Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Asmat, Papua terus memprihatinkan, bahkan dalam sepekan angka kematian ibu dan anak mencapai 3 sampai 5 jiwa. Siapakah yang bertanggung jawab?
Padahal, alokasi dana untuk bidang kesehatan di Provinsi Papua khususnya untuk Kabupaten Asmat terus mendapat prioritas selain pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur tetapi ironisnya, angka kematian ibu dan anak makin meningkat serta tak terdata secara akurat.
Tipografi Kabupaten Asmat praktis 90 persennya didominasi rawa dan kadang tergenang air dengan kedalaman yang tak menentu. Sehingga secara geografis sangat menghambat pelayanan kesehatan masyarakat dari kampung ke kampung karena pemerintah harus mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Inilah tantangan yang mau tak mau dihadapi petugas medis yang bertugas melayani masyarakat di Kabupaten Asmat.
Entah alokasi dana kesehatan melalui APBD cukup atau tidak, apakah dana kesehatan yang dikategorikan gaji atau biaya operasional hingga bagaimana nasib pelayanan kepada masyarakat tingkat kampung? Untuk mengetahui hal ini, maka Wartawan JUBI Willem Bobi di Asmat mewawancarai Maria Cimantem, seorang bidan yang bertugas Kampung Cemnes, Distrik Agats belum lama ini.Suster Maria adalah salah tenaga bidan yang telah bertugas sekitar 10 tahun di Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua yang kini bertugas di Polindes Kampung Cemnes Distrik Agats. Berikut petikannya.
Menurut anda dalam menanggani pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Asmat. Kendala apa yan ditemui?
Transportasi susah. Kami harus menumpang perahu. Padahal kami harus bayar pakai uang gaji kami. Dulu tahun 2001 dari Agats ke Distrik Akat untuk melayani Posyandu dan kunjungan keliling kampung satu minggu sekali saya harus keluarkan transportasi Rp 100.000 untuk ongkos transportasi Longboat, tetapi sekarang tahun 2008/2009 ongkos transportasi makin mahal. Paling tidak saya harus keluarkan sekitar Rp 1 Juta ke atas. Dari Agats ke Yepem atau Ewer saya pakai uang sendiri, kalau tidak ada uang transportasi maka saya kirim obat.
Mengapa anda tinggalkan anak-anak dan keluarga untuk pergi mengunjungi masyarakat di Kampung?
Tidak ada yang meminta saya pergi tapi saya tau di kampung-kampung banyak masyarakat yang sakit, susah melahirkan dan meninggal disebabkan penyakit seperti muntaber, penyakit kulit, diare dan panas tinggi. Penyakit yang paling banyak ditemui pada orang tua adalah TBC dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan).
Fasilitas pendukung apa saja yang biasa anda pakai untuk menanggani penyakit yang diderita masyarakat?
Transportasi saya tanggung sendiri. Timbangan tua sudah ada di masing-masing Polindes dan Pustu. Selain itu saya bawa obat-obat kadaluarsa di Pustu atau Polindes. Kadang juga masyarakat tak bisa memperoleh obat karena memang tak ada persediaan obat. Selain itu, ada juga meteran yang biasa saya gunakan untuk mengukur tinggi badan. Ada juga tenaga kader yang membantu saya mengukur tinggi badan ibu dan bayi.
Bagaimana biasanya anda mendapat bantuan obat dari pemerintah?
Saya bilang pemerintah tak bantu masyarakat. Saya harus lapor ke kabupaten tetapi biasa terlambat. 3 atau 4 bulan kemudian baru ada bantuan obat untuk diberikan kepada pasien tetapi tak semua jenis obat yang diberikan. Kebanyakan obat sakit kepala dan malaria yang telah lama tersimpan di gudang. Dari jumlah dan jenis obat yang kami minta selalu dijawab tak sesuai permintaan. Jadi saya harus mengurangi jatah pasien. Misalnya, obat pasien A harus bagi dengan pasien B. Menyangkut makanan tambahan dan gizi bagi bayi yang lahir tak seimbang berat badanya juga jarang mendapat asupan gizi tambahan yang baik, saya biasa anjurkan untuk beli susu bubuk di kios. Kalau tidak saya anjurkan untuk terus memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara langsung dan menganjurkan berhenti merokok bagi ibu-ibu yang merokok.
Adakah kendala keterlibatan dari masyarakat, terutama bagi para ibu hamil dan anak yang dikategorikan Pasien karena menderita jenis penyakit tertentu?
Memang sama-sama Orang Asmat tetapi sulit saya jangkau kalau ibu sedang hamil dan anak-anak sudah pergi ke hutan hingga berbulan-bulan. Saya harap, semoga ibu hamil segera kembali ke kampung sehingga saya bisa mengetahui kondisi kesehatannya walau jarang terjadi demikian. Ada saja pasien ibu hamil yang mengidap penyakit jamur atau infeksi pada bagian kemaluannya, mungkin karena dingin dan lembab.
Kadang juga seharian penuh terendam dalam lumpur dan air kotor sehingga mengakibatkan sakit dan tidak tertolong. Ada juga yang kena sipilis dan jenis penyakit kelamin lainnya. Belum lama ini di Kampung Cemnes, berdasarkan pengalaman saya selama 6 bulan terakhir ini terdapat 7 ibu hamil yang saya periksa tetapi mereka masih takut untuk mengkonsumsi obat antibiotik. Sementara ada 7 anak yang tak diimunisasi karena ibunya takut. Jarang ada ibu yang ikut memeriksakan diri ke Puskesmas atau ke tenaga bidan terdekat, kadang juga susah mengikuti program Keluarga Berencana (KB) untuk mengurangi risiko kehamilan.
Adakah pengalaman yang berwarna dalam pelayanan anda sebagai tenaga medis di tingkat Kampung?
Ada saja ibu di bawah umur susah melahirkan karena pinggulnya masih kecil, sungguh parah karena dia masih berumur 13 tahun.. Ada juga perempuan berumur 12 tahun yang hamil namun susah melahirkan dan akhirnya meninggal dunia karena mengalami pendarahan yang hebat sehingga saya tak bisa menyelamatkan jiwanya. Selain itu, ada salah satu ibu hamil dari Distrik Pantai Kasuari tahun 2008 lalu dibawa ke Agats menggunakan longboat selama 9 jam di laut yang mengalami pendarahan terus menerus dan pada saat sampai di Agats, ibu dan anaknya tak bisa tergolong.
Apa yang anda harapkan atas kekurangan dan keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat khususnya ibu dan anak?
Dalam bertugas saya membantu ibu melahirkan meskipun tak semua ibu atau anaknya selamat. Saya selalu berharap agar anak lahir sehat dan ibunya juga selamat tapi hanya Tuhan yang tau dan yang dapat mengabulkan doa dan harapan manusia. Hampir semua pasien yang saya tangani selama 9 tahun terakhir bayinya terlahir dengan berat badan dibawah standar.. Bahkan ada bayi yang berat badannya tak mengalami kenaikan selama 7 hari. Tahun 2008 kemarin, saya sudah laporkan ke Dinas Kesehatan agar diberikan gizi tetapi tak ada bantuan sama sekali. Sekarang saya tak tahu nasib anak tersebut akibat transportasi dan biaya operasional yang tidak pernah ada. Laporan yang saya buat ke Dinas hanya mimpi di siang bolong. (Willem Bobi/Agats)
Sumber : Tabloid Jubi
Padahal, alokasi dana untuk bidang kesehatan di Provinsi Papua khususnya untuk Kabupaten Asmat terus mendapat prioritas selain pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur tetapi ironisnya, angka kematian ibu dan anak makin meningkat serta tak terdata secara akurat.
Tipografi Kabupaten Asmat praktis 90 persennya didominasi rawa dan kadang tergenang air dengan kedalaman yang tak menentu. Sehingga secara geografis sangat menghambat pelayanan kesehatan masyarakat dari kampung ke kampung karena pemerintah harus mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Inilah tantangan yang mau tak mau dihadapi petugas medis yang bertugas melayani masyarakat di Kabupaten Asmat.
Entah alokasi dana kesehatan melalui APBD cukup atau tidak, apakah dana kesehatan yang dikategorikan gaji atau biaya operasional hingga bagaimana nasib pelayanan kepada masyarakat tingkat kampung? Untuk mengetahui hal ini, maka Wartawan JUBI Willem Bobi di Asmat mewawancarai Maria Cimantem, seorang bidan yang bertugas Kampung Cemnes, Distrik Agats belum lama ini.Suster Maria adalah salah tenaga bidan yang telah bertugas sekitar 10 tahun di Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua yang kini bertugas di Polindes Kampung Cemnes Distrik Agats. Berikut petikannya.
Menurut anda dalam menanggani pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Asmat. Kendala apa yan ditemui?
Transportasi susah. Kami harus menumpang perahu. Padahal kami harus bayar pakai uang gaji kami. Dulu tahun 2001 dari Agats ke Distrik Akat untuk melayani Posyandu dan kunjungan keliling kampung satu minggu sekali saya harus keluarkan transportasi Rp 100.000 untuk ongkos transportasi Longboat, tetapi sekarang tahun 2008/2009 ongkos transportasi makin mahal. Paling tidak saya harus keluarkan sekitar Rp 1 Juta ke atas. Dari Agats ke Yepem atau Ewer saya pakai uang sendiri, kalau tidak ada uang transportasi maka saya kirim obat.
Mengapa anda tinggalkan anak-anak dan keluarga untuk pergi mengunjungi masyarakat di Kampung?
Tidak ada yang meminta saya pergi tapi saya tau di kampung-kampung banyak masyarakat yang sakit, susah melahirkan dan meninggal disebabkan penyakit seperti muntaber, penyakit kulit, diare dan panas tinggi. Penyakit yang paling banyak ditemui pada orang tua adalah TBC dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan).
Fasilitas pendukung apa saja yang biasa anda pakai untuk menanggani penyakit yang diderita masyarakat?
Transportasi saya tanggung sendiri. Timbangan tua sudah ada di masing-masing Polindes dan Pustu. Selain itu saya bawa obat-obat kadaluarsa di Pustu atau Polindes. Kadang juga masyarakat tak bisa memperoleh obat karena memang tak ada persediaan obat. Selain itu, ada juga meteran yang biasa saya gunakan untuk mengukur tinggi badan. Ada juga tenaga kader yang membantu saya mengukur tinggi badan ibu dan bayi.
Bagaimana biasanya anda mendapat bantuan obat dari pemerintah?
Saya bilang pemerintah tak bantu masyarakat. Saya harus lapor ke kabupaten tetapi biasa terlambat. 3 atau 4 bulan kemudian baru ada bantuan obat untuk diberikan kepada pasien tetapi tak semua jenis obat yang diberikan. Kebanyakan obat sakit kepala dan malaria yang telah lama tersimpan di gudang. Dari jumlah dan jenis obat yang kami minta selalu dijawab tak sesuai permintaan. Jadi saya harus mengurangi jatah pasien. Misalnya, obat pasien A harus bagi dengan pasien B. Menyangkut makanan tambahan dan gizi bagi bayi yang lahir tak seimbang berat badanya juga jarang mendapat asupan gizi tambahan yang baik, saya biasa anjurkan untuk beli susu bubuk di kios. Kalau tidak saya anjurkan untuk terus memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara langsung dan menganjurkan berhenti merokok bagi ibu-ibu yang merokok.
Adakah kendala keterlibatan dari masyarakat, terutama bagi para ibu hamil dan anak yang dikategorikan Pasien karena menderita jenis penyakit tertentu?
Memang sama-sama Orang Asmat tetapi sulit saya jangkau kalau ibu sedang hamil dan anak-anak sudah pergi ke hutan hingga berbulan-bulan. Saya harap, semoga ibu hamil segera kembali ke kampung sehingga saya bisa mengetahui kondisi kesehatannya walau jarang terjadi demikian. Ada saja pasien ibu hamil yang mengidap penyakit jamur atau infeksi pada bagian kemaluannya, mungkin karena dingin dan lembab.
Kadang juga seharian penuh terendam dalam lumpur dan air kotor sehingga mengakibatkan sakit dan tidak tertolong. Ada juga yang kena sipilis dan jenis penyakit kelamin lainnya. Belum lama ini di Kampung Cemnes, berdasarkan pengalaman saya selama 6 bulan terakhir ini terdapat 7 ibu hamil yang saya periksa tetapi mereka masih takut untuk mengkonsumsi obat antibiotik. Sementara ada 7 anak yang tak diimunisasi karena ibunya takut. Jarang ada ibu yang ikut memeriksakan diri ke Puskesmas atau ke tenaga bidan terdekat, kadang juga susah mengikuti program Keluarga Berencana (KB) untuk mengurangi risiko kehamilan.
Adakah pengalaman yang berwarna dalam pelayanan anda sebagai tenaga medis di tingkat Kampung?
Ada saja ibu di bawah umur susah melahirkan karena pinggulnya masih kecil, sungguh parah karena dia masih berumur 13 tahun.. Ada juga perempuan berumur 12 tahun yang hamil namun susah melahirkan dan akhirnya meninggal dunia karena mengalami pendarahan yang hebat sehingga saya tak bisa menyelamatkan jiwanya. Selain itu, ada salah satu ibu hamil dari Distrik Pantai Kasuari tahun 2008 lalu dibawa ke Agats menggunakan longboat selama 9 jam di laut yang mengalami pendarahan terus menerus dan pada saat sampai di Agats, ibu dan anaknya tak bisa tergolong.
Apa yang anda harapkan atas kekurangan dan keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat khususnya ibu dan anak?
Dalam bertugas saya membantu ibu melahirkan meskipun tak semua ibu atau anaknya selamat. Saya selalu berharap agar anak lahir sehat dan ibunya juga selamat tapi hanya Tuhan yang tau dan yang dapat mengabulkan doa dan harapan manusia. Hampir semua pasien yang saya tangani selama 9 tahun terakhir bayinya terlahir dengan berat badan dibawah standar.. Bahkan ada bayi yang berat badannya tak mengalami kenaikan selama 7 hari. Tahun 2008 kemarin, saya sudah laporkan ke Dinas Kesehatan agar diberikan gizi tetapi tak ada bantuan sama sekali. Sekarang saya tak tahu nasib anak tersebut akibat transportasi dan biaya operasional yang tidak pernah ada. Laporan yang saya buat ke Dinas hanya mimpi di siang bolong. (Willem Bobi/Agats)
Sumber : Tabloid Jubi