Kompensasi kayu di Papua dinilai masih sangat rendah. Nilai kompensasi yang rendah ini dapat dilihat dari penetapan. Surat Keputusan Gubernur Papua Nomor 184 Tahun 2004 tentang Standar Pemberian Kompensasi bagi Masyarakat Adat atas Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayat di Provinsi Papua.
"Nilai kompensasi dalam SK tersebut sangat rendah dan dinilai merugikan hak-hak masyarakat adat Papu," kata Yafet Leonard Franky, Direktur Yayasan Pusaka,Sabtu (27/10), di Merauke. Pasalnya, kata Yafet, nilai kompensasi untuk masyarakat hanya Rp 2.000 per meter kubik. Karena itu, SK Nomor 184/2004 itu diusulkan agar diubah.
Menurut Yafet, SK Nomor 184/2004 itu mengabaikan dan tidak mengakui kewenangan masyarakat adat untuk menentukan dan menghargai haknya. ”SK ini memudahkan dan mempercepat penghancuran hutan. Ada ide menggugat SK ini,” kata Yafet. SK tersebut dijadikan dasar oleh perusahaan di bidang hutan tanaman industri (HTI) ataupun perusahaan perkebunan dalam memberikan nilai kompensasi kayu kepada masyarakat pemilik hak ulayat. PT Selaras Inti Semesta (HTI), misalnya, memberikan kompensasi kayu hasil hutan Rp 2.000 per kubik kepada masyarakat adat Kampung Zenegi, Distrik Animha, Merauke. ”Idealnya SK ini tidak bisa dipakai lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kampung Zenegi Ernest Gebze menyatakan, nilai kompensasi kayu Rp 2.000 per kubik sangat rendah. Karena itu, masyarakat Kampung Zenegi menuntut kompensasi kayu dinaikkan menjadi Rp 10.000 per kubik.
”Uang Rp 2.000 itu tidak ada nilai apa-apanya. Rendah sekali. Apalagi kayu yang dipotong itu bagus-bagus,” katanya.Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke Effendi Kanan mengakui kompensasi kayu hasil hutan Rp 2.000 per kubik terlalu rendah. Pihaknya mengusulkan Rp 5.000 per kubik. Karena itu, Dishutbun Merauke telah mengirimkan surat kepada Pemprov Papua agar mengubah SK 184/2004. Pemprov telah mengajukan perubahan SK itu kepada DPR Papua.
"Nilai kompensasi dalam SK tersebut sangat rendah dan dinilai merugikan hak-hak masyarakat adat Papu," kata Yafet Leonard Franky, Direktur Yayasan Pusaka,Sabtu (27/10), di Merauke. Pasalnya, kata Yafet, nilai kompensasi untuk masyarakat hanya Rp 2.000 per meter kubik. Karena itu, SK Nomor 184/2004 itu diusulkan agar diubah.
Menurut Yafet, SK Nomor 184/2004 itu mengabaikan dan tidak mengakui kewenangan masyarakat adat untuk menentukan dan menghargai haknya. ”SK ini memudahkan dan mempercepat penghancuran hutan. Ada ide menggugat SK ini,” kata Yafet. SK tersebut dijadikan dasar oleh perusahaan di bidang hutan tanaman industri (HTI) ataupun perusahaan perkebunan dalam memberikan nilai kompensasi kayu kepada masyarakat pemilik hak ulayat. PT Selaras Inti Semesta (HTI), misalnya, memberikan kompensasi kayu hasil hutan Rp 2.000 per kubik kepada masyarakat adat Kampung Zenegi, Distrik Animha, Merauke. ”Idealnya SK ini tidak bisa dipakai lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kampung Zenegi Ernest Gebze menyatakan, nilai kompensasi kayu Rp 2.000 per kubik sangat rendah. Karena itu, masyarakat Kampung Zenegi menuntut kompensasi kayu dinaikkan menjadi Rp 10.000 per kubik.
”Uang Rp 2.000 itu tidak ada nilai apa-apanya. Rendah sekali. Apalagi kayu yang dipotong itu bagus-bagus,” katanya.Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke Effendi Kanan mengakui kompensasi kayu hasil hutan Rp 2.000 per kubik terlalu rendah. Pihaknya mengusulkan Rp 5.000 per kubik. Karena itu, Dishutbun Merauke telah mengirimkan surat kepada Pemprov Papua agar mengubah SK 184/2004. Pemprov telah mengajukan perubahan SK itu kepada DPR Papua.