Sumber : Tabloid Jubi
Bukan tsunami dan bukan banjir tetapi air pasang laut selatan Papua di mulut kali Flaminggo Agats menyeret satu rumah warga pribumi milik Yipits yang hari-harinya bekerja sebagai nelayan. Air pasang tersebut membuat warga kota Agats panik dan terpaksa mengunggi ke bagian darat yang kemungkinan besar tidak kena air pasang. Tingginya air pasang yang mencapai 4 meter di atas permukaan laut (dpl) dinilai petua adat adalah hal biasa bagi orang Asmat.
Menurut tanda-tanda alam bagi orang Asmat bahwa pada Desember tahun 2008 adalah bulan yang harus mawas diri dalam aktivitas sehari hari untuk melaut sebab di laut selatan Papua aor laut melewati batas normal atau mengalami air pasang. Seperti tahun sebelumnya disaksikan wartawan Jubi, Januari 2009 pun demikian dialami warga Agats. Air pasang membuat risiko kecelakaan lalu lintas darat bakal terjadi di kota Agats. Hari Minggu subuh (11/01) sekitar pukul 03.00wit sekitar kota Agats dikagetkan dengan badai dan angin yang kencang sehingga membuat warga yang sedang tertidur lelap terpaksa harus bangun dan mengemas serta mengamankan perabot rumah tangga dan alat rumah tangga (RT) lain, hingga air pasang mulai turun sekitar satu jam kemudian.
Pendeta Coharces, salah satu warga kota Agats yang rumahnya berada di tengah kota Agats, Sabtu subuh tersebut harus memindahkan barang RT termasuk komputer PC yang dimiliki lebih dari lantai agar tidak kena air pasang. ”Pak pendeta dengan kami harus naik ke atap pagi-pagi subuh, hanya untuk mengamankan barang-barang yang kami miliki di dalam rumah. Kami khawatir air naik hingga setinggi rumah,” terang Yanto, Warga kota Agats.
Air pasang dengan kecepatan angin sekitar 15-25 knot tersebut menyebabkan air naik setinggi 4 meter dpl dan 1 meter diatas jalan jembatan, alias para-para kota Agats. Lantai rumah warga biasanya memiliki tinggi sekitar 3 meter dari tanah lumpur yang serata dengan permukaan air laut. Maka hanya gara-gara 1 meter air pasang di atas jembatan sehingga membuat warga harus melangkah di dalam diatas air setinggi lutut atau paha tergantung ukuran fisik masing-masing orang.
Martha T, tinggi badan hanya satu meter sehingga terpaksa tidak berani keluar rumah tetapi harus mencari posisi aman di atas lemari dan meja sehingga aman dan tanpa memindahkan barang perabot RT miliknya.
Meskipun ukuran tinggi-rendah badan seseorang bukan jaminan keselamatan jalan di atas para-para kota Agats. Warga mesti melangkah hanya dengan meraba-raba jangan sampai keluar dari jembatan yang lebarnya 1,5meter maupun bahaya akibat papan jembatan yang licin. ”kami harus pastikan dulu kami mau injak dimana, karena air juga kabur, subuh masih gelap dan senter tidak memungkinkan lebih terang untuk dipake banyak orang,” jelas mama Amir di kompleks Pasar, kota Agats.
Akibat air pasang tersebut sejumlah titik kampung menjadi sasaran karena memilkki bangunan jalan-jembatan serta bangunan rumah keluarga yang tingginya cukup rendah berada di bawa 3 meter di atas dpl.
Letak geografis asmat di atas tanah datar di sepanjang wilayah kabupaten Asmat, membuat sejumlah warga yang keluar rumah pun harus hari-hati. Soalnya kini warga bukan berjalan kaki di atas tanah melainkan di atas para-para yang terendam dalam air. Jika salah-salah injak maka bisa terpeleset dan terjatuh ke dalam air pasang setinggi 4 meter.
Asmat yang belum memiliki badang meteorologi dan Geofisika ini, mestinya memperhatikan rambu-rambu yang dikeluarkan oleh badan meteorolgi dan fgeofisika Merauke, sebagai satu wilayah geofrafis yang berdekatan dan memiliki gejalan gelombang laut sama di laut Banda hingga Arafura. ”malam ini adalah malam yang terakhir,” ujar Yanto, Senin (12/01) sesuai pembacaan kalender pasang-surut air laut menurut adat. Meskipun demikian sejumlah peringatan dini dikeluarkan Badan Meteor dan Geofisika Kabupaten Merauke, harus menjadi acuan peringatan dini agar tidak terjadi korban di wilayah teluk Flamonggo dan sekitarnya.
Orang asmat sudah tahu sebelum hari H pasang surut sehingga jarang terjadi kecelakaan akibat pasang-surut air laut. ”yang mengalami kecelakan ketika air laut pasang itu orang yang tidak tahu adat-budaya orang Asmat,” terang Anton, Sehingga bisa mengalami kecelakaan atau korban dengan alasan ditelan air pasang.
Meskipun tiap tahun warga kota Agats dikunjungi air pasang yang selalu melewati batas dan ukuran normal air pasang warga tetap memilih untuk bertahan di tempat yang sama. Apa solusi pemerintah daerah setempat? Kontra pusat ibukota Kabupaten juga pasang-surut. Sebagian warga mengatakan ”ibu kota kabupaten mesti dipindahkan ke tempat lain lalu dijadikan agats adalah pusat kota budaya dan kota tua,” namun hanya tinggal opini sejumlah pemerhati kota Agats.
Sementara warga beberapa tokoh termasuk elit politik dan pejabatdi birokrat juga terjadi pro dan kontra: apakah pusat ibu kota akan dipindahkan dengan alasan yang berbagai macam. ”ee tidak bisa dipindahkan. Masa dari dulu sampai sekarang orang asmat ada dimana-mana dan kami yang ada di sini tetap hidup,” terang Pak Suru kepada tabloid.
Maka menurut Suru bahwa hanyalah orang-orang dan pemerintah yang tidak bisa menyesuaikan diri dan berpikir enak-enak di kota saja yang berpikir pindahkan kabupaten ini, kalau mau bangun asmat bangunlah dari sekarang. Jangan berpikir daerah kurang tepatlah dan tidak cocoklah segala macam, Terang Suru. (Willem Bobi/Asmat).
Monday, 12 January 2009
Agats: Air Pasang Telan Satu Rumah, Susah Desain Kota Lumpur.
Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Labels:
Seputar Asmat
- Siswa SMA Negeri 1 Astj Ikut Penyuluhan HIV-AIDS
- 71 Mahasiswa Asmat Luar Daerah Terima Bantuan Tiket
- Wajah Asmat di Agats
- Perjuangan Hidup di Tengah Kemudahan Hasil Laut Agats
- Pesta Budaya Asmat Tarik Tamu Negara dan Turis Asing
- Turis Asing Ikut Acara Lelang
- Warga Demo Tuntut Penerimaan CPNS 100 Persen Orang Asli Asmat
- 5 Calon Anggota KPU Asmat Lolos Seleksi