MERAUKE- Setelah ditunda satu minggu, sidang pilot sekaligus Direktur Cape Air Transportasi, Willem Hendri Scott Bloxam (64), warga Australia yang melakukan pelanggaran penerbangan di Indonesia dengan cara mendaratkan pesawatnya jenis P-68/Reg.VH.PFP di Bandara Mopah Merauke, kembali digelar di Pengadilan Negeri Merauke, Kamis (18/12).
Agenda persidangan adalah mendengar keterangan saksi ahli HK Martono, SH, LLM yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yafet Ruben Bonai, SH, Rifky Firmansyah, SH, dan Eko Wahyudi, SH.
Karena didatangkan dari Jakarta, maka sidang yang semula digelar pukul 11.00 WIT harus molor hingga pukul 13.00 WIT guna menunggu datangnya pesawat. Sidang terdakwa yang dipimpin Ketua PN Merauke Desbenneri Sinaga, SH didampingi Beauty D Simatauw, SH dan Suwarjo, SH masing-masing sebagai anggota majelis, dihadiri oleh 3 Penasehat Hukum terdakwa masing-masing, Efrem Fangohoy, SH, Guntur Ohoiwutun, SH dan Leonardus Kuncoro, SH serta penerjemah Samson Renyut.
Dalam keterangnya, HK Martono, mengungkapkan persyaratan yang harus dilengkapi oleh setiap pesawat asing yang akan masuk ke wilayah RI mengacu pada pada Konvensi Cicago. Dimana setiap negara atau negara anggota mempunyai kewenangan untuk menetapkan aturan untuk melindungi negara sesuai prinsip-prinsip konvensi tersebut.
Sesuai aturan yang ada, lanjutnya, setiap penerbangan atau pesawat asing yang akan masuk ke wilayah RI harus memiliki izin. "Tidak ada satu perberbangan ke negara lain tanpa persetujuan terlebih dahulu," kata dosen Trisakti, STMT, Universitas Tarumanagara dan Universitas Islam Jakarta ini.
Terkait dengan kerja sama dalam hal penerbangan, menurut HK Martono, ada kerja sama bilateral. Indonesia dan Australia, sambung dia, telah memiliki perjanjian kerja sama bilateral, namun belum ada perjanjian multibilateral. Untuk kerja sama bilateral tersebut adalah penerbangan yang terscedul atau terjadwal. ''Yang tidak terjadwal harus dengan izin khusus,'' terang pensiunan Dirjen Perhubungan Udara ini.
Khusus pesawat Cape Air Transportasi milik terdakwa, menurut Martono, harus masuk ke Indonesia dengan izin khusus dan harus memiliki flight approval yang diurus dan dikantongi sebelum masuk ke Indonesia.
"Untuk izin khusus wajib memiliki flight approval. Sedangkan scurity clearance sebenarnya tidak wajib dimiliki, tapi faktanya kadang-kadang dari TNI AU tetap meminta. Kecuali jika pesawat yang masuk itu landing atau menggunakan pangkalan milik TNI AU,"tandasnya.
Menanggapi pertanyaan kuasa hukum terdakwa bahwa 60 mile sebelum mendarat petugas tower sudah dikontak dan petugas tower memerintahkan pilot untuk mendarat, Martono mengungkapkan, apa yang dilakukan petugas tower tersebut sudah tepat demi keselamatan pesawat itu. Sebab petugas tower memiliki tugas untuk menuntun setiap pesawat yang masuk demi safety atau keselamatan pesawat itu sendiri.
Soal memiliki izin atau tidak bukan tugas dari petugas tower. "Jika tidak melayani itu salah dan kita bisa dipersalahkan. Jadi petugas tower itu hanya melayani dengan menuntun setiap pesawat yang masuk. Soal ada pelanggaran atau tidak, itu ada unsur lain,'' tegasnya. Sementara soal mendarat atau tidak merupakan kewenangan penuh dari pilot sebagai komandan di atas pesawat.