Kapal Sanpai Asmat yang diluncurkan awal tahun 2008 lalu merupakan angkutan andalan masyarakat Asmat yang harus tetap waspada saat mengarungi Muara Kali Atsj. (Foto : Jubi/Willem Bobii)
Bukan merupakan sesuatu hal yang baru ketika berbicara tentang keganasan perairan pantai selatan Muara Kali Atsj di Asmat, Papua. Sudah banyak korban berjatuhan akibat amukan badai dan ombak disana. Namun sayangnya, tak seorang pun pernah mampu mengungkap misteri keganasan tersebut.
Keganasan perairan di wilayah selatan Asmat, dulunya sebelum 2005 merupakan bagian dari wilayah kabupaten Merauke, sebenarnya telah menjadi rahasia umum yang dimaklumi setiap orang yang hidup diwilayah ini. Wilayahnya yang dikelilingi air, menjadikannya sangat mudah terserang amukan badai dan ombak. Pada beberapa wilayah di luar Agats, berdiri diatas hamparan ilalang dan sejumlah besar hutan. Namun berbeda dengan Ibu kota Kabupaten Asmat, Agats. Agats semenjak 40 tahun terakhir memang dikenal sebagai kota air ketimbang kota budaya. Sematan itu diberikan lantaran air yang memenuhi Agats tak pernah kunjung surut.
Konon diceritakan, air mulai memenuhi Agats sejak meninggalnya seorang Pastor yang mati dibunuh oleh orang Asmat puluhan tahun lalu. Pastor yang tak diketahui namanya itu sebelum menghembuskan nafas terakhir bersumpah suatu saat Agats akan dipenuhi air yang tak akan pernah surut. Benar tidaknya cerita tersebut tetap menyisahkan sebuah misteri yang hingga kini tak bisa diungkapkan oleh orang Asmat sendiri. Namun yang pasti, berselang 50 tahun, Agats yang sebelumnya berdiri diatas tanah, telah berubah menjadi kota yang berpijak pada lumpur dan air laut.
Kasus Tenggelamnya KM Lisman Jaya
Sebagai sebuah wilayah yang terdiri dari sebagaian besar air, Asmat menjadi sangat rentan terhadap kasus kecelakaan laut. Sejumlah daerah menjadi rawan di Asmat karena dikenal sebagai wilayah yang kerap menelan korban jiwa. Misalnya di Muara Kali Uniir, Kali Bets dan Siret yang dikenal memiliki arus air yang sangat kuat. Arus ganas tersebut ditemukan membentuk pusaran besar di Kali Omanecep. Bagi warga setempat, kecelakaan yang sering terjadi di Asmat merupakan gejala awal atas ketidakpedulian manusia terhadap alam.
Untuk mengantisipasinya, warga kerap melakukan ritual khusus sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada “pemilik” laut. Ritual itu, bertujuan agar tak lagi kasus serupa yang menelan korban jiwa terulang. Uniknya, meski telah dilakukan ritual-ritual khusus, kecelakaan di perairan Asmat masih saja terjadi. Setiap tahunnya paling sedikit 2 kecelakaan laut terulang. Tidak saja menenggelamkan kapal tapi juga menelan korban jiwa. Sebut saja peristiwa kecelakaan KM Lisman Jaya pada pertengahan Januari kemarin.
Lisman Jaya yang saat itu memuat kurang lebih 27 penumpang plus awak kapal, tenggelam pada 13 Januari di Muara Asmat. Kapal motor tersebut sebelumnya bertolak dari Timika menuju Yahokimo. Namun naas menimpanya ketika melewati perairan Asmat yang dikenal sangat tidak bersahabat. Sedikitnya 3 orang tewas dalam peristiwa itu. Mereka adalah Hendy Prakoso, Wendyansah dan Boyke. Mereka adalah tiga orang dokter yang ditugaskan di Asmat. Dua diantaranya ditemukan pasca kejadian tenggelamnya Lisman Jaya. Sedangkan Boyke, sang dokter muda, hingga kini lenyap tertelan perairan Asmat. Diduga kapal motor tersebut tenggelam pada saat melintasi muara Aswet yang dangkal dan berlumpur. Pada saat bersamaan, badai dan ombak menghantam tubuh kapal yang akhirnya menyebabkan kapal tersebut terbalik. 24 orang diantaranya selamat setelah tim SAR setempat tiba dilokasi kejadian.
Oktiovianus Takimai, seorang pemerhati masyarakat Papua di Jayapura mengatakan, dirinya bahkan tak tahu menahu mengenai kronologis tenggelamnya KM Lisman Jaya. Dikatakan Takimai, hal tersebut disebabkan karena kesimpangsiuran informasi yang diterima pihaknya. Menurutnya, ada dua versi kronologis tenggelamnya KM Lisman Jaya. Pertama, kronologis yang dikeluarkan pihak kepolisian setempat dan informasi yang diberitakan sebuah media lokal di Asmat. Semua informasi tersebut pada akhirnya membuat warga menjadi bingung. "Saya tidak bisa menceritakannya," kata Takimai singkat.
Kepala Puskesmas Agats di Asmat Robertus MKes kepada JUBI mengatakan kesimpangsiuran tenggelamnya KM Lisman Jaya memang telah membuat bingung warga. Namun, yang penting dari peristiwa itu adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh berbagai pihak. “Bukan mempersalahkan informasi yang simpangsiur,” kata dia.
Pernyataan serupa juga dikatakan Teller, seorang driver speedboat di Agats. Diungkapkannya, seharusnya tim SAR Asmat bisa melakukan pertolongan secepatnya terhadap korban tenggelam. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan pada saat peristiwa itu terjadi. Tim SAR, kata dia, bergerak melakukan pertolongan 5 sampai 6 jam pasca tenggelamnya KM Lisman Jaya. Saat itu, korban tenggelam telah jauh terbawa arus laut. “Saya kaget, sebenarnya SAR harus bergerak cepat ketika mendapat informasi bantuan korban lewat Hand Phone namun ini direspon sekitar 5 sampai 6 jam kemudian. Masak kita harus rapat dulu," ujar Teller.
Teller juga mengatakan, kesalahan penyelamatan seharusnya disematkan kepada SAR sebagai badan yang harus siap sedia setiap saat. Menurutnya, jika saja saat itu pihak SAR dapat lebih cepat, tentu peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa. "Ini kesalahan dan kelambanan SAR Asmat," ujarnya.
Hal senada juga diutarakan Norbertus Kamona, Kepala Kantor Navigasi Stasiun Radio Pantai di Agats, Selasa kemarin. Menurutnya, tim SAR dengan sumber biaya yang cukup dari pemerintah Asmat seharusnya bisa lebih cekatan dalam upaya menyelamatkan korban dari sebuah kapal tenggelam. Tapi sebaliknya hal itu malah tidak terjadi. "Memang benar. Tidak salah jika kecelakaan yang menelan korban ke tiga dokter ini adalah kelalaian Tim SAR Agats," katanya. Dia berharap semoga kedepan ada perubahan kerja dari pihak SAR dalam menanggulangi korban bencana laut. “Yah, harus ada itu,” ujanya.
Laut Selatan Sudah Banyak Menelan Korban Jiwa
Laut Selatan memang terkenal akan ombak yang tinggi, cuaca yang tak menentu karenanya sering kali menelan korban jiwa. Ada sejumlah kapal yang tenggelam dan sulit ditemukan mayatnya.
Salah satu korban penumpang tenggelamnnya KM Lisma Jaya di Muara Asmat 14 Januari lalu Kabupaten Asmat yang ditemukan tim penyelamat diterbangkan dari Asmat ke Timika 16 Januari lalu untuk dilakukan otopsi.
Jenasah Dr Wendiansyah Sitompul diterbangkan dari Bandara Ewer Asmat dengan menggunakan pesawat Mimika Air Milik Pemerintah Kabupaten Mimika tiba di Bandara Mozes Kilangin Jumat (16/1) pukul 09.00 WIT. Selain jenasah Dr Wendiansyah juga didampingi istrinya Dr Lidya bersama tim Dokter serta Pejabat Pemerintah Kabupaten Asmat yang diwakiili oleh Asisten I Drs George Tuantana serta tim Dokter dari Pemerintah Asmat.
Setibanya di Bandara Mozes Kilangin jenasah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika untuk dilakukan otopsi. Selama satu jam tim Dokter yang ditunjuk untuk melakukan otopsi yang di pimpin oleh salah satu dokter ahli Bedah RSUD Mimika dr Ong Chandra termasuk istri korban Dr Lidya.
Setelah dilakukan otopsi di RSUD selama satu jam, jenasah kemudian kembali dibawa ke Bandara Mozes Kilangin lalu kemudian diterbangkan ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Garuda.
Keberangkatan jenasah ke Jakarta turut didampingi rekan-rekan Dokter dan beberapa pejabat dilingkup Pemkab kabupaten Asmat, yang memang ditunjuk khusus untuk oleh Bupati Asmat untuk mengantar jenasah korban ke Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumah RSCM Jakarta.
Jenasah Dr Wendansyah Sitompul saat tiba di Bandara Mozes Kilangin terlihat banyak warga yang sengaja menunggu kedatangannya untuk menyaksikan langsung yang merupakan salah satu korban dari kapal yang tenggelam. Jenasah Dr Wendiansyah saat ingin di otopsi terlihat telah membengkak dan mengeluarkan bau, sehingga seluruh pengunjung maupun tim medis terpaksa menggunakan masker untuk menghindari aroma tak sedap.
Jenasah Dr Wendiansyah Sitompul ditemukan oleh tim gabungan pencari korban tenggelamnnya KM Lisma Jaya pada Kamis 12.30 wit disekitar lokasi tenggelamnnya kapal naas tersebut di sekitar Muara Asmat. Setelah ditemukan korban kemudian dievakuasi dengan menggunakan KM Wulandari yang turut melakukan selama beberapa hari seteleha tenggelamnnya KM Lisma Jaya saat perjalanan dari Pelabuhan Pomako ke Asmat Kabupaten Asmat Dr Lidya Istri Jenasah Korban Dr Wendiansyah Sitompul yang tenggelam bersama KM Lisma Jaya yang ditemukan Tim Gabungan Penyelemat di Kabupaten Asmat tidak mengakui, bahwa jenasah yang ditemukan bukan Dr Wendiansyah Sitompul.
Dr Lidya saat diwawancari oleh wartawan usai melakukan otopsi jenasah suamnya di RSUD Timika mengatakan jenasah yang ditemukan bukan suaminya.
"Saya tak mengakui kalau jenasah yang baru diotopsi adalah suaminya, sebab saya tahu persis tanda-tanda fisik atau tanda lahir dari suaminya," tegas Dr Lidya.
Menurut Dr Lidya ciri-ciri dari suaminya beda dengan jenasah yang ditemukan ,sebab rambut dan postur tubuh maupun warna kulit yang terdapat perbedaan.Ia mengatakan dirinya akan tetap tinggal di Asmat sampai menunggu jasad suami yang sesungguhnya.
Kata Dr Lidya dirinya sangat kuat menduga bahwa jenasah tersebut bukan suaminya, sebab menurutnya bahwa cincin nikah yang digunakan sudah tidak berada di tangannya. Bila mayat sudah selama tiga hari tubuh akan dimasuki air, sehingga terjadi pembengkakan sehingga untuk mengeluarkan cincin dari jemari tangan sangat susah, salah satunya jari tangan harus digergaji atau dipotong. Karena itulah Dr Lidya masih yakin bahwa itu bukan jenasah suaminya," ungkapnya.
Sementara itu Asisten I Pemkab Asmat Drs George Tuantana, saat dikonfirmasikan di Bandara Mozes Kilangin Jumat (16/1) beberapa saat sebelum berangkat Ke Jakarta terkait pengakuan istri Dr Wendiansyah Sitompul, mengatakan bahwa jenasah yang ditemukan oleh tim gabungan pencari korban memastikan bahwa jasad yang ditemukan adalah Dr Wendiansyah Sitompul. Ketua Tim Identifikasi jenasah dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat yaitu Dr Yulius Patandianan.
Tim identikasi memastikannnya setelah mengeluarkan cincin nikah yang dipakai korban dengan menggunakan sabun. Sebab George mengaku kalau tim identifikasi kesulitan mengeluarkan cincin dan dengan menggunakan sabun sehingga berhasil. Selain cincin yang dipakai dompet korban saat ditemukan masih berada di saku celananya dan identitas didalam dompet dipastikan milik Dr Wendiansyah Sitompul & Quot," tegas George.
Untuk lebih memastikan bahwa jenasah salah satu korban tenggelamnnya KM Lisma Jaya yang ditemukan oleh tim gabungan tim penyelematan di Asmat yang duga kuat dr Wendiansyah Sitompul, akan dilakukan tes DNA di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma (RSCM) Jakarta.
Oleh : Willem Bobii
Sumber : Tabloid Jubi
Bukan merupakan sesuatu hal yang baru ketika berbicara tentang keganasan perairan pantai selatan Muara Kali Atsj di Asmat, Papua. Sudah banyak korban berjatuhan akibat amukan badai dan ombak disana. Namun sayangnya, tak seorang pun pernah mampu mengungkap misteri keganasan tersebut.
Keganasan perairan di wilayah selatan Asmat, dulunya sebelum 2005 merupakan bagian dari wilayah kabupaten Merauke, sebenarnya telah menjadi rahasia umum yang dimaklumi setiap orang yang hidup diwilayah ini. Wilayahnya yang dikelilingi air, menjadikannya sangat mudah terserang amukan badai dan ombak. Pada beberapa wilayah di luar Agats, berdiri diatas hamparan ilalang dan sejumlah besar hutan. Namun berbeda dengan Ibu kota Kabupaten Asmat, Agats. Agats semenjak 40 tahun terakhir memang dikenal sebagai kota air ketimbang kota budaya. Sematan itu diberikan lantaran air yang memenuhi Agats tak pernah kunjung surut.
Konon diceritakan, air mulai memenuhi Agats sejak meninggalnya seorang Pastor yang mati dibunuh oleh orang Asmat puluhan tahun lalu. Pastor yang tak diketahui namanya itu sebelum menghembuskan nafas terakhir bersumpah suatu saat Agats akan dipenuhi air yang tak akan pernah surut. Benar tidaknya cerita tersebut tetap menyisahkan sebuah misteri yang hingga kini tak bisa diungkapkan oleh orang Asmat sendiri. Namun yang pasti, berselang 50 tahun, Agats yang sebelumnya berdiri diatas tanah, telah berubah menjadi kota yang berpijak pada lumpur dan air laut.
Kasus Tenggelamnya KM Lisman Jaya
Sebagai sebuah wilayah yang terdiri dari sebagaian besar air, Asmat menjadi sangat rentan terhadap kasus kecelakaan laut. Sejumlah daerah menjadi rawan di Asmat karena dikenal sebagai wilayah yang kerap menelan korban jiwa. Misalnya di Muara Kali Uniir, Kali Bets dan Siret yang dikenal memiliki arus air yang sangat kuat. Arus ganas tersebut ditemukan membentuk pusaran besar di Kali Omanecep. Bagi warga setempat, kecelakaan yang sering terjadi di Asmat merupakan gejala awal atas ketidakpedulian manusia terhadap alam.
Untuk mengantisipasinya, warga kerap melakukan ritual khusus sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada “pemilik” laut. Ritual itu, bertujuan agar tak lagi kasus serupa yang menelan korban jiwa terulang. Uniknya, meski telah dilakukan ritual-ritual khusus, kecelakaan di perairan Asmat masih saja terjadi. Setiap tahunnya paling sedikit 2 kecelakaan laut terulang. Tidak saja menenggelamkan kapal tapi juga menelan korban jiwa. Sebut saja peristiwa kecelakaan KM Lisman Jaya pada pertengahan Januari kemarin.
Lisman Jaya yang saat itu memuat kurang lebih 27 penumpang plus awak kapal, tenggelam pada 13 Januari di Muara Asmat. Kapal motor tersebut sebelumnya bertolak dari Timika menuju Yahokimo. Namun naas menimpanya ketika melewati perairan Asmat yang dikenal sangat tidak bersahabat. Sedikitnya 3 orang tewas dalam peristiwa itu. Mereka adalah Hendy Prakoso, Wendyansah dan Boyke. Mereka adalah tiga orang dokter yang ditugaskan di Asmat. Dua diantaranya ditemukan pasca kejadian tenggelamnya Lisman Jaya. Sedangkan Boyke, sang dokter muda, hingga kini lenyap tertelan perairan Asmat. Diduga kapal motor tersebut tenggelam pada saat melintasi muara Aswet yang dangkal dan berlumpur. Pada saat bersamaan, badai dan ombak menghantam tubuh kapal yang akhirnya menyebabkan kapal tersebut terbalik. 24 orang diantaranya selamat setelah tim SAR setempat tiba dilokasi kejadian.
Oktiovianus Takimai, seorang pemerhati masyarakat Papua di Jayapura mengatakan, dirinya bahkan tak tahu menahu mengenai kronologis tenggelamnya KM Lisman Jaya. Dikatakan Takimai, hal tersebut disebabkan karena kesimpangsiuran informasi yang diterima pihaknya. Menurutnya, ada dua versi kronologis tenggelamnya KM Lisman Jaya. Pertama, kronologis yang dikeluarkan pihak kepolisian setempat dan informasi yang diberitakan sebuah media lokal di Asmat. Semua informasi tersebut pada akhirnya membuat warga menjadi bingung. "Saya tidak bisa menceritakannya," kata Takimai singkat.
Kepala Puskesmas Agats di Asmat Robertus MKes kepada JUBI mengatakan kesimpangsiuran tenggelamnya KM Lisman Jaya memang telah membuat bingung warga. Namun, yang penting dari peristiwa itu adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh berbagai pihak. “Bukan mempersalahkan informasi yang simpangsiur,” kata dia.
Pernyataan serupa juga dikatakan Teller, seorang driver speedboat di Agats. Diungkapkannya, seharusnya tim SAR Asmat bisa melakukan pertolongan secepatnya terhadap korban tenggelam. Tapi ternyata hal itu tidak dilakukan pada saat peristiwa itu terjadi. Tim SAR, kata dia, bergerak melakukan pertolongan 5 sampai 6 jam pasca tenggelamnya KM Lisman Jaya. Saat itu, korban tenggelam telah jauh terbawa arus laut. “Saya kaget, sebenarnya SAR harus bergerak cepat ketika mendapat informasi bantuan korban lewat Hand Phone namun ini direspon sekitar 5 sampai 6 jam kemudian. Masak kita harus rapat dulu," ujar Teller.
Teller juga mengatakan, kesalahan penyelamatan seharusnya disematkan kepada SAR sebagai badan yang harus siap sedia setiap saat. Menurutnya, jika saja saat itu pihak SAR dapat lebih cepat, tentu peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa. "Ini kesalahan dan kelambanan SAR Asmat," ujarnya.
Hal senada juga diutarakan Norbertus Kamona, Kepala Kantor Navigasi Stasiun Radio Pantai di Agats, Selasa kemarin. Menurutnya, tim SAR dengan sumber biaya yang cukup dari pemerintah Asmat seharusnya bisa lebih cekatan dalam upaya menyelamatkan korban dari sebuah kapal tenggelam. Tapi sebaliknya hal itu malah tidak terjadi. "Memang benar. Tidak salah jika kecelakaan yang menelan korban ke tiga dokter ini adalah kelalaian Tim SAR Agats," katanya. Dia berharap semoga kedepan ada perubahan kerja dari pihak SAR dalam menanggulangi korban bencana laut. “Yah, harus ada itu,” ujanya.
Laut Selatan Sudah Banyak Menelan Korban Jiwa
Laut Selatan memang terkenal akan ombak yang tinggi, cuaca yang tak menentu karenanya sering kali menelan korban jiwa. Ada sejumlah kapal yang tenggelam dan sulit ditemukan mayatnya.
Salah satu korban penumpang tenggelamnnya KM Lisma Jaya di Muara Asmat 14 Januari lalu Kabupaten Asmat yang ditemukan tim penyelamat diterbangkan dari Asmat ke Timika 16 Januari lalu untuk dilakukan otopsi.
Jenasah Dr Wendiansyah Sitompul diterbangkan dari Bandara Ewer Asmat dengan menggunakan pesawat Mimika Air Milik Pemerintah Kabupaten Mimika tiba di Bandara Mozes Kilangin Jumat (16/1) pukul 09.00 WIT. Selain jenasah Dr Wendiansyah juga didampingi istrinya Dr Lidya bersama tim Dokter serta Pejabat Pemerintah Kabupaten Asmat yang diwakiili oleh Asisten I Drs George Tuantana serta tim Dokter dari Pemerintah Asmat.
Setibanya di Bandara Mozes Kilangin jenasah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika untuk dilakukan otopsi. Selama satu jam tim Dokter yang ditunjuk untuk melakukan otopsi yang di pimpin oleh salah satu dokter ahli Bedah RSUD Mimika dr Ong Chandra termasuk istri korban Dr Lidya.
Setelah dilakukan otopsi di RSUD selama satu jam, jenasah kemudian kembali dibawa ke Bandara Mozes Kilangin lalu kemudian diterbangkan ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Garuda.
Keberangkatan jenasah ke Jakarta turut didampingi rekan-rekan Dokter dan beberapa pejabat dilingkup Pemkab kabupaten Asmat, yang memang ditunjuk khusus untuk oleh Bupati Asmat untuk mengantar jenasah korban ke Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumah RSCM Jakarta.
Jenasah Dr Wendansyah Sitompul saat tiba di Bandara Mozes Kilangin terlihat banyak warga yang sengaja menunggu kedatangannya untuk menyaksikan langsung yang merupakan salah satu korban dari kapal yang tenggelam. Jenasah Dr Wendiansyah saat ingin di otopsi terlihat telah membengkak dan mengeluarkan bau, sehingga seluruh pengunjung maupun tim medis terpaksa menggunakan masker untuk menghindari aroma tak sedap.
Jenasah Dr Wendiansyah Sitompul ditemukan oleh tim gabungan pencari korban tenggelamnnya KM Lisma Jaya pada Kamis 12.30 wit disekitar lokasi tenggelamnnya kapal naas tersebut di sekitar Muara Asmat. Setelah ditemukan korban kemudian dievakuasi dengan menggunakan KM Wulandari yang turut melakukan selama beberapa hari seteleha tenggelamnnya KM Lisma Jaya saat perjalanan dari Pelabuhan Pomako ke Asmat Kabupaten Asmat Dr Lidya Istri Jenasah Korban Dr Wendiansyah Sitompul yang tenggelam bersama KM Lisma Jaya yang ditemukan Tim Gabungan Penyelemat di Kabupaten Asmat tidak mengakui, bahwa jenasah yang ditemukan bukan Dr Wendiansyah Sitompul.
Dr Lidya saat diwawancari oleh wartawan usai melakukan otopsi jenasah suamnya di RSUD Timika mengatakan jenasah yang ditemukan bukan suaminya.
"Saya tak mengakui kalau jenasah yang baru diotopsi adalah suaminya, sebab saya tahu persis tanda-tanda fisik atau tanda lahir dari suaminya," tegas Dr Lidya.
Menurut Dr Lidya ciri-ciri dari suaminya beda dengan jenasah yang ditemukan ,sebab rambut dan postur tubuh maupun warna kulit yang terdapat perbedaan.Ia mengatakan dirinya akan tetap tinggal di Asmat sampai menunggu jasad suami yang sesungguhnya.
Kata Dr Lidya dirinya sangat kuat menduga bahwa jenasah tersebut bukan suaminya, sebab menurutnya bahwa cincin nikah yang digunakan sudah tidak berada di tangannya. Bila mayat sudah selama tiga hari tubuh akan dimasuki air, sehingga terjadi pembengkakan sehingga untuk mengeluarkan cincin dari jemari tangan sangat susah, salah satunya jari tangan harus digergaji atau dipotong. Karena itulah Dr Lidya masih yakin bahwa itu bukan jenasah suaminya," ungkapnya.
Sementara itu Asisten I Pemkab Asmat Drs George Tuantana, saat dikonfirmasikan di Bandara Mozes Kilangin Jumat (16/1) beberapa saat sebelum berangkat Ke Jakarta terkait pengakuan istri Dr Wendiansyah Sitompul, mengatakan bahwa jenasah yang ditemukan oleh tim gabungan pencari korban memastikan bahwa jasad yang ditemukan adalah Dr Wendiansyah Sitompul. Ketua Tim Identifikasi jenasah dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat yaitu Dr Yulius Patandianan.
Tim identikasi memastikannnya setelah mengeluarkan cincin nikah yang dipakai korban dengan menggunakan sabun. Sebab George mengaku kalau tim identifikasi kesulitan mengeluarkan cincin dan dengan menggunakan sabun sehingga berhasil. Selain cincin yang dipakai dompet korban saat ditemukan masih berada di saku celananya dan identitas didalam dompet dipastikan milik Dr Wendiansyah Sitompul & Quot," tegas George.
Untuk lebih memastikan bahwa jenasah salah satu korban tenggelamnnya KM Lisma Jaya yang ditemukan oleh tim gabungan tim penyelematan di Asmat yang duga kuat dr Wendiansyah Sitompul, akan dilakukan tes DNA di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma (RSCM) Jakarta.
Oleh : Willem Bobii
Sumber : Tabloid Jubi