MERAUKE - Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Merauke, Nicolaus Tefo Mahuze, mengatakan bahwa perjanjian kontrak tanah oleh investor dengan masyarakat pemilik ulayat harus dibicarakan secara detail agar kontrak tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat.
“Pemerintah harus transparan dan terbuka terkait pembicaraan kontrak tanah, itu harus lebih diperkecil pengertiannya. Bukan secara umum, orang bisa persepsi atau menjurus kepada lepas tanah. Sebenarnya bukan seperti itu, kontrak karya itu dilakukan dengan beberapa jangka waktu tertentu, dari 25 sampai 45 tahun paling tinggi. Dan yang saya lihat di sana tidak ada pemberdayaan orang asli Papua,” kata Nicolaus kepada wartawan, Kamis (3/10).
Menurut dia, pembicaraan kontrak tanah yang melibatkan masyarakat (pemilik ulayat), perusahaan dan pemerintah harus secara merinci mulai dari pola dan mekanisme kontrak. Antara lain, sebut dia, seperti nilai kontrak, jangka waktu, CSR, dan lainnya.”Bagaimana kita bicara tentang kontrak ? Apakah dibayar per bulan, kemudian berapa perhektar dalam satu bulannya? Kemudian dilakukan pembayaran pada akhir tahun, sehingga pemberdayaan Orang Asli Papua terlihat. Yang selama ini terjadikan, misalnya diukur sekian hektar langsung bayar Rp1 miliar, mungkin 2 hari uang itu sudah habis,” ucapnya dengan lantang.
Ditambahkan, kisruh antara masyarakat pemilik ulayat dan pihak perusahaan yang akhir-akhir ini semakin intens disebabkan karena pemahaman masyarakat tentang kontrak itu masih minim.
“Orang tidak melihat dari besarnya kontrak itu, menurut saya harus dibicara khusus bagaimana kontrak itu berjalan? Satu bulan itu dikasih berapa perhektar dikalikan dengan berapa ribu hektar? Nah sehingga kelihatan di situ hak-hak mereka ada. Selama ini tidak ada, karena pembicaraan kontrak itu belum secara terperinci atau secara khusus