Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara II Marsekal Muda Yushan Sayuti, Kamis (12/3), menyesalkan putusan Pengadilan Tinggi Jayapura yang membebaskan lima warga negara Australia yang mendarat ilegal di Bandar Udara Mopah, Merauke, Papua.
Yushan yang bermarkas di Makassar, Sulawesi Selatan, langsung memerintahkan Pangkalan TNI AU Merauke untuk mengawasi pesawat terbang penyusup dari Australia itu agar tetap berada di wilayah RI hingga terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap kasus tersebut. Kepada Kompas, Marsda Yushan mengakui, pesawat tersebut sebetulnya di bawah penguasaan Kejaksaan Negeri Merauke. Namun, pengawasannya selama ini dikoordinasikan dengan Pangkalan TNI AU Merauke.
Seperti diberitakan Kompas (12/3), majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura yang diketuai Elsa Mutiara Napitupulu memutus bebas lima warga negara Australia yang tertangkap tangan memasuki wilayah RI tanpa dokumen sah, surat penerbangan (security approval/flight clearance). Pilot dan empat penumpangnya juga tak membawa visa.PT Jayapura kemudian memerintahkan mereka meninggalkan wilayah RI. Pesawat jenis Partenavia P-68 (VH-PFP) dan barang bukti lain yang sebelumnya disita pun harus dikembalikan. Atas putusan itu, Kejaksaan Negeri Merauke mengajukan kasasi ke MA.
Yushan berharap putusan kasasi MA kelak terhadap kasus tersebut menguatkan kembali putusan Pengadilan Negeri Merauke tanggal 15 Januari 2008.
Komisi Yudisial
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim PT Jayapura yang mengadili kasus itu. Alasannya, terjadi kejanggalan mendasar dalam memeriksa perkara tersebut.
Muttalib mengingatkan, dalam menangani warga asing pelintas batas ilegal, aparat Indonesia harus becermin pada nasib nelayan RI yang kerap diperlakukan kejam oleh aparat Australia. Ia mengingatkan kekejaman perlakuan aparat keamanan Australia terhadap nelayan yang dituduh sebagai pelintas batas perairan Darwin, Australia.Contohnya, April 2008, tanpa melalui proses peradilan, sebuah kapal nelayan asal Makassar dibakar di tengah laut dan para awak kapal ditahan di Darwin kendati global positioning system nelayan menunjukkan bahwa mereka belum memasuki wilayah perairan Australia. (NAR)
Sumber : Kompas.com
Yushan yang bermarkas di Makassar, Sulawesi Selatan, langsung memerintahkan Pangkalan TNI AU Merauke untuk mengawasi pesawat terbang penyusup dari Australia itu agar tetap berada di wilayah RI hingga terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap kasus tersebut. Kepada Kompas, Marsda Yushan mengakui, pesawat tersebut sebetulnya di bawah penguasaan Kejaksaan Negeri Merauke. Namun, pengawasannya selama ini dikoordinasikan dengan Pangkalan TNI AU Merauke.
Seperti diberitakan Kompas (12/3), majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura yang diketuai Elsa Mutiara Napitupulu memutus bebas lima warga negara Australia yang tertangkap tangan memasuki wilayah RI tanpa dokumen sah, surat penerbangan (security approval/flight clearance). Pilot dan empat penumpangnya juga tak membawa visa.PT Jayapura kemudian memerintahkan mereka meninggalkan wilayah RI. Pesawat jenis Partenavia P-68 (VH-PFP) dan barang bukti lain yang sebelumnya disita pun harus dikembalikan. Atas putusan itu, Kejaksaan Negeri Merauke mengajukan kasasi ke MA.
Yushan berharap putusan kasasi MA kelak terhadap kasus tersebut menguatkan kembali putusan Pengadilan Negeri Merauke tanggal 15 Januari 2008.
Komisi Yudisial
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim PT Jayapura yang mengadili kasus itu. Alasannya, terjadi kejanggalan mendasar dalam memeriksa perkara tersebut.
Muttalib mengingatkan, dalam menangani warga asing pelintas batas ilegal, aparat Indonesia harus becermin pada nasib nelayan RI yang kerap diperlakukan kejam oleh aparat Australia. Ia mengingatkan kekejaman perlakuan aparat keamanan Australia terhadap nelayan yang dituduh sebagai pelintas batas perairan Darwin, Australia.Contohnya, April 2008, tanpa melalui proses peradilan, sebuah kapal nelayan asal Makassar dibakar di tengah laut dan para awak kapal ditahan di Darwin kendati global positioning system nelayan menunjukkan bahwa mereka belum memasuki wilayah perairan Australia. (NAR)
Sumber : Kompas.com