Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe mengatakan sampai akhir masa tambang PT Freeport Indonesia, diperkirakan hampir sekitar 3 miliar ton pasir sisa atau Tailing akan mengendap di area ModADA yang luasnya sekitar sekitar 230 Km dan sebagian akan mengendap di muara.
Sebagaimana diketahui perusahaan pertambangan dan emas PT Freeport Indonesia yang telah berlangsung sejak tahun 1971, selain menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak dihasilkan juga pasir sisa atau tailing sebagai limbah yang perlu dikelola lebih lanjut sehingga tidak mencemari lingkungan.
Ditegaskannya, pengelolaan Tailing yang dilakukan saat ini adalah mengacu pada dokumen AMDAL 300 K yang telah disetujui oleh pemerintah. Dimana tailing dialirkan melalui sistem sungai Anghawagon-Otomona menuju suatu daerah khusus yang dinamakan daerah pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi atau ModADA.
“Besarnya volume tailing yang dihasilkan dan luasnya daerah pengendapan yang dibutuhkan serta terbentuknya hamparan padang pasir tailing, dimana luasnya membuat setiap orang menganggap tailing sebagai suatu masalah yang sulit untuk diselesaikan,” Gubernur saat menghadiri Kegiatan Workshop Pemanfaatan Tailing, di Swissbell Hotel, Rabu (16/10) kemarin.
Hal ini akan semakin buruk jika lokasi pengendapan tailing tersebut tidak segera direklamasi, karena tailing akan terus dihasilkan dan diendapkan sampai masa akhir tambang nanti yaitu sampai tahun 2041. Walaupun praktek pengelolaan tailing ini telah sejalan dengan dokumen AMDAL 300 K tahun 1997, namun perlu dicarikan terobosan baru antara lain melalui pemanfaatan Tailing.
Dengan perkembangan teknologi serta ditemukannya beberapa alternatif pemanfaatan tailing, beberapa tahun yang lalu, telah diujicobakan pemanfaatan tailing sebagai bahan konstruksi. Percobaan pemanfaatan tailing ini, ternyata berhasil sehingga pada tanggal 24 November 2006 pemerintah Provinsi Papua membuat Nota kesepahaman dengan PT.Freeport untuk memanfaatkan tailing guna percepatan pembangunan di Papua.
Sebagai realisasi dari Nota kesepahaman ini berbagai ruas jalan telah dibangun untuk mendukung transportasi sehingga dapat membuka dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal ini tentunya memberikan manfaat Papua dan disamping itu juga bisa merubah cara pandang umum terhadap tailing, yang awalnya tailing suatu masalah berubah menjadi sumber daya yang bisa dimanfaatkan.
Sebagai gubernur dirinya berharap narasumber yang akan berbicara dalam workshop pemanfaatan tidak saja masalah yang ditimbulkan oleh tailing, tapi juga manfaat yang bisa diberikan sehingga bisa menggunakannya semaksimal mungkin.
Dengan berjalannya waktu kegiatan, pemanfatan tailing menjadi terhambat, karena harus ada ijin-ijin khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat berhubung tailing masih dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), berdasarkan PP No.18/1999 Jo PP No.85.1999.
Selain itu juga adanya multitafsir dari peraturan ini. “Kalau kita lihat dampak utama dari pengelolaan tailing adalah terjadinya sedimentasi, karena mau tidak mau tailing harus dialirkan dan diendapkan di dataran rendah,”paparnya.
Selama 40 Tahun lebih PTFI beroperasi, semestinya masyarakat yang tinggal di Timika dan sekitarnya juga pemerintah Kabupaten Mimika bisa menerima dampak positif dari pengelolaan sumber daya tailing ini secara ekonomi. Beberapa waktu lalu, tim BAPESDALH Papua juga telah melakukan kunjungan dan inspeksi terhadap pengelolaan tailing di ModADA sebagai program pengawasan rutin yang harus dilakukan.
Tim juga telah mengambil sampel tailing dan dikirimkan ke 3 laboratorium penguji yang terarkreditasi di Jakarta untuk pengujian toksisitasi TCLP dan uji Akut LC50 dan LD50, menyimpulkan bahwa tailing dikatagorikan sebagai practical non toxic atau tidak berbahaya.
Mengacu kepada hasil pengujian tersebut diatas dan keberhasilan pemanfaatan tailing yang telah dilakukan bahan konstruksi seperti pembangunan jalan di Timika dan Merauke, juga kantor Bupati Mimika. “Saya perlu menyampaikan bahwa kita harus mencari dan membuat langkah-langkah yang strategis untuk menentukan kebijakan pemanfaatan tailing kedepan. Sehingga praktek pemanfaatan tailing secara luas bisa dilakukan.
“Beberapa wilayah di Selatan Papua seperti Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mappi mengalami kendala dengan ketersediaan bahan baku pasir untuk pembangunan. Pengambilan pasir pantai yang selama ini dilakukan oleh beberapa pihak telah mengakibatkan terjadinya abrasi dan ini perlu dicegah,” terangnya.
“Pemanfaatan tailing dapat menjadi solusi kedepan. Kami mendapat laporan bahwa pada waktu lalu sempat dikirim beberapa kali tongkang pasir ke Merauke. Namun karena ketidakpastian status tailing dan proses perijinan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang masih menganggap tailing sebagai limbah B3, maka upaya ini menjadi terhenti,” sambungnya.(nls/achi/lo1)