Merauke – Setelah diguyur hujan yang cukup deras beberapa jam sebelumnya, sore itu, Sabtu, 23 Oktober 2010, Kota Merauke terasa lebih cerah. Matahari sudah mulai bersinar kembali. Biasanya pada saat seperti ini pemandanga sunset – matahari terbenam - di pantai dapat dinikmati dengan leluasa. Seperti halnya di Pantai Lampu Satu, Merauke. Inilah salah satu pantai dan tempat terbaik untuk menikmati sunset pertama di Nusantara.
Suasana Merauke yang cerah seperti ini tentu saja tidak mungkin kami lewatkan. Inilah hari terakhir saya, Erwin dan Bang Leo di Kota Merauke sebelum kembali ke Jakarta keesokan harinya. Kami akan menutup perjalanan kami selama di dua minggu di tanah Black Diamond, Papua ini dengan menikmati sunset pertama di negeri ini. Eksotisme sunset di Pantai Lampu Satu, Merauke.
Saat Sang Mentari Tenggelam di Ujung Timur Nusantara
Sekitar pukul empat sore waktu setempat, Syarif, driver taksi yang kami carter datang menjemput kami di Hotel Itese. Pantai Lampu Satu, itulah tujuan kami. Pantai ini jaraknya dari pusat Kota Merauke hanya sekitar 4 kilomter. Menurut beberapa sumber, nama lampu satu diambil karena lantaran ada sebuah Mercusuar yang menghadap ke laut.
Karena waktu tempuh dari Hotel Itese menuju pantai tidak terlalu jauh, di perjalanan kami sempatkan beberapa saat untuk mengunjungi Tugu Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat) dan bekas komplek pemakaman Belanda.
Sepanjang perjalanan menuju lampu satu kita akan melewati beberapa kampung dengan jalan yang cukup baik. Mendekati pantai, Mercusuar yang merupakan ciri dari pantai ini dapat terlihat di kejauhan. Begitu memasuki pantai, kami langsung disuguhi pemandangan unik. Terlihat kapal-kapal nelayan berserakan seperti terdampar jauh ke tepi pantai. Hal ini terjadi lantaran saat pasang surut, air laut dapat surut sejauh 2 kilometer dari bibir pantai. Sejauh mata memandang terlihat pantai yang panjang dan luas. Jika sedang surut biasanya tempat ini sering dimanfaatkan masyarakat untuk bermain bola, mencari kerang siput dan bahkna balapan motor. “Biasanya kalau hari libur dan air laut sedang surut, disini sering ada lomba balapan motor”, cerita pak Syarif kepada kami.
Sementara Bang Leo dan Pak Syarif mencari minuman dan makanan, saya dan Erwin berkeliling pantai untuk melihat berbagai aktifitas yang dilakukan masyarakat disana. Sedikit demi sedikit langit di ufuk timur mulai berwarna jingga keemasan. Saat-saat dimana sang Mentari mulai beranjak ke peraduannya. Imajinasipun bermain tatkala menyaksikan pesonanya.
Beberapa orang nampak berjalan ke tepi pantai usai mencari siput. Di sudut lainnya sejumlah pemuda dan anak-anak sedang asyik bermain bola. Ada juga sekelompok anak-anak yang sedang bermain pasir di antara kapal-kapal nelayan yang bersandar. Sungguh pemandangan unik dan menakjubkan tatkala bayang-bayang mereka bermandikan sinar jingga keemasan sang mentari. Bahkan saat seorang nelayan yang sedang membawa jaringnya berjalan jauh menuju laut terlihat begitu memesona. Nelayan tersebut bagaikan bayangan hitam berjalan di lautan pasir di bawah kemerahan sinar sang mentari.
Perlahan-lahan melihat sang mentari turun ke peraduannya dari berbagai sudut di Pantai Lampu Satu sungguh akan membuat imajinasi kita melayang jauh. Walaupun bukan pantai pasir putih, namun suasana romantisme yang ditawarkan pantai ini benar-benar akan membuat anda jatuh hati. Inilah saat-saat indah kami menikmati suasana matahari tenggelam di ujung timur nusantara. Jadi, sempatkanlah diri anda juga untuk dapat menikmati segala keunikan, romantisme dan eksotisme Pantai Lampu Satu.