
Warga Kampung Marga Mulya, di Merauke
Masih menanti ketegasan Pemerintah daerah itu untuk melakukan pelepasan tanah adat bekas lahan transmigrasi. Mereka menanti dengan batas waktu tak pasti.
Pelaksanaan program transmigrasi di Merauke semenjak tahun 1980-an ternyata meninggalkan jejak tersendiri. Dibagian lain ditemukan adanya masalah dalam kehidupan para transmigran. Namun pada bagian lain pula, ditemukan adanya persoalan menyangkut tanah adat yang digugat pemiliknya. Masalah itu tidak pernah tuntas hingga kini. Masalah tanah tersebut mulai mencuat tatkala berlakunya Undang-Undang Otsus di Papua. Di mana tanah restan (sisa tanah pemukiman/lahan) yang dipakai untuk produktifitas pertanian guna mendukung program nasional mulai harus disertifikatkan. Untuk tanah pemukiman hampir tidak ada masalah. Namun berbeda dengan tanah restan. Menurut aturan, pelepasan tanah pemukiman dan restan harus dijadikan satu paket pelepasan. Namun ternyata tidak seperti itu. Akhirnya, banyak tanah yang sudah digunakan digugat kembali. Akibatnya jelas, produktifitas pertanianpun macet. Di lain sisi, pihak adat juga selalu menanyakan legalitas tanah yang harus ditunjukkan dengan “upacara pelepasan tanah adat”. Ini memang sangat menyulitkan warga transmigrasi.
Di Distrik Jagebob, Merauke, warga akhirnya menjadi resah dengan masalah ini. Mereka pun berpindah ke distrik lain. “Sejak berlakunya Undang Undang Otsus Papua, hampir seluruh lahan restan di wilayah pemukiman transmigrasi digugat kembali oleh pemilik hak ulayat,” ujar Kepala Desa Kampung Marga Mulya, Merauke, Eva Hardianto kepada Jubi belum lama ini. Dikatakannya, tanah-tanah restan atau tanah sisa permukiman itu kini masih tetap dikelola oleh warga trans bagi produktifitas pertanian mereka. “Namun sebagian besar belum memiliki pelepasan tanah adat dan bersertifikasi,” ujarnya. Pihaknya juga, kata dia, tetap menggarap lahan-lahan tersebut sembari menanti keputusan dan ketetapan ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Lahan yang diterima mereka rata-rata seluas 2 hektar.
Dikatakan, meskipun koordinasi dengan pemda selalu dilakukan melalui distrik terkait sertifikasi tanah namun sampai sekarang belum terealisasi sesuai janji bupati pada saat pertemuan dengan warga di gedung Meansai beberapa waktu lalu. “Kita saat ini hanya menunggu, karena menyelesaikan sendiri tidak akan mungkin tanpa ada ketegasan dari pemerintah daerah karena mengenai hak ulayat ada aturannya sendiri,” ujar Hardianto. Ditambahkan, untuk mengantisipasi konflik, selama ini pihaknya melakukan pendekatan dengan memberikan pengertian kepada para pemilik tanah mengenai ganti rugi itu. Hasilnya, masyarakat adat mulai mengurangi tuntutannya.
Pembauran Dengan Warga Lokal
Pembauran memang kerap disoroti banyak pihak. Apalagi menyangkut pembauran antara warga transmigrasi dengan warga pemilik tanah. Di Merauke, Suku Muyu dan Mandobo lebih mudah dalam berinteraksi dengan transmigran ketimbang Marind yang agak menjauhkan diri. Dalam pelaksanaan transmigrasi, terdapat pula program transmigrasi lokal yang bertujuan untuk pembauran. Prosentasenya 80% pendatang dan 20% penduduk lokal dengan pertimbangan jumlah penduduk lokal yang relatif kecil sehingga tidak dimungkinkan untuk dinaikkan prosentasenya.
Program ini memiliki sejumlah syarat. Antara lain, mampu mengolah lahan pekarangan, mampu dalam melakukan pengolahan lahan produksi, memahami tentang budaya setempat, mampu dalam melakukan produktifitas lahan dan mampu untuk berdiri sendiri. Khusus untuk lahan 2 Di Merauke, wilayah yang saat ini mampu untuk mengelolanya adalah Distrik Kurik, Semangga dan Tanah Miring. Wilayah ini memang berdekatan dengan akses pemerintahan dan banyak menerima bantuan. Sedangkan lainnya belum begitu berkembang karena letaknya yang cukup jauh, seperti misalnya Jagebob.
Kepala Seksi Permukiman Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Merauke, Mula Marpaung mengatakan sesungguhnya tidak ada masalah menyangkut masalah pembauran antara kedua masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda. “Hanya saja sebelum kedatangan transmigrasi ke Kabupaten Merauke perlu disosialisasikan terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan permasalahan,” ujar Marpaung. Kini, lanjutnya, program transmigrasi yang dilakukan pemerintah Merauke difokuskan pada Program Kota Terpadu Mandiri (KTM) yakni Salor dan pembangunan trans baru sebagai pecahan KK dari trans lama dengan warga lokal dan pendatang. Alasannya, karena banyak pecahan KK yang harus ditampung sementara pengurusan sertifikat cukup mahal. Alasan lainnya adalah banyaknya tenaga kerja pertanian yang cukup memadai sehingga harus diakomodir.
Dikatakan Marpaung, masalah tanah adat, lepas dari pembauran antara keduanya, masih kerap terjadi meski dalam skala kecil. Dikemukakan, warga transmigran di Merauke berjumlah kurang lebih 25.138. Kepada mereka diberikan tanah walaupun bukan untuk dimiliki. Tanah tersebut, katanya, masih tetap menjadi hak warga lokal, terkecuali lahan seluas 2 hektar yang berasal dari pemerintah. Dikatakannya, menurut kebijakan pimpinan daerah, lahan sisa yang ada dapat dipergunakan untuk produktifitas pertanian warga trans namun jika ingin disertifikasi haruslah melalui keputusan bersama dengan melibatkan berbagai unsur terutama dari pihak adat agar tidak menimbulkan masalah. Tanah pemukiman seluas 2 hektar itu, kata dia, didasarkan pada perhitungan : Lahan pekarangan seluas ¼ hektar, Lahan Usaha 1 seluas 0,75 hektar, lahan usaha 2 seluas 1 hektar dan untuk fasilitas umum seluas 0,5 ha. Sehingga jika diakumulasi menjadi 2 hektar.
“Untuk warga lokal tidak ada paksaan untuk mengikuti program trans, tergantung kemauan. Namun program ini lebih difokuskan pada pecahan KK yang tidak memiliki lahan,”Marpaung.
Diakui, program transmigrasi merupakan pioneer pertama dalam membuka keterisolasian. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan jembatan, jalan hingga pengadaan air bersih termasuk pengadaan tendon. Sejak diserahkan pada Pemkab, maka Dinas Transmigrasi tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap warga trans.
Ganti Rugi
Sementara itu, Assiten I Bidang Pemerintahan Setda Provinsi Papua, Drs Elieser Renmaur mengatakan, tuntutan ganti rugi tanah adat yang cukup besar itu, karena penguasaan tanah adat yang tidak bertanggung jawab. “Banyak warga trans yang kemudian menjual lagi tanah itu kepada orang lain, itulah yang tidak disetujui oleh masyarakat adat,” tutur Renmaur.
Dikatakan, sebanyak 217 lokasi eks Unit Permukiman Transmigrasi di Papua kini telah berkembang menjadi kampung defenitif, berubah menjadi distrik dan mendorong pemekaran-pemekaran yang tengah terjadi saat ini. Kabupaten Keerom dan Distrik Muara Tami merupakan salah satu contohnya karena mayoritas penduduknya berasal dari warga transmigrasi. “Dengan hadirnya transmigran juga ikut membentuk tumbuhnya sentra-sentra ekonomi dan infrastruktur kampung,” ungkap Renmaur. Dia juga menambahkan bahwa jumlah transmigrasi terbesar di Papua berada di Kabupaten Merauke dengan jumlah 24.897 KK atau 97.617 jiwa. Untuk mengatasi dampak negatif sebagai akibat masuknya program transmigrasi, lanjut Renmaur maka setiap program transmigrasi yang akan masuk ke Papua harus atas izin Gubernur Provinsi Papua. (Indri/Merauke)
Sumber : Tabloid Jubi