Sejak berlakunya undang-undang otonomi khusus Papua, hampir seluruh lahan restan di wilayah pemukiman transmigrasi digugat kembali oleh pemilik hak ulayat. Sementara itu, tanah restan atau sisa pemukiman yang kini dikelola oleh warga trans bagi produktifitas pertanian sebagian besar belum memiliki pelepasan tanah adat dan bersertifikasi.
Hal ini disampaikan Kepala Kampung Marga Mulya, Eva Hardianto saat ditemui JUBI diruang kerjanya (18/3). Ironisnya, kata dia, ada pula warga trans yang sudah menggunakan tanah restan itu hingga mencapai 10 hektar sesuai instruksi pemerintah untuk tidak membiarkan lahan kosong menjadi semak belukar. “Sesuai dengan kesepakatan,setiap KK diberikan lahan 2 hektar untuk pemukiman. Sedangkan mengenai lahan kosong itu Pemkab Merauke menginstruksikan untuk melakukan produktifitas lahan sebanyak-banyaknya guna mendukung ketahanan pangan," ujar Eva sembari mengatakan bahwa hal ini terjadi diseluruh pemukiman transmigrasi di Kabupaten Merauke
Meskipun gugatan terhadap tanah restan terus berlanjut, namun menurut Eva, hal itu sama sekali tidak mengganggu produktivitas para petani. Mereka terus menanam sambil menunggu kebijakan pimpinan daerah yang konon kabarnya akan segera menyelesaikan permasalahan ganti rugi tanah ulayat yang sudah ditempati warga trans sejak bertahun-tahun lamanya. “Masalah ini sudah dilaporkan ke Pemkab Merauke melalui pemerintahan distrik dan Pemkab berjanji dalam pertemuan beberapa waktu lalu untuk segera menyelesaikan masalah ini. Namun hingga kini belum ada realisasinya," ungkap Eva sembari mengatakan bahwa hingga kini warga masih tetap menunggu ketegasan dari pemerintah daerah.
Dirinya berharap pada Pemerintah Daerah membantu warga trans dalam pelepasan tanah adat dan membuat hak patent atas tanah restan itu. (drie/Merauke)
Sumber : Tabloid Jubi
Hal ini disampaikan Kepala Kampung Marga Mulya, Eva Hardianto saat ditemui JUBI diruang kerjanya (18/3). Ironisnya, kata dia, ada pula warga trans yang sudah menggunakan tanah restan itu hingga mencapai 10 hektar sesuai instruksi pemerintah untuk tidak membiarkan lahan kosong menjadi semak belukar. “Sesuai dengan kesepakatan,setiap KK diberikan lahan 2 hektar untuk pemukiman. Sedangkan mengenai lahan kosong itu Pemkab Merauke menginstruksikan untuk melakukan produktifitas lahan sebanyak-banyaknya guna mendukung ketahanan pangan," ujar Eva sembari mengatakan bahwa hal ini terjadi diseluruh pemukiman transmigrasi di Kabupaten Merauke
Meskipun gugatan terhadap tanah restan terus berlanjut, namun menurut Eva, hal itu sama sekali tidak mengganggu produktivitas para petani. Mereka terus menanam sambil menunggu kebijakan pimpinan daerah yang konon kabarnya akan segera menyelesaikan permasalahan ganti rugi tanah ulayat yang sudah ditempati warga trans sejak bertahun-tahun lamanya. “Masalah ini sudah dilaporkan ke Pemkab Merauke melalui pemerintahan distrik dan Pemkab berjanji dalam pertemuan beberapa waktu lalu untuk segera menyelesaikan masalah ini. Namun hingga kini belum ada realisasinya," ungkap Eva sembari mengatakan bahwa hingga kini warga masih tetap menunggu ketegasan dari pemerintah daerah.
Dirinya berharap pada Pemerintah Daerah membantu warga trans dalam pelepasan tanah adat dan membuat hak patent atas tanah restan itu. (drie/Merauke)
Sumber : Tabloid Jubi