Selain itu,warga pribumi yang notabene memiliki budaya yang berbeda, diperlakukan sama dengan warga trans sehingga muncul pendapat untuk menghentikan program transmigrasi. Demikian disampaikan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu,SH yang diwakili oleh Asisten I Gubernur, Drs. Eliaser Renmaur saat Peresmian Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Salor, bertempat di kampung Ivimahad Distrik Kurik (10/3). “Tuntutan ganti rugi tanah adat yang cukup besar itu disebabkan karena penguasaan tanah adat yang tidak bertanggung jawab. Banyak warga trans yang kemudian menjual lagi tanah itu kepada orang lain, itulah yang tidak disetujui oleh masyarakat adat," tutur Renmaur.
Selain dampak negatif, sesungguhnya program transmigrasi memiliki dampak positif berupa percepatan wilayah terstruktur. Hal ini ditunjukkan dengan 217 eks UPT di Papua kini telah berkembang menjadi kampung defenitif, berubah menjadi distrik dan mendorong pemekaran-pemekaran yang tengah terjadi saat ini. “Dengan hadirnya transmigran, juga ikut membentuk tumbuhnya sentra-sentra ekonomi dan infrastruktur kampung," ungkapnya seraya menambahkan bahwa jumlah transmigrasi terbesar di Papua berada di di Kabupaten Merauke dengan jumlah 24.897 KK atau 97.617 jiwa.
Untuk mengatasi dampak negatif sebagai akibat masuknya program transmigrasi, lanjut Renmaur, maka setiap program transmigrasi yang akan masuk ke Papua harus atas izin Gubernur Provinsi Papua. “Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang otonomi khusus dan saat ini DPRP tengah merumuskan Perdasi tentang kependudukan di Papua dan akan segera ditetapkan," jelasnya. (drie/Merauke)
Sumber : Tabloid Jubi