Dr Agus Sumule dosen Sosek dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari mengatakan berdasarkan hasil studi dari Parametrix Consultan Australia limbah tailing Ok Tedi Mining sangat berbahaya dan masyarakat di Papua New Guinea (PNG) sudah mengetahui dampak tersebut. “Hasil studi Parametrix sudah menjadi dokumen publik dan masyarakat sudah mengetahuinya karena itu pemerintah harus cepat menanggapi dampak yang timbul bagi masyarakat di Kabupaten Boven Digoel,”ujar Dr Agus Sumule kepada wartawan di Jayapura beberapa waktu lalu.
Menurut Sumule sekarang yang perlu dilakukan adalah mengindentifikasi daerah-daerah yang terkena dampak tailing Ok Tedi Mining di Kabupaten Boven Digoel.”Memang Pak Bupati sudah meminta tim dari UNIPA untuk melakukan identifikasi dan kami masih menunggu. Namun yang jelas tailing itu berbahaya,”ujar Sumule.
Senada dengan Agus Sumule tokoh masyarakat adat klen Are Kassud Suku Kati Muyu Drs Xaverius T Songmen, MM mengaku limbah yang mengalir dari Sungai Fly Papua New Guinea (PNG) akibat adanya aktivitas pembuangan tailing Ok Tedi Gold and Copper Mine di Tabubile PNG ini sudah berlangsung lama dan membawa dampak bagi masyarakat di Distrik Waropko Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua. “Sudah banyak keluhan dari masyarakat di Kampung Ikcan, Upkim, Atmin Waropko dan masyarakat Ningrum sampai dengan di Mindiptana yang bermukim di sepanjang aliran sungai Ok Briam, Mal, Muyu, Kao, dan sungai Digoel,”ujar Songmen. Ditambahkan bukti dari limbah tailing tambang Ok Tedi Mine ini adalah banyak ikan yang mati dan beberapa jenis ikan pun sudah punah. “ Masyarakat menginformasikan bahwa tidak terlihat lagi ikan-ikan yang dulu terdapat di sungai seperti ikan ikan kakap bunga yang sulit ditemukan lagi. Mungkin sudah punah,”ujar Songmen. Di samping itu lanjut Songmen masyarakat juga mengeluh soal kesuburan tanah sebab lokasi tempat mereka berkebun khususnya tanaman pisang, keladi, petatas dan kumbili tidak subur lagi. “Dulu tanah subur tetapi sekarang tanah mulai tandus. Bahkan tanaman yang biasa ditanam sudah tidak tumbuh lagi dan banyak yang mati,”ujar Songmen. Menurut dia kalau tidak ada upaya baik dari pemerintah mau pun perusahaan Ok Tedi Mine di PNG dikhawatirkan masyarakat di wilayah tersebut akan menderita kelaparan dan terutama masyarakat perbatasan RI dan PNG di sekitar sungai Flay, Briam Mal, Tap, Igni dan Kao di Distrik Waropko dan Mindiptana.
“Masyarakat PNG di bagian Timur Sungai Flay PNG sudah memperoleh ganti rugi akibat dampak tailing tersebut sedangkan masyarakat di bagian barat Sungai Flay Provinsi Papua belum ada perhatian dari pemerintah mau pun perusahaan Ok Tedi Mine dan Pemerintah PNG,”ujar Songmen.
Pertambangan tembaga dan emas Ok Tedi di PNG terletak pada ketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut dan berjarak hanya 18 kilometer dari perbatasan dengan Indonesia. Dalam bahasa setempat Ok artinya sungai atau air.
Sungai Ok Tedi ini bersambung dengan sungai Fly di dataran rendah bagian barat Sungai Fly hidup suku-suku di Provinsi Papua sedangkan di sebelah Timur hidup suku-suku di Papua new Guinea (PNG).
Dari galian 70 ton bumi yang telah disaring setiap tahunnya diperoleh 15.000 kilogram emas dan 207.000 kilogram. Ini berarti setiap tahun terdapat sekitar 40 ton limbah tembaga yang terdiri dari batu kasar yang berasal dari lembah Ok Mine yang terletak di kaki Gunung Fubilan.
Sedangkan 30 ton limbah pasir halus yang terbawa sungai Ok Tedi ke muara Sungai Fly. Sebanyak 111 desa di dataran rendah Sungai ok Tdi tidak mempunyai kebun sayur lagi termasuk hutan di sekitar bantaran sungai semuanya telah punah. Limbah yang terdapampar ini membuat akar-akar pepohonan mati karena tidak mendapatkan oksigen. Perikanan pun menurun drastis. Meskipun perusahaan Australia BHP yang menimbang di Ok Tedi telah membayar kompensasi sebanyak 110 juta dollar. Namun yang jelas kehidupan mereka telah terganggu tak mungkin lagi berburu dan mencari ikan semua sudah tercemar.