detikTravel Community -
Distrik Sota di Merauke adalah titik paling timur negeri Indonesia. Di sini juga terdapat tugu perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini. Cukup melompat di sini, artinya Anda sudah keluar negeri!
Tugu Kembaran Sabang Merauke baru saja dilewati, setelah itu ada gerbang bertuliskan 'Good Bye And See You Again Another Day'. Perjalanan ke Distrik Sota, Merauke, Papua ini adalah menuju perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini.
Sebelum masuk ke kawasan batas akhir, saya harus memasuki taman perbatasan mm 13 yang menjadi pelataran batas Indonesia dengan Papua Nugini. Hari ini, saya ditemani oleh Bapak Ma'ruf Suroto, polisi penjaga taman tersebut.
Di taman tersebut terdapat tugu bertuliskan 'Team Survey INA' dan 'Team Survey AUS'. Saya baru tahu ternyata, perbatasan ini dulunya ditemukan oleh tim survey yang berasal dari dua negara, yakni Indonesia dan Australia.
Saya mengira bahwa itu adalah batas akhir negara Indonesia. Saya pun langsung melompat ke belakang tugu dan berkata 'Saya di luar negeri!'. Namun Pak Ma'ruf tertawa dan mengatakan bahwa itu bukanlah batas akhir, karena tanah yang saya injak adalah daerah bebas seluas 150 meter. Saya pun tersipu malu dan sedikit kecewa.
Melihat kekecewaan di raut wajah saya, Pak Ma'ruf yang selalu tersenyum itu langsung mengajak saya untuk masuk ke zona netral atau daerah bebas dan berjalan sejauh 150 meter ke garis perbatasan yang sebenarnya. Daerah bebas ini seperti hutan yang ditumbuhi banyak kayu ketapang dan pohon kayu putih.
Di perjalanan, kami bertemu dengan beberapa warga dari Papua Nugini yang akan pulang ke kampungnya dengan berjalan kaki. Padahal, jarak kampung terdekat yakni kampung Wereafere di Papua Nugini berjarak sekitar 15 km dari perbatasan itu. Bayangkan, betapa jauh mereka harus berjalan.
Dari informasi Pak Ma'ruf, para warga yang ingin masuk ke Indonesia harus menggunakan border pass yang diurus di kantor imigrasi. Biasanya, para warga ini datang secara berkelompok dan border pass mereka dipegang oleh ketua kelompok. Jadi, saya tidak bisa melihat seperti apa border pass yang berlaku disini.
Sekedar informasi, masyarakat Papua Nugini bisa bicara dalam tiga bahasa, yakni sedikit bahasa Indonesia, bahasa asli Papua Nugini dan bahasa Inggris. Tak heran, ketika berpapasan mereka mengucapkan 'Good Day', yang artinya selamat siang. Begitu pula ketika kami berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing.
Setelah kurang lebih 5 menit berjalan, sampailah kami ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah tanda perbatasan. Tanda itu tidaklah besar dan mencolok, namun hanya berupa tiang semen setinggi setengah meter bertuliskan 23 8, yang merupakan tanggal dibangunnya tanda tersebut.
Pak Ma'ruf mengatakan bahwa inilah batas akhir negara kita dengan Papua Nugini. Itu artinya, satu langkah di depan sudah bukan lagi Indonesia. Saya pun tidak menunggu waktu lama untuk melompat dan berteriak 'Saya benar-benar di luar negeri!'.
Kami pun tertawa dan melompat bersama sekali lagi. Benar-benar pengalaman pertama menyebrangi negara tanpa menggunakan pesawat atau kendaraan lain. Hanya dengan melompat!
Tugu Kembaran Sabang Merauke baru saja dilewati, setelah itu ada gerbang bertuliskan 'Good Bye And See You Again Another Day'. Perjalanan ke Distrik Sota, Merauke, Papua ini adalah menuju perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini.
Sebelum masuk ke kawasan batas akhir, saya harus memasuki taman perbatasan mm 13 yang menjadi pelataran batas Indonesia dengan Papua Nugini. Hari ini, saya ditemani oleh Bapak Ma'ruf Suroto, polisi penjaga taman tersebut.
Di taman tersebut terdapat tugu bertuliskan 'Team Survey INA' dan 'Team Survey AUS'. Saya baru tahu ternyata, perbatasan ini dulunya ditemukan oleh tim survey yang berasal dari dua negara, yakni Indonesia dan Australia.
Saya mengira bahwa itu adalah batas akhir negara Indonesia. Saya pun langsung melompat ke belakang tugu dan berkata 'Saya di luar negeri!'. Namun Pak Ma'ruf tertawa dan mengatakan bahwa itu bukanlah batas akhir, karena tanah yang saya injak adalah daerah bebas seluas 150 meter. Saya pun tersipu malu dan sedikit kecewa.
Melihat kekecewaan di raut wajah saya, Pak Ma'ruf yang selalu tersenyum itu langsung mengajak saya untuk masuk ke zona netral atau daerah bebas dan berjalan sejauh 150 meter ke garis perbatasan yang sebenarnya. Daerah bebas ini seperti hutan yang ditumbuhi banyak kayu ketapang dan pohon kayu putih.
Di perjalanan, kami bertemu dengan beberapa warga dari Papua Nugini yang akan pulang ke kampungnya dengan berjalan kaki. Padahal, jarak kampung terdekat yakni kampung Wereafere di Papua Nugini berjarak sekitar 15 km dari perbatasan itu. Bayangkan, betapa jauh mereka harus berjalan.
Dari informasi Pak Ma'ruf, para warga yang ingin masuk ke Indonesia harus menggunakan border pass yang diurus di kantor imigrasi. Biasanya, para warga ini datang secara berkelompok dan border pass mereka dipegang oleh ketua kelompok. Jadi, saya tidak bisa melihat seperti apa border pass yang berlaku disini.
Sekedar informasi, masyarakat Papua Nugini bisa bicara dalam tiga bahasa, yakni sedikit bahasa Indonesia, bahasa asli Papua Nugini dan bahasa Inggris. Tak heran, ketika berpapasan mereka mengucapkan 'Good Day', yang artinya selamat siang. Begitu pula ketika kami berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing.
Setelah kurang lebih 5 menit berjalan, sampailah kami ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah tanda perbatasan. Tanda itu tidaklah besar dan mencolok, namun hanya berupa tiang semen setinggi setengah meter bertuliskan 23 8, yang merupakan tanggal dibangunnya tanda tersebut.
Pak Ma'ruf mengatakan bahwa inilah batas akhir negara kita dengan Papua Nugini. Itu artinya, satu langkah di depan sudah bukan lagi Indonesia. Saya pun tidak menunggu waktu lama untuk melompat dan berteriak 'Saya benar-benar di luar negeri!'.
Kami pun tertawa dan melompat bersama sekali lagi. Benar-benar pengalaman pertama menyebrangi negara tanpa menggunakan pesawat atau kendaraan lain. Hanya dengan melompat!