB tempat
saya bekerja sebelum perang ada tiga kuburan pendahulu saya." Saya
sangat mendongkol namun tetap bersikap sebagai amtenar yang baik di
depan "tuan" ini.

Gerakan Simson
PADA 1947 saya dikejutkan oleh gerakan kargo yang baru kemudian saya
tahu disebut Gerakan Simson. Pada suatu hari August datang ke rumah
kami dengan terpincang-pincang. Ia datang dari Takar, enam puluh kilometer
dari tempat kami, dan minta pekerjaan. Saya kagum akan ketegarannya.
Kami pekerjakan ia sebagai tukang kebun dan ia mendapat
sebuah kamar di sebelah dapur.
Ketika sesudah malam kami pulang dari rumah telegrafis, Johan,
bujang kami menunggu di depan, "Kok August bertingkah aneh", katanya.
Kondisinya saat kami temukan: berkeringat. Mula-mula ia berbaring
tidak bergerak dengan mata terpejam. Kemudian, tubuhnya mulai
gemetar, dan setengah sadar mulai berteriak: "You go! You go! Me
no go! Goddammit!" Beberapa kali, kemudian ambruk lagi, dan beberapa
waktu kemudian itu berulang. Dalam sekejap cerita tentang kejadian
yang aneh ini tersebar. Tidak lama kemudian guru Mori Muzendi datang.
Yang pertama dikatakannya: "Itu jelas Simson. Ia telah minum
ramuan Simson."

"Come on, Joe "
SAYA sudah mengenal sejarah gerakan itu, meskipun tidak mendetail,
sehingga kami segera akan pasang telinga kalau mendengar kata itu.
Kami mulai mendekati August untuk mengorek keterangan. "Come on,
Joe, let's go and show me, come on", dan August menjawab, "No, Joe,you go, me no go," dan ditutup dengan umpatan lagi. Kami masih meneruskan
percakapan ini beberapa saat. Ruang tamu dipenuhi oleh para
nyora (istri guru) dan teman-teman mereka, yang riuh-rendah. August tiba-tiba meloncat bangun dan dengan cepat sekali terpincang-pincang
bergegas ke arah kampung. Dalam malam terang bulan kami beramairamai
membuntutinya - mungkinkah ia menyimpan barangnya di kampung?
Tetapi tidak, ia melewati kampung, terus ke sebidang tanah kuburan
lama yang terlihat dari adanya gundukan-gundukan tanah di antara
rumput yang tinggi. Beberapa nyora mulai dihinggapi rasa takut. August
merangkak ke sebatang pohon besar yang sudah mati, meninju batangnya
dan mulai lagi berteriak-teriak dalam bahasa Amerika. Saya menjawabnya
dengan terus-menerus mengulang, "Come on, Joe, let's go
home." Dan sekonyong-konyong, dengan loncatan yang jauh August
muncul di tengah-tengah para wanita yang berteriak-teriak dan terjengkang
menggelundung dari gundukan tanah. Dengan meloncat-loncat ia
lari kembali ke jalan. Kami semua di belakangnya: "Come on, Joe, let's
go home ". Sambil meloncat-loncat ia merenggut daun dari pohon-pohon,
memasukkan ke dalam mulutnya, dan memberikannya kepada saya:
"You eat, Joe, you eat. Very good, you eat".
Akhirnya ia mulai agak tenang. Kami menyelimutinya dan membaringkannya
di tempat tidur, dan ia tertidur kehabisan tenaga.
Pendatang Jan

"YA!" kata guru Mori, "ini akibat Simson dari Tablanusu. Di sana beberapa
tahun sebelum perang saya menjadi guru. Di sana juga terdapat
fenomena yang sama, hanya saja mereka berbicara Belanda kalau kerasukan
roh". Dan ia bercerita: "Dulu di dekat Sentani ada pendatang Jan,
yang antara lain mempekerjakan karyawan muda Simson. Jan adalah
anggota Gereja Advent Hari Ketujuh yang taat, yang mendambakan kedatangan
Yesus. Ia dapat datang setiap waktu - begitu katanya kepada
orang-orangnya. Sering pada waktu senja ia dengan para karyawannya
berdiri menatap langit. Ia sangat yakin dan dapat menularkan harapannya
itu kepada para karyawannya.

Pada suatu malam, tidak lama sebelum Simson cuti dan pulang ke
desanya, Jan memutar slide untuk orang-orangnya. Yang ditayangkan
ialah kisah-klsah dari Alkitab, dan rupa-rupanya merupakan pengalaman
yang mengesankan untuk Simson: sinar tajam lampu sorot, gambargambarnya
di atas layar putih, ukuran sebenarnya.
Kultus Simson

SETIBA di rumah, ia bercerita. "Saya mendapat wahyu. Ada sinar besar.
saya melihat Yesus, saya melihat para Rasul, saya melihat Maria, saya
melihat mereka semua."
Tidak lama kemudian gerakan itu mulai muncul. Simson meramu
jamu, campuran (setahu kami) air sebuah akar dari hutan, serutan tulangbelulang
orang mati, dan potongan kayu yang terdampar dari laut. Campuran
itu diminum dan menyebabkan kerasukan, dan pada puncaknya
orang mulai mengigau dalam aneka bahasa - penugasan yang diwahyukan
melalui Simson.
Bahasa asing: sebelum perang bahasa Belanda, selama perang menjadi
bahasa Jepang, dan saya menyaksikan variannya sesudah perang,
bahasa Amerika di Sarmi.

Mori menceritakan bagaimana gerakan Simson itu berkembang semakin
gila di Tablanusu. Ada malam-malam ketika rumah di seluruh
desa gemertak karena sesak dengan tubuh yang meliuk-liuk, dan terdengar
suara gaduh dalam bahasa Belanda. Pada siang hari Simson semakin
menjadi imam agung-ahli nujum, dan ketika gerakan itu mulai
melewati batas, amtenar di Hollandia turun tangan dan menyuruh Simson
bekerja sebagai tenaga setrapan di posnya. Di situ Simson bersikap
amat baik. HPB menghargainya dan sesudah beberapa waktu ia boleh
pulang ke desanya. Tetapi, di sana kegilaan itu kambuh lagi. Tetapi, Simson
kini bukan utusan Yesus, melainkan wakil Ratu Wilhelmina yang
diakui oleh HPB, dan tidak begitu lama kemudian menjadi Ratu Wilhelmina
sendiri.

Ia merentangkan tali dari sebatang kayu yang ditancapkan di sebuah
gundukan kuburan ke rumahnya, dan berakhir pada sebuah kaleng yang
dibawanya dari Hollandia: jaringan teleponnya ke para arwah. Kalau
orang datang minta nasihat kepadanya maka ia mendengarkan dan berbicara
ke dalam kaleng itu. Juga minum jamunya dan berceloteh dalam
bahasa asing berulang.
Ketika tentara Jepang datang, bahasanya lambat-laun menjadi bahasa
Jepang. Kemudian, dengan segera, pihak tentara Jepang melarangnya.
Simson dihukum mati dan pengikutnya dihukum berat.
Buntutnya

SESUDAH perang, orang Papua dianjurkan menjadi anggota pasukan pembantu
Sekutu. Maka sejumlah serdadu Papua, kelahiran Tablanusu,
ditempatkan di ...Takar. Kejadian-kejadian ganjil mengenai August dan
bahasa kacau-balaunya yang keras ditambah dengan penjelasan guru
Mori mengundang penggeledahan dari rumah ke rumah di Takar. Kami
menemukan empat puluh botol berisi cairan keruh jamu Simson. Saya
masih ingat sewaktu pada suatu malam duduk sendiri di kamar menghadapi
botol-botol tersebut. Saya sadar secara ilmiah mungkin penting meneliti apakah jamu itu memang merangsang bawah-sadar. Beberapa
waktu saya duduk memandang botol-botol jahanam itu. Lantas saya
berkesimpulan bahwa saya tidak berani. Esoknya, botol-botol itu saya
pendam di belakang dapur.
Bertahun-tahun kemudian, tahun 1966, saya menceritakannya kepada
seorang guru besar dari Technische Universiteit Twente, seorang ahli
kimia biologi, yang sangat terusik ingin tahu. Saya kemudian menulis
surat kepada Mori Muzendi dengan permintaan supaya ia mengirimi
saya contoh jamu itu. Saya tidak mendapat jawaban, agaknya pendeta
Mori pada waktu itu sudah meninggal. Masih menjadi tanda tanya, apakah
botol-botol tersebut masih tersimpan di sana.
Peternakan ayam

TERAKHIR, ingin saya ceritakan di sini tentang kesan saya mengenai peternakan
ayam Foerster. Foerster adalah sosok keturunan Jerman yang
agak menarik, yang sebelum perang mengepalai sebuah perkebunan
karet di Ransiki. Pada 1947 ia ingin membangun peternakan ayam secara
besar-besaran di kawasan Hollandia. Semua amtenar di sepanjang
pantai utara lewat telegram dimintai Van Eechoud supaya menyerahkan
ayam kampung untuk petualangan ini, dan segera mengirimkannya dengan
kapal. Rekan-rekan saya yang lebih berakal sehat memberitahukan
bahwa usaha mereka telah gagal. Tetapi, saya bekerja keras dan mengumumkan
ke sepanjang pantai bahwa pada hari anu dan anu kapal akan
singgah masing-masing di dekat Wakde, Takar, Betaf, dan Armopa guna
membeli ayam untuk peternakan tadi. Saya sendiri ikut di kapal. Di tempat-
tempat yang ditentukan sejumlah perahu bermuatan keranjang-keranjang
penuh berjuang menempuh gelombang pantai menuju kapal.
Kebanyakan berhasil baik, tetapi suatu kali gagal ketika sebuah keranjang
jebol dan selusin ayam dengan ribut beterbangan di sekitar dek
dan laut. Ayam yang paling pandai terbang mencoba terbang kembali ke
pantai yang jauh itu. Tetapi, ayam-ayam lainnya diangkat kembali ke
kapal dalam keadaan basah kuyup.
Saya turun dari kapal di perbatasan pos saya dan kembali berjalan
kaki di sepanjang pantai. Sesudah sepuluh hari dan sampai di rumah saya
disambut berita bahwa peternakan ayam secara besar-besaran itu dibatalkan.
Mengapa? Karena kekurangan ayam.
Salah satu rencana proyek pembangunan di Nugini-Belanda yang
"amblas".

PIET MERKELIJN
Babe in the Woods




Share on :
Silahkan berikan komentar melalui Facebook. Jangan lupa login dulu melalui akun facebook anda. Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel atau berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan radarmerauke.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Artikel Kesan-Kesan Pertama Semasa di Onderafdeling Sarmi (dari buku Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962) ini diposting oleh Portal Berita Merauke pada hari Sunday, 21 October 2012. Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.
 
© Copyright RadarMerauke.com | Portal Berita Merauke @Since 2008 - 2013 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Owner Template | Published by Owner Template and Owner
WWW.RADARMERAUKE.COM - PORTAL BERITA MERAUKE
( www.radarmerauke.me | www.radarmerauke.asia | Email : radarmerauke@gmail.com | radarmerauke@yahoo.com )

Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Bintang Papua, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, suluhpapua, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.