Kali Maro dan Pelabuhan Kota Merauke dari Udara
Merauke - Kala itu tahun 1902. Suku Marind Anim takjub melihat ada kapal uap bisa melintas tanpa dayung. Saat pendatang menunjuk Sungai Maro, orang Marind Anim menyebut 'Maro-ka'. Artinya, "Itu Sungai Maro". Namun ucapan orang Marind Anim kemudian berkembang menjadi Maroke, kemudian Merauke. Padahal orang Marind Anim yang merupakan penduduk asli kabupaten di Papua ini menyebut daerahnya dengan nama Ermasuk.
Yup! Banyak yang mengira Merauke merupakan singkatan atau pelesetan dari kata 'merantau ke'. Padahal sebenarnya tercipta akibat kesalahpahaman saat percakapan antara orang Marind Anim dengan orang Belanda yang berada di kapal uap tersebut. Merauke memang terletak di tepi Sungai Maro yang melintasi daerah Papua bagian selatan. Penduduknya telah berkembang menjadi 17 suku, termasuk suku Asmat.
Konon, rusa banyak sekali ditemukan, sehingga membuat Merauke terkenal dengan sebutan Kota Rusa. Berburu binatang dengan menggunakan busur dan anak panah juga menjadi kultur rakyat Merauke mencari makan. Selain rusa, ada juga kangguru merah dan burung pelikan. Namun rusalah yang menjadi maskotnya. Tapi saat detikcom menginjakkan kaki di Merauke pada Kamis 27 Agustus 2007, tak terlihat rusa berkeliaran di kota maupun di hutan. Tak ada rusa yang sedang minum di pinggir Sungai Maro selebar 500 meter tersebut.
Yang ada justru sapi yang bertebaran, terutama di Distrik Tanah Miring, areal persawahan. Sapi memang bukan binatang buruan. Hewan ini digunakan untuk mengangkut hasil pertanian maupun sebagai sapi potong. Kultur rakyat Merauke memang perlahan begeser dari pemburu hewan menjadi petani. Namun hasil buruan masih bisa dinikmati. Dendeng rusa maupun sate rusa menjadi makanan khas Merauke, meski bumbunya sudah berkolaborasi dengan gaya memasak para transmigran dari Pulau Jawa. Begitu juga daging kangguru. Buntut hewan berkantung itu bahkan kerap diolah menjadi sop buntut.
Meski masuk kategori kabupaten tertinggal, penampilan Merauke cukup apik. Di kota, cukup banyak rumah permanen di daerah yang berada 4 meter di bawah permukaan laut ini. Nyaris tidak ada warung kecil, melainkan toko-toko kelontong dengan kemasan mini market. Angkot banyak melintas di Kota Merauke yang kegiatan ekonominya tetap terjaga hingga pukul 21.00 WIT. Sedangkan sejumlah tempat hiburan seperti kafe, karaoke, dan hotel masih melek. Tapi jangan bayangkan tempat hiburannya seperti Jakarta. Bentuk bangunannya lebih sederhana, bahkan hotelnya pun paling tinggi hanya tiga lantai, namun semuanya full AC.
Terus berbenah agar keluar dari status tertinggal, Merauke juga sudah cukup tersentuh teknologi komunikasi moderen. Menara-menara operator seluler bertebaran. Bisa jadi tidak akan ada lagi salah paham komunikasi dari 'Maro-ka' menjadi Merauke.
From Detik