MERAUKE - Tim investigasi konflik invetasi di wilayah adat Anim Ha, Kabupaten Merauke akan merekomendasikan Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, untuk mendorong penyelesaian masalah tanah transmigrasi dan dampak Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di tingkat Pemerintah Pusat.
Hal itu dikemukakan panitia support investigasi, Paulus Samkakai kepada wartawan di areal Gedung DPRD Kabupaten Merauke, Senin (7/10) kemarin siang.
Paulus mengklaim, dua masalah itu adalah tsunami (bencana) bagi masyarakat adat Marind. Sehingga perlu direkomendasikan untuk diselesaikan di pusat. Pemerintah pusat dianggap perlu meninjau kembali izin tanah transmigrasi, begitu pula dengan dampak MIFEE bagi masyarakat adat.
“Yang kami hadapi itu dua masalah yang sangat besar, menurut kami itu tsunami, yakni masalah tanah-tanah transmigrasi dan MIFEE. Kira-kira orang Marind mau dikemanakan? Kami sampaikan agar Pemda bersama DPRD kembalikan ke Pemerintah Pusat, masalah ijin-ijin itu tolong ditinjau kembali lagi oleh Pemerintah Pusat. Juga termasuk pelanggaran perusahaan-perusahaan terhadap hak-hak masyarakat adat itu,” ungkapnya.
Dikatakan, kedua permasalahan ini akan ditindaklanjuti oleh LSM-LSM yang ada di Papua maupun di Merauke, seperti WWF, SKP dan Foker LSM Papua. Sambungnya, persoalan terkait investasi dan tanah transmigrasi itu perlu ditinjau oleh Pemerintah Pusat karena secara tidak langsung menjadi ancaman bagi masyarakat adat.
“Karena masalah itu sudah dibahas, bukan lagi menjadi isu lokal atau nasional, tapi menjadi isu internasional. Sekarang Ibu Lim Malwali, Ketua Foker LSM Papua hadir di Jenewa, di Komisi B tentang MIFEE, karena persoalan ini sudah memuncak. Jadi kami juga lagi menanti beliau agar dilakukan pembicaraan lagi bersama masyarakat adat. Karena itu, kami akan dorong di bulan Oktober, bicara secara adat orang Marind di Kampug Salor,” bebernya.
Lebih gamblang penyelesaian permasalahan tanah transmigrasi dan MIFEE perlu ada kerja sama tiga elemen, yakni Pemda, agama dan masyarakat. Menurut Paulus, perlu intervensi tiga elemen ini untuk menyamakan persepsi sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara baik.
“Selama ini kalau kita lihat bahwa tiga tungku belum bekerja sama, yakni antara agama, masyarakat adat dan pemerintah. Masing-masing masih berjalan dengan dia punya jalur-jalur sendiri. Sehingga kami bentuk tim investigasi. Tim investigasi sudah dibentuk dan stering komite lagi dibentuk untuk Kongres ke III 2014 di Merauke yang membicarakan masalah hak masyarakat adat,” tandas Paulus. (Lea/achi/lo1)