Tuk, tuk, tuk bunyi ketokan kapak batunya. Dan kalau kau menjadi burung betul, tahukah kau apa yang kukehendaki darimu? Burung Taontaon engkau pasti sudah menduga apa yang kukehendaki darimu. Akan kusuruh kau ke kampung di seberang kali sana dan katakan pada mBiao, bahwa saya mencintainya.
Bilang pada dia saya mau jadikan dia istri. Bilang pada dia saya tak tahan lagi hidup tanpa dia. Tuk, tuk, tuk dan burung Taontaon dengarkan saya baik-baik mungkin kau dapat juga menerbangkan mBiao ke sini. Dengan sayapmu yang besar, lebar kuat engkau dapat mengarungi kali. Dan dengan sayapmu yang sempurna itu tentu engkau dapat juga menerbangkan mBiao ke sini. Tapi tunggu dulu saya akan kasih engkau kekuatan. Ya, sekarang kau punya bentuk sempurna. Tapi apa boleh buat engkau hanya sebuah ukiran kayu mana bisa engkau membantu saya?
Begitulah setiap hari Yamao bertutur sambil terus mengerjakan ukiran burung Taontaonnya. Dan lalu mendapatkan dirinya. Kiranya burung Taontaon itu hanyalah sekeping kayu. Namun, kenyataan itu tak membuat surut pekerjaannya. Ia terus bekerja dengan rajin dan tekun. Kalau bagian leher ukiran itu ia toreh sedikit lagi, maka, selesailah sudah. Sebuah pekerjaan terindah yang belum pernah ia kerjakan. Tinggal lagi memberi warna. Badan dilabur warna hitam dari arang, bagian sayap putih, mata merah dan bagian paruh yang kuat itu berwarna kemerah-merahan.
Semua warna itu ia tahu bagaimana mendapatkannya dengan gampang. Bukan main, betapa eloknya buatan tanganku, hai burung yang indah engkau sudah mendapatkan semuanya. Namun dapatkah engkau terbang ke mBiao? Tangan-xtangannya yang kuat itu mengelus ukiran burung buatannya. Tahukah kau betapa mBiao akan melihat dirimu? Ia tentu sangat memuji rupamu yang elok.
Dan selalu, mata Yamao selalu tertuju pada ukiran burung Taontaonnya. Pilirannya kembali kepada apa yang dituturkan kepada burung Taontaon itu tentang mBiao. Tetapi, entah bagimana, ia menoleh kepada adiknya. Agak kasar ia berkata kepada adiknya itu, engkau hanya makan kerja tidak. Itu afatarku yang enak itu. Aku telah membuat perahuku selesai dan ukiran burung Taontaonku ini. Engkau buat apa? Duduk, makan dan tidur tak ada yang lain engkau tak mungkin mencarikan bagiku seorang perempuan menjadi istriku sehingga membantu semua pekerjaan ini. Tidak mungkinlah kau itu.
Dengan marah ia meninggalkan adiknya di pinggir kali itu, menarik perahunya. Dan oh, betapa indahnya. Perahunya mengapung indah di sana. melihat itu Yamao tak lagi marah. Menyesali tindakan terhadap adiknya, ia berseru ke darat. Kepada adiknya yang masih duduk termenung di pinggir kali itu.
"Adikku Bumer, lihatkah engkau betapa indah perahuku? Apa menurutmu? Namun ia tak menunggu apa jawaban adiknya. Dengan sebuah pengayuh, parahu itu dikayuhkan sekuat tenaga. Air yang ditepis ke belakang, meninggalkan barisan putih di atas kali itu, ia meluncur. Agak jauh ia berpengayuh dan mengemudi perahunya, kembalilah ia ke pantai, namun selalu saja matanya menerawang jauh ke seberang kali, di sana ada kampung lain tempat mBiao tinggal.
Satu kebetulan tentu, karena Yamao tidak hendak melihat perahu barunya. Ia pasti akan begitu terperanjat karena angin ribut dan kilat yang sambar menyambar disambut guntur yang memasuki hutan belantara itu telah mengguncang perahu itu dengan dahsyat. Ukiran burung Taontaon itu bergerak mengangkat paruh dan kepalanya. Mengembangkan sayap dan kakinya beranjak meninggalkan tempatnya di haluan perahu itu. Ukiran itu hidup, ia kini benar-benar burung Taontaon. Ia hidup, ia terbang ke atas menghinggapi dahan sebatang pohon. Semuanya ini tak diketahui Yamao.
Dengan was-was dan ketakutan, Yamao dan adiknya hanya duduk mendengarkan amukan alam yang begitu hebat. Malam itu juga ia ingin keluar mendapatkan perahunya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia tak berani, karena selepas angin ribut itu hujan turun dengan derasnya. mereka putuskan untuk tidur saja.
Pagi-pagi benar Yamao telah terbangun dan melompat keluar dari gubuk mereka. Ia pergi mendapatkan tempat perahunya kemarin ia taruh. " Oh mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan perahuku". Pohon yang tumbang semalam tergeletak di sana persis di sebelah perahunya.
"Pasti ia telah tertimpa dan rusak berkeping-keping," pikirnya dan memang benar apa yang dipikirkannya. Bagian depan perahu tak tampak dari arah dia datang dan telah rusak berkeping-keping. Tetapi setelah berjalan mendekat dan mengelilingi perahunya, ia ketahui bahwa pohon yang tumbang itu sama sekali tak mengenai perahunya. Ya... tetapi dimanakah ukiran burung Taontaon itu? Ia tidak ada di tempatnya. Haluan perahu itu kosong sebagai mana layaknya perahu di Asmat pada waktu itu.
"Uuuu-aaa-uuuuu!!!" "Hei bunyi apa itu?" ia berkata pada dirinya sendiri. Dari mana datangnya suara itu? Ia tidak terbiasa dengan suara seperti itu. Uuuu-aaa-uuuuu!!!" bunyi suara itu kembali terdengar. Yamao melihat sekeliling tapi tak tampak apa-apa. Agak takut kepala dan matanya ia arahkan ke atas. Ya, di sana di atas dahan pohon itu, bertengger seekor burung." Inilah saya Yamao," kata suara dari sana." Bagaimana bisa begitu?" kata Yamao sedapatnya. "Saya terbang ke sini, Yamao. Engkau kan pernah bilang, saya harus jadi burung benar-benar sehingga bisa terbang ke mBiao dan sampaikan bahwa engkau mencintainya dan membawanya ke sini untuk menjadi istrimu. Kata burung Taontaon itu. Kemudian, sayapnya dikembangkan dan terbanglah burung Taontaon itu. Burung itu memasuki udara. Awan embun pagi yang bergelantungan menutupi badan kali itu. Ia menuju arah matahari terbenam. Termangu Yamao melihat burung itu pergi. Lalu kembali ke gubuknya dengan rasa penuh tanda tanya.
Menjelang senja tampaklah pada burung Taotaon itu sebuah kampung yang menurut dia di sanalah mBiao itu berada. Karena selain kampung itu tidak ada lagi kampung lain di seberang kali itu. Dengan sangat hati-hati ia menukik turun ia tak boleh membuat gaduh karena dia tak boleh diketahui keberadaannya. Ia beranjak dari satu pohon ke pohon yang lainnya.
Tanpa teras hari telah menjadi gelap. orang-orang telah terlelap tidur. Burung Taontaon itu pun turun dari pohon yang menjadi tempat persembunyiannya. Ia lalu mendekati pintu rumah mBiao, untunglah pintu itu tak terkunci. Ia mencari sudut gelap di dalam rumah itu. Dari sedikit apai yang masih menyala dari tungku ia melihat ada dua perempuan yang tertidur di balai perempuan. "Itu pasti mBiao dan Mamanya." ujarnya dalam hati. Dengan sangat hati-hati ia mendekati ke dua perempuan yang tertidur itu. Dengan paruhnya yang besar, burung Taontaon itu sedikit demi sedikit menyikap tikar yang membungkus badan mBiao dan Mamanya. mBiao yang sedang terjaga bertanya dalam hati "Ada apa?" gerutunya. "Ssst, ini saya" ia mendengar suara itu. "Siapa itu saya?" tanya mBiao. " saya adalah burung Taontaon dari Yamao. Engkau mesti berlaku setenang mungkin, jangan bikin ribut apa pun. Tenanglah agar kita bisa bicara. “Saya datang menyampaikan salam cinta dari Yamao, toh engkau telah mengenal dia,” ujar burung Taontaon. " Laki-laki yang diseberang kali sana?" tanya mBiao. " Ya saya telah melihatnya, suatu waktu kami menyusuri tempat kediamannya.....," kenang mBiao. (Tamat)
Sumber : Tabloid Jubi
Bilang pada dia saya mau jadikan dia istri. Bilang pada dia saya tak tahan lagi hidup tanpa dia. Tuk, tuk, tuk dan burung Taontaon dengarkan saya baik-baik mungkin kau dapat juga menerbangkan mBiao ke sini. Dengan sayapmu yang besar, lebar kuat engkau dapat mengarungi kali. Dan dengan sayapmu yang sempurna itu tentu engkau dapat juga menerbangkan mBiao ke sini. Tapi tunggu dulu saya akan kasih engkau kekuatan. Ya, sekarang kau punya bentuk sempurna. Tapi apa boleh buat engkau hanya sebuah ukiran kayu mana bisa engkau membantu saya?
Begitulah setiap hari Yamao bertutur sambil terus mengerjakan ukiran burung Taontaonnya. Dan lalu mendapatkan dirinya. Kiranya burung Taontaon itu hanyalah sekeping kayu. Namun, kenyataan itu tak membuat surut pekerjaannya. Ia terus bekerja dengan rajin dan tekun. Kalau bagian leher ukiran itu ia toreh sedikit lagi, maka, selesailah sudah. Sebuah pekerjaan terindah yang belum pernah ia kerjakan. Tinggal lagi memberi warna. Badan dilabur warna hitam dari arang, bagian sayap putih, mata merah dan bagian paruh yang kuat itu berwarna kemerah-merahan.
Semua warna itu ia tahu bagaimana mendapatkannya dengan gampang. Bukan main, betapa eloknya buatan tanganku, hai burung yang indah engkau sudah mendapatkan semuanya. Namun dapatkah engkau terbang ke mBiao? Tangan-xtangannya yang kuat itu mengelus ukiran burung buatannya. Tahukah kau betapa mBiao akan melihat dirimu? Ia tentu sangat memuji rupamu yang elok.
Dan selalu, mata Yamao selalu tertuju pada ukiran burung Taontaonnya. Pilirannya kembali kepada apa yang dituturkan kepada burung Taontaon itu tentang mBiao. Tetapi, entah bagimana, ia menoleh kepada adiknya. Agak kasar ia berkata kepada adiknya itu, engkau hanya makan kerja tidak. Itu afatarku yang enak itu. Aku telah membuat perahuku selesai dan ukiran burung Taontaonku ini. Engkau buat apa? Duduk, makan dan tidur tak ada yang lain engkau tak mungkin mencarikan bagiku seorang perempuan menjadi istriku sehingga membantu semua pekerjaan ini. Tidak mungkinlah kau itu.
Dengan marah ia meninggalkan adiknya di pinggir kali itu, menarik perahunya. Dan oh, betapa indahnya. Perahunya mengapung indah di sana. melihat itu Yamao tak lagi marah. Menyesali tindakan terhadap adiknya, ia berseru ke darat. Kepada adiknya yang masih duduk termenung di pinggir kali itu.
"Adikku Bumer, lihatkah engkau betapa indah perahuku? Apa menurutmu? Namun ia tak menunggu apa jawaban adiknya. Dengan sebuah pengayuh, parahu itu dikayuhkan sekuat tenaga. Air yang ditepis ke belakang, meninggalkan barisan putih di atas kali itu, ia meluncur. Agak jauh ia berpengayuh dan mengemudi perahunya, kembalilah ia ke pantai, namun selalu saja matanya menerawang jauh ke seberang kali, di sana ada kampung lain tempat mBiao tinggal.
Satu kebetulan tentu, karena Yamao tidak hendak melihat perahu barunya. Ia pasti akan begitu terperanjat karena angin ribut dan kilat yang sambar menyambar disambut guntur yang memasuki hutan belantara itu telah mengguncang perahu itu dengan dahsyat. Ukiran burung Taontaon itu bergerak mengangkat paruh dan kepalanya. Mengembangkan sayap dan kakinya beranjak meninggalkan tempatnya di haluan perahu itu. Ukiran itu hidup, ia kini benar-benar burung Taontaon. Ia hidup, ia terbang ke atas menghinggapi dahan sebatang pohon. Semuanya ini tak diketahui Yamao.
Dengan was-was dan ketakutan, Yamao dan adiknya hanya duduk mendengarkan amukan alam yang begitu hebat. Malam itu juga ia ingin keluar mendapatkan perahunya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia tak berani, karena selepas angin ribut itu hujan turun dengan derasnya. mereka putuskan untuk tidur saja.
Pagi-pagi benar Yamao telah terbangun dan melompat keluar dari gubuk mereka. Ia pergi mendapatkan tempat perahunya kemarin ia taruh. " Oh mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan perahuku". Pohon yang tumbang semalam tergeletak di sana persis di sebelah perahunya.
"Pasti ia telah tertimpa dan rusak berkeping-keping," pikirnya dan memang benar apa yang dipikirkannya. Bagian depan perahu tak tampak dari arah dia datang dan telah rusak berkeping-keping. Tetapi setelah berjalan mendekat dan mengelilingi perahunya, ia ketahui bahwa pohon yang tumbang itu sama sekali tak mengenai perahunya. Ya... tetapi dimanakah ukiran burung Taontaon itu? Ia tidak ada di tempatnya. Haluan perahu itu kosong sebagai mana layaknya perahu di Asmat pada waktu itu.
"Uuuu-aaa-uuuuu!!!" "Hei bunyi apa itu?" ia berkata pada dirinya sendiri. Dari mana datangnya suara itu? Ia tidak terbiasa dengan suara seperti itu. Uuuu-aaa-uuuuu!!!" bunyi suara itu kembali terdengar. Yamao melihat sekeliling tapi tak tampak apa-apa. Agak takut kepala dan matanya ia arahkan ke atas. Ya, di sana di atas dahan pohon itu, bertengger seekor burung." Inilah saya Yamao," kata suara dari sana." Bagaimana bisa begitu?" kata Yamao sedapatnya. "Saya terbang ke sini, Yamao. Engkau kan pernah bilang, saya harus jadi burung benar-benar sehingga bisa terbang ke mBiao dan sampaikan bahwa engkau mencintainya dan membawanya ke sini untuk menjadi istrimu. Kata burung Taontaon itu. Kemudian, sayapnya dikembangkan dan terbanglah burung Taontaon itu. Burung itu memasuki udara. Awan embun pagi yang bergelantungan menutupi badan kali itu. Ia menuju arah matahari terbenam. Termangu Yamao melihat burung itu pergi. Lalu kembali ke gubuknya dengan rasa penuh tanda tanya.
Menjelang senja tampaklah pada burung Taotaon itu sebuah kampung yang menurut dia di sanalah mBiao itu berada. Karena selain kampung itu tidak ada lagi kampung lain di seberang kali itu. Dengan sangat hati-hati ia menukik turun ia tak boleh membuat gaduh karena dia tak boleh diketahui keberadaannya. Ia beranjak dari satu pohon ke pohon yang lainnya.
Tanpa teras hari telah menjadi gelap. orang-orang telah terlelap tidur. Burung Taontaon itu pun turun dari pohon yang menjadi tempat persembunyiannya. Ia lalu mendekati pintu rumah mBiao, untunglah pintu itu tak terkunci. Ia mencari sudut gelap di dalam rumah itu. Dari sedikit apai yang masih menyala dari tungku ia melihat ada dua perempuan yang tertidur di balai perempuan. "Itu pasti mBiao dan Mamanya." ujarnya dalam hati. Dengan sangat hati-hati ia mendekati ke dua perempuan yang tertidur itu. Dengan paruhnya yang besar, burung Taontaon itu sedikit demi sedikit menyikap tikar yang membungkus badan mBiao dan Mamanya. mBiao yang sedang terjaga bertanya dalam hati "Ada apa?" gerutunya. "Ssst, ini saya" ia mendengar suara itu. "Siapa itu saya?" tanya mBiao. " saya adalah burung Taontaon dari Yamao. Engkau mesti berlaku setenang mungkin, jangan bikin ribut apa pun. Tenanglah agar kita bisa bicara. “Saya datang menyampaikan salam cinta dari Yamao, toh engkau telah mengenal dia,” ujar burung Taontaon. " Laki-laki yang diseberang kali sana?" tanya mBiao. " Ya saya telah melihatnya, suatu waktu kami menyusuri tempat kediamannya.....," kenang mBiao. (Tamat)
Sumber : Tabloid Jubi