Perempuan Asmat hingga kini masih dipandang hanya bertugas bekerja di dapur, mengandung, melahirkan dan menjaga serta membesarkan anak. Pandangan adat dari orang Asmat di Papua itu diakui seorang penulis Novel Dewi Langgarsari di Agats, Kamis (12/2) lalu.
“Kekerasan baik secara fisik maupun kekerasan non fisik sangat menyakitkan bagi kaum perempuan di wilayah Asmat,” ujar Dewi, di Agats, Asmat. Dikatakan penulis novel ShaliI itu, beberapa kasus yang dikategorikan termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kaum perempuan di Asmat, bahkan tak pernah diproses secara hukum. Hal tersebut semakin memicu pandangan masyarakat bahwa tindakan tersebut adalah benar serta terkesan mengijinkan kaum pria melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Dewi, seorang yang juga pernah menulis tentang Ronggeng, Asrama Putri, Selendang Pelangi dan menyusun karya ilmiah berjudul Wanita Asmat serta Jew itu mengatakan, kekerasan yang dilakukan kerap terjadi terhadap kaum perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Dilain sisi, kata dia, kaum perempuan yang memiliki pendidikan tinggi pun kerap mengalami hal serupa dalam ruang, situasi dan kondisi yang berbeda. “Perempuan harus sekolah dan terus mengejar pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Tidak harus tergantung kepada kaum laki-laki dalam menyelesaikan tugas-tugas,” ujar Dewi.
Sementara itu, untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum perempuan dan mewujudkan isu gender disegala sisi, Dewi berpendapat, harus ada pengertian yang adil antara laki-laki dan perempuan. “Lembaga adat, masyarakat keluarga, pemerintah dan perempuan sendiri mesti berjuang,” katanya. (Willem Bobi/Asmat)
Sumber : Tabloid Jubi
“Kekerasan baik secara fisik maupun kekerasan non fisik sangat menyakitkan bagi kaum perempuan di wilayah Asmat,” ujar Dewi, di Agats, Asmat. Dikatakan penulis novel ShaliI itu, beberapa kasus yang dikategorikan termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kaum perempuan di Asmat, bahkan tak pernah diproses secara hukum. Hal tersebut semakin memicu pandangan masyarakat bahwa tindakan tersebut adalah benar serta terkesan mengijinkan kaum pria melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Dewi, seorang yang juga pernah menulis tentang Ronggeng, Asrama Putri, Selendang Pelangi dan menyusun karya ilmiah berjudul Wanita Asmat serta Jew itu mengatakan, kekerasan yang dilakukan kerap terjadi terhadap kaum perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Dilain sisi, kata dia, kaum perempuan yang memiliki pendidikan tinggi pun kerap mengalami hal serupa dalam ruang, situasi dan kondisi yang berbeda. “Perempuan harus sekolah dan terus mengejar pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Tidak harus tergantung kepada kaum laki-laki dalam menyelesaikan tugas-tugas,” ujar Dewi.
Sementara itu, untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum perempuan dan mewujudkan isu gender disegala sisi, Dewi berpendapat, harus ada pengertian yang adil antara laki-laki dan perempuan. “Lembaga adat, masyarakat keluarga, pemerintah dan perempuan sendiri mesti berjuang,” katanya. (Willem Bobi/Asmat)
Sumber : Tabloid Jubi