Tersebutlah dekat sebuah batang kali di Asmat, hiduplah dua orang beradik kakak. Yamao dan adiknya Bumer. Yamao masih sangat muda, tetapi memang kuat. Adiknya itu tak begitu beruntung. Bumer mengalami kecelakaan pada waktu berburu. Ia mengejar seekor babi yang besar sekali. Sungguh di luar dugaan dan memang belum pernah terjadi. Lemparan tombak Bumer tak mengenai babi itu. Aneh memang, tak seperti biasanya. Ujung tombaknya yang tajam hanya mengikis kulit babi itu. Babi itu lalu mendatanginya dengan geram dan terjadilah, salah satu kakinya patah digigit babi itu dan tinggalah sebuah luka besar. kejadian itu sudah sangat lama. Tetapi, lama sekali barulah luka itu sembuh. Kaki Bumer yang kena gigitan babi itu menjadi bengkok dan agak lebih pedek dari kaki yang lainnya.
Bumer tak lagi dapat berjalan sempurna. Yang dilakukan hanya bisa melompat dengan satu kaki, ini pun sangat sulit ia lakukan. Karena itulah Yamao harus terus merawatnya. Untuk makanan, untuk gubuk keduanya tinggal dan apa saja, semuanya dilakukan Yamao. Karena itu sering terpikir dalam benak Yamao, “ alangkah baiknya apabila mBiao ada di sini. “mBiao? Ya, mBiao adalah seorang gadis manis. Gadis itu pernah melewati tempat kaka beradik itu tinggal. Ia bersama orang tuanya dalam sebuah perahu menyusuri kali.
Kampung mBiao terletak di sebelah kali besar, berseberangan dengan tempat kakak beradik itu tinggal. Sewaktu perahu itu melintas lalu jauh berlalu, Yamao masih saja berdiri di tepi kali itu dan lama merenung. Masih terbayang wajah gadis cantik itu. “Alangkah bagusnya apabila dia menjadi istriku,” pikirnya. Kemudian mBiao selalu terbayang dalam benak. Nama gadis itu memang ia ketahui dari seorang perempuan, mungkin mamanya. Ya, mBiao nama itu dipanggil dan rupanya gadis itulah yang memiliki nama itu. Sekilas memang mata gadis itu bertemu juga dengan pandangan Yamao. tapi tentu hanya sekilas. Ada kesan? Sangat menadlam bagi Yamao, entahlah bagi gadis itu.
Saat ini Yamao sedang sibuk membuat sebuah perahu. Walau ia begitu sibuk bekerja, terus terbayang dalam benaknya paras gadis itu. Beberapa waktu yang lalu Yamao pernah ke hutan untuk memilih pohon untuk dijadikan perahu. Memang itu tak gampang, namun ia temukan juga sesuai kehendak hatinya. Itulah pohon yang ia tebang dan sekarang dijadikan perahu. Tidak dari jenis kayu yang lembut, tidak juga dari kayu yang keras dan tentunya saja tidak bengkok, harus lurus. Ia juga harus tahu bagaimana perahu itu akan didorong ke pinggir kali.
Setelah menetukan tempat dan pilihannya, pohon itu lalu ditebang dengan kapak batunya hingga rebah. Setelah habis ranting dan dahan serta puncak ia tebas, mulailah ia dengan pekerjaan menggali batang pohon itu. Pekerjaan itu sungguh tak gampang, tetapi dapat ia kerjakan. Berhari-hari dengan sebuah api kecil bagian pohon itu ia bakar dan dibentuknya menjadi bagian dalam dan bagian luar perahu itu. Akhirnya pekerjaan itu selesai juga ia lakukan. Untuk memperhalus tentu saja ia memerlukan kulit kerang yang ia ambil dari kali itu.
Setelah selesai semuanya, perahu itu lalu didorong ke kali. Cukup berat juga pekerjaan itu. Karena tubuhnya yang kekar dan kuat itu, Yamao bisa dengan gampang melakukannya. Dipinggir kali sekarang ia memperhalus dan menghiasai perahunya. Begitulah, pada ujung bagian muka, yaitu haluan perahu itu, hendak ia ukir bentuk burung taontaon. Demikian, maka dengan sangat hati-hati dan teliti, ukiran burung taontaon itu dibuatnya. Meskipun dalam bayangan belum pernah ada satu pun jenis burung di sekitar tenpat kediamannya. Untuk menempatkan ukiran burung taontaon pada haluan perahu adalah hal yang tak biasa.
Ia belum juga terlalu jauh dengan pekerjaannya menghiasi perahu itu. Tentu saja tak gampang. Tidak seorangpun di sekitarnya yang dapat memberinya petunjuk. dirinya juga tak begitu tahu bahkan alat yang digunakannya sangat bersahaja. Sebuah kapak batu dan pecahan kulit kerang. Itulah yang ia miliki. Semua itu ia buat sendiri bersama adiknya. Ia memecahkan batu yang keras menjadi bongkahan yang kemudian ia asah sampai halus dan ujungnya tajam lalu ia buat jadi kapak. Semua itu perlu waktu banyak, tetapi juga untuk adiknya yang tak mungkin ia abaikan begitu saja. Ia memang punya tekad.
Ia harus menyelesaikan ukiran burung taontaonnya itu. Akan sangat berat baginya untuk meninggalkan pekerjaan ini. Tetapi ia hatus pergi menangkap ikan atau berburu. Tidak berbuat yang lain? Mereka toh perlu makan. Tentu saja pekerjaan mengukir itu tak juga terlalu maju-maju, melainkan disitu-situ juga. Pekerjaannya tak tertuju hanya pada pekerjaan mengukir lagi. Ia sering melamun kalau tak disibukkan dengan pekerjaan lain. Lamunannya akan banyak hal, tetapi akan lebih kuat lagi akan terpaut pada mBiao, “Oh, dia, betapa indahnya, kalau menjadi istriku. Walau terkesan hanya melihat sekilas gadis itu berlalu menyusuri kali melewati rumahnya. Selalu dan senantiasa terkenang. Tetapi, gadis itu memang tinggal jauh. Jauh diseberang sana kali besar sana. tempat kediaman mereka dibatasi bentangan air, kali yang besar. “Oh, mBio..... seandainya.
Di samping sebatang pohon tumbang yang terletak disitu, ia duduk merenung. Termenung sendiri. Pekerjaan mengukirnya seolah terabaikan. “Untuk bertemu dan melihat mBiao dari dekat, “Seandainya...... aku menjadi burung taontaon,” angannya. Dan begitu berpikir ia langsung menuju perahu dan tangannya dengan cekatan meneruskan ukirannya. Dari leher, kepala, lalu bawan dan ekor. Tuk, tuk, tuk, bunyi ketekokan kapak batunya pada ukuran dihaluan perahunya. Ia berkata, burung taontaon dari hari kehari elok rupa ukiranku. Beberapa waktu yang lalu kau hanya sebongkah kayu yang kusisakan pada haluan perahuku. Kini tubuhmu menjadi engkap, badan, leher, kepala dan paruhmu. Kau semakin sempurna. Tahukah kau, burung taontaonku, apa yang kukehendaki darimu? Aku sesungguhnya mau supaya kamu menjadi burung benar-benar. Bukan sekedar hanya ukiran di haluan perahuku. Sambil tangannya dengan terus lincah bekerja. Tuk, tuk, tuk bunyi ketokan kapak batunya. Dan kalau kau menjadi burung betul, tahukah kau apa yang kukehendaki darimu? Burung taontaon engkau pasti sudah menduga apa yang kukehendaki darimu. (Bersambung)
Sumber : Tabloid Jubi