Kami sudah di Jayapura pada sekitar pertengahan Juli 2008 dalam rangkaian perjalanan ke Papua. Pagi-pagi kami ke Bandara Sentani dengan carter kendaraan Kijang Innova dari hotel ke Bandara dengan harga Rp250.000 sekali jalan. Jarak hotel-bandara sekitar 40 km. Pagi-pagi kendaraan lancar kerena masih sepi. Pak sopir yang asli Malang sudah lama merantau di Papua. Anaknya dua sudah kuliah semua di Universitas Cendrawasih. Di pinggir Danau Sentani terlihat beberapa rumah dengan keramba yang dimilikinya. Sewaktu saya tanya, “Apa itu milik penduduk asli Papua?”. Pak sopir bercerita kalau awalnya penduduk asli juga mempunyai beberapa keramba karena ada program pemberian keramba tetapi setelah panen dan hasilnya dijual maka dia tidak mengalokasikan anggaran untuk membeli bibit ikan. Yang terjadi setelah panen ya habis modalnya. Sewaktu saya tanya tentang penduduk Papua asli, dia malah berkomentar biasanya orang Papua berkata, “Dorang buat kitorang susah.” Kalau dulu sebelum pendatang datang mereka bila membutuhkan ikan tinggal mengambil saja di danau, sekarang kok harus memelihara. Ini yang belum dimengerti.
Bandara Sentani termasuk ramai. Banyak juga warga Papua asli. Check in juga terkesan lambat. Kami merasa waktunya mepet setelah tiba di Bandara Sentani. Skedulnya jam 8 sudah terbang tetapi ternyata waktunya molor. Katanya sudah biasa. Kami terbang dengan pesawat Boeing 737 seri-400 milik Pemda Merauke yang dioperasikan Merpati. Harga tiket Rp 960.000. Dari Jayapura ke Merauke memerlukan waktu sekitar 1 jam lebih sedikit. Di bodi pesawat ditulisi Izakod bekai izakod kai dan kalimat dalam bahasa Indonesia satu hati satu tujuan dan ada logo Pemda Merauke. Sebenarnya ada dua pesawat milik Pemda yang menerbangi jalur Jayapura-Merauke tetapi yang satu sedang grounded karena menambrak sapi di Bandara 6 bulan lalu. Hanya terjadi di Merauke, ada pesawat mendarat menabrak sapi he..he… Biasanya pesawat menabrak burung.
Pesawat terbang tenang di atas hutan belantara. Hal yang saya kawatirkan kalau pesawat terbangnya tidak lancar tidak saya jumpai. Sambil menikmati hutan di bawahnya saya seperti biasa membaca buku atau sambil mengobrol. Sudah terbang hampir satu jam dan rasanya kami melewati daerah Boven Digul. Saya jadi teringat era interniran di tahun 1930-an yang dialami para founding father yang ditempatkan di Boven Digul. Saya sudah membaca beberapa buku cerita tentang keadaan interniran para tokoh pra Indonesia merdeka di Boven Digul.
Pesawat mendarat mulus di Bandara Moka Merauke. Ada 2 pesawat parkir di situ. Bandaranya sangat sederhana dan ada patung sepasang muda mudi Papua berpakaian daerah menyamput kami. Batas pinggir hanya pepohonan. Makanya sampai ada sapi masuk bandara. Ada beberapa petugas TNI yang menjaga. Kami dijemput teman di Merauke, Mr. Suyatmo dan Anas dengan mobil Kijang. Saya masih teringat penjelasan Wandi di Jayapura bahwa “Orang Papua yang brewokan biasanya berasal Timika atau Sentani” Tetapi tadi saya mengobrol dengan pria Papua dengan rambut dikepang-kepang panjang dan mempunyai brewok. Dia pegawai negeri yang kembali mutasi bertugas di Merauke. Setelah saya tanya ternyata berasal dari Mappi. Jadi? Dari mana saja orang Papua yang brewokan?
Dan kami nikmati jalan-jalan di Merauke yang lebar, datar dan lurus. Dari sejarah, diketahui Merauke ditemukan pada tanggal 12 Februari 1902. Orang yang pertama menetap adalah pegawai pemerintah Belanda. Mereka mencoba untuk hidup diantara dua suku asli yaitu Marind Anim dan Sohoers. Mereka berjuang keras melawan keganasan alam (termasuk pemburu kepala). Lama kelamaan tempat tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat cepat sehingga menjadi sebuah “kota”. Jauh di Eropa, para wanita suka memakai hiasan bulu burung dari khayangan “Cendrawasih” di topi mereka. Dari Merauke orang Indonesia, Eropa dan Cina, mulai “menyerbu” hutan di selatan PNG untuk memburu burung sebanyak mungkin. Ketika pemerintah Belanda melarang perburuan, mereka semua kembali ke Merauke. Hal ini yang menyebabkan mengapa di kemudian hari populasi penduduk di Merauke tidak banyak, ini dikarenakan Merauke adalah kota untuk para pendatang (orang asing). Namun sekarang, banyak penduduk asli Papua yang mulai menetap di Merauke.
Asal mula nama “Merauke” sebenarnya berasal dari sebuah salah paham yang dilakukan oleh para pendatang pertama. Ketika para pendatang menanyakan kepada penduduk asli apa nama sebuah perkampungan , mereka menjawab ” Maro-ke” yang sebenarnya berarti “itu Sungai Maro”. Orang Marind berpikir bahwa Sungai Maro (yang lebarnya 500m) lebih penting dari nama area tempat sebuah hutan yaitu Gandin. Penduduk asli papua sendiri menyebut area tempat kampung tersebut dengan mana “Ermasoek”.
Jalan-Jalan Menikmati Merauke
Kami check in di Hotel Itese di Jl. Raya Mandala, sebuah jalan utama lurus sampai 4 km. Hotelnya kecil berlantai dua tetapi katanya merupakan hotel paling bagus di Merauke. Lalu kami ke Kantor KP Papua di Merauke yang hanya 5 menit dari hotel. Kata Mr. Suyatmo, “Everything only five minutes…” karena kemanapun hanya perlu waktu 5 menit alias jalan dekat saja. Kantornya di sebuah rumah di sebuah kampung. Suasana persis seperti kampung di Jawa. Bahkan saya mendengar ada omongan dengan bahasa Jawa. Ternyata di lingkungan situ isinya warga Jawa yang sudah belasan tahun di Merauke. Pantas saja.
Kami membicarakan tentang pekerjaan dan beberapa rencana selama di Merauke. Saat itu hujan gerimis menghiasi langit Merauke. Kami sholat dhuhur dengan shaf kecil di masjid besar di Jl. Para Komando. Masjidnya besar tetapi belum jadi. Kami lalu makan di Restoran Padang tak jauh dari masjid. Kami berputar-putar di kompleks perkantoran Jl. Brawijaya. ada kantor Bupati, DPRD, Kejaksaan. Dari tabloid Tifa Papua, Merauke baru menjadi tuan rumah Kompetisi Divisi II Nasional untuk olah raga sepakbola. Bupati Merauke, John Gluba Gebze antusias menyambut peran ini. Wakil bupatinya putra Jawa kelahiran Merauke, Drs. Waryoto, Msi.
Kami jalan-jalan ke sentral pertanian di daerah transmigrasi ke arah Merauke Barat. Jalan-jalan di Merauke lurus dan datar. Tidak terlihat daerah baru. Kami menyusuri Jl. Kuprik dan masuk Jembatan Tujuh Wali-Wali yang membelah sungai Maro sepanjang 540 m. Jembatannya bagus tetapi sepi. Tak banyak mobil lewat dan saya bisa leluasa berpose dan memotret sekelilingnya. Sungai di sini besar-besar. Apa masih ada buaya di sungai tersebut?
Kami lalu melihat-lihat areal pertanian. Ada satu dua lokasi dengan tanaman padi. Kata Yatmo, di situ baru ada program penanaman kedelai. Yang menanam awalnya petani lokal tetapi kemudian dilanjutkan para warga lain. Diharapkan dalam waktu dekat dapat panen. Tetapi nampaknya tanda-tanda mau panen masih lama. Kami masuk kampung Sidomulyo, Distrik Semangga. Kedaaan kampung persis seperti kampung Jawa. Rumah-rumah berdinding tembok, ada ayam, menthok atau sapi. Anak-anak kecil naik sepeda dan ibu-ibu berwajah Jawa berjilbab berangkat pengajian. Ada beberapa masjid sederhana.
Kami menyusuri jalan-jalan di sekitar situ. Ada beberapa jalan baru yang belum aspal. Ada pembukaan lahan baru. Alat-alat berat sedang beroperasi di beberapa tempat. Sungai irigrasi dibangun di pinggir jalan. Terlihat areal tanah yang luas untuk daerah trans dengan rumah kayu di setiap petaknya. Ada beberapa milik warga lokal. Ada program trans yang untuk warga lokal juga. Tetapi seperti cerita yang pernah saya dengar ada juga celetukan, “Dorang buat kitorang susah…” Cerita dari Buku Laporan Jurnalistik Kompas bahwa program trans untuk warga lokal tak banyak berhasil. Ada satu dua arealnya dijual ke warga pendatang. Akibatnya warga pendatang yang berhasil sebagai petani.
Kami masih menyusuri jalan di sekitar daerah trans. Masih ada hutan kayu bus dengan kayu pohon berwarna putih. Di beberapa tempat ada kuburan dengan tanda salib. Ada kuburan kristen dengan patung setengan badan seorang tokoh. Kata Anas, biasanya kuburan seorang Dudo Apih (kepala adat). Kami melihat ada juga Pondok Pesantren Rahmatullah Umat.
Kami sampai ke Monumen LB Murdani di perempatan jalan Distrik Tanah Miring. Monumen berwujud patung seorang tentara membawa senjata dan parasut di punggungnya. Ada keterangan di monumennya, “Di sini daerah penerjunan dalam rangka pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor Leonardus Benny Moerdani pada tanggal 4 Juni 1962″. Persembahan Masyarakat dan Pemda Merauke, 2 Oktober 1989 a/n Bupati, Muhadi. Ada juga tanda tangan atas nama pelaku yang ditandatangani L Benny Moerdani pada 6 Nopember 1991. Di dekatnya ada Wisma LB Murdani yang berwujud bangunan tembok bercat hijau dengan halaman luas dan bendera merah putih berkibar di depannya. Di dekat monumen, di pinggir jalan ada mama-mama Papua yang menjual barang kebutuhan rumah tangga di meja sederhana. Yang dijual ikan mujair, ikan gabus, udang, burung kombo (seperti merpati tetapi besar), pisang, jantung pisang, daun singkong, pepaya, jagung dll. Kalau sore banyak orang menikmati suasana sore di sini.
Ada beberapa areal transmigrasi di Merauke. Menurut Anas yang asli Bugis dan beristri Jamer (Jawa Merauke), “Ada Distrik Purik seluas 6000 ha, Distrik Tanah Miring seluas 4500 ha, Distrik Semangga seluas 3000 ha”. Ada juga istilah SP (Satuan Permukiman). Di Distrik dibagi beberapa SP. Distrik Tanah Miring ada 9 SP (kampung/desa). Ada program panen kedelai yang ditanam penduduk lokal yang direncanakan akan diresmikan oleh Presiden SBY. Di Distrik Tanah Miring mulai terlihat suasana rumah seperti daerah pertanian, sawah yang luas, rumah, sapi-sapi. Gerobak sapi berjalan pelan. Ada seorang petani membawa pompa air. Kami sapa dia tersenyum, khas orang Jawa. Ada juga rumah yang di depannya dipasang ikan mujair besar beberapa ekor. Untuk apa? Ternyata dijual. Harganya sekitar Rp5.000-an untuk 3-4 ekor. Di SP3 Tanah Miring kami ketemu orang Jawa naik sepeda dengan membawa sapi. Namanya Triyanto asal Solo. Kapan mulai ke Merauke? Dia sudah 15 tahun di Merauke. Sewaktu klas 1 SD dia ikut transmigrasi bersama keluarganya.
Kami juga bertemu cowboy Jawa asal Boyolali di Merauke. Cowboy? Iya, dia naik kuda dengan mengawal beberapa sapinya. Seperti cowboy di Amerika tetapi sapinya belum seberapa banyak. Di beberapa areal di pinggir sawah ada kandang sapinya. Kata Anas harga sapi sekitar Rp5-6 juta per ekor. Memang harganya lebih murah dari di Bontang yang mencapai Rp7 juta.
Di daerah situ juga ada bangunan besar tempat kantor Dolok. Memang daerah ini merupakan sentral pertanian di Merauke. Di daerah ini pernah sebagai lokasi peresmian panen raya padi oleh Presiden SBY sekitar tahun 2004.
Ada yang belum saya rasakan. Apa itu? Saya ingin merasakan sate rusa yang katanya banyak di Merauke. Makan malam saya janjian dengan Mr Yatmo dengan menu sate rusa. Kami makan sate rusa di warungnya Orang Madura di Merauke dengan harga Rp14.000/porsi. Tetapi rasanya tak seberapa enak. Dagingnya sangat ulet. Di situ banyak juga warung-warung lain dengan menu ikan bakar yang ikannya besar-besar. Di restoran hotel ternyata juga ada menu sate rusa dengan harga Rp5.000/tusuk.
Kami memutari lagi beberapa jalan di Merauke. Ada gedung RRI, Telkom yang cukup besar. Saya mau melihat toko soevenir di Merauke karena sewaktu di pasar Hamadi salah seorang penjual bercerita kalau beberapa patung kiriman dari Merauke. Hal ini saya tanyakan sewaktu melihat beberapa ukiran kayu Asmat pecah atau rusak. Si penjual menjawab bahwa karena packingnya tidak bagus kiriman kayu ukir dari Merauke beberapa ada yang rusak. Saya pikir di Merauke lebih banyak koleksi souvenirnya. Lagian jarak ke Wamena yang merupakan tempat Suku Asmat lebih dekat. Tetapi ternyata tak banyak toko yang menjual soevenir di Merauke. Hanya satu di Jl. Raya Mandala. Koleksinyapun tak banyak. Hanya koteka, lukisan kulit pohon, beberapa ukiran tameng yang sudah sangat berdebu. Tetapi harganya sangat mahal, koteka Rp100.000, tifa kecil Rp500.000, lukisan kulit pohon Rp 150.000. Yang banyak adalah kerajinan dari kulit buaya karena di Merauke merupakan sentral budidaya buaya. Tetapi tetap saja harganya mahal dan modelnya biasa saja. Harga dompet kulit buaya sekitar Rp 150.000.
Di Merauke juga saya dengar komentar orang Papua, “Dorang buat kitorang susah…”. Hal ini saya dengarkan beberapa kali dari beberapa orang. Saya tetap mengingat kata-kata itu dan membuat saya sedih. Apa yang salah dari pendatang sampai keluar kata-kata tersebut. Tak lain adalah perbedaan kemampuan SDMnya. Dengan bahasa SDM, ada gap kompetensi yang besar antara SDM lokal dan pendatang. Inilah kebanyakan problem pembangunan daerah di Indonesia.
Pagi-pagi saya jalan kaki menyusuri Jl. Raya Mandala. Pagi jalanan masih sepi tetapi saya merasa aman jalan sendirian. Tak banyak kendaraan lalu lalang. Banyak sekali gereja di sekitar jalan tersebut dengan bangunan yang indah. Ada juga masjid tetapi tak banyak. Para siswa sudah pada masuk sekolah. Secara iseng saya melihat halaman sekolah dan melihat bahwa siswa dengan wajah Papua jumlahnya lebih sedikit dari wajah pendatang. Why? Apa memang penduduk pendatang lebih banyak?
Di pagi itu, saya melihat banyak sekali orang jualan air dengan kereta dorong. Sewaktu saya tanyakan apa susah air, katanya tidak tetapi sumber air di sebelah jalan Raya Mandala sumurnya bagus tetapi di sebelah lainnya sumurnya airnya payau. Banyak juga sumur di pinggir jalan dengan kedalaman sekitar 2 meter dan airnya jernih. Ketemu pendatang, sebut saja Pak Atmo, salah seorang transmigran asal Jateng di tahun 1980-an. Saya bertemu dia di Jl. Raya Mandala sewaktu dia menimba air di sumur pinggir jalan dan memasukkan dalam jerigen. Air tersebut dijual berkeliling dengan harga Rp2.000/jerigen. Pak Atmo tinggal di daerah Semangga dan kalau pagi berangkat ke “tempat kerja” dan kalau sore dia pulang ke Semangga. Selama ini dia belum bisa pulang ke Jawa. “Mahal pak tiketnya,” katanya. Banyak orang dengan profil Jawa yang menjalani profesi sebagai penjual air. Sedikit wajah Papua saya lihat.
Rabu pagi kami merencanakan ke Taman Nasional Wasur sekaligus ke Perbatasan PNG. Tetapi sebelum ke sana akan mengunjungi pelabuhan. Pelabuhannya adalah pelabuhan sungai yang sangat besar. Di pintu gerbangnya ada 2 patung kangguru dan kalimat Selamat Datang di Merauke. Ada beberapa kapal kecil parkir di pinggir sungai. Beberapa pekerja pelabuhan menunggu pekerjaan sambil mengobrol. Pekerjanya kebanyakan dari Suku Asmat.
Kami menuju ke arah Timur-Selatan menuju Taman Nasional Wasur (TNW) dan perbatasan. Kami membeli bekal untuk makan siang karena sepanjang perjalanan di TNW tidak ada rumah makan maka harus membawa bekal dan nanti dimakan di perbatasan. Sepanjang perjalanan kami mengobrol saja.
Menyusuri Taman Nasional Wasur (TNW) Sampai PNG
Saat itu langit cerah dengan disertai mendung tipis tetapi tidak merata. Kami menuju ke arah TNW, melewati kampung-kampung ke arah pinggir kota Merauke. Ada juga Universitas Merauke di dekat Bandara Moka. Sepanjang jalan tanahnya datar. Sangat cocok untuk sebuah kota. Ada pembangunan memperpanjang landasan pacu bandara. Kalau Bandara Merauke sudah bisa menjadi bandara internasional kota Merauke akan sangat ramai karena letaknya yang strategis terutama sangat dekat dengan Australia.
Mendekati TNW, ada pemukiman transmigrasi tetapi tak banyak sawah. Beberapa rumah dari papan dengan areal halaman yang luas. Beberapa pemukim Jawa juga mendiami kawasan ini. Masuk TNW ada plakat dari kayu bercat hitam, Selamat Datang di TNW dan ada patung kanguru memukul tifa di kiri dan kanan jalan. Ada juga kantor TNW yang artistik dengan bahan kayu. Di tengah hutan ada bangunan cantik dengan model lancip yang merupakan kantor Balai Konservasi dan Penelitian Bomi Sai dan ada tulisan TNW dengan simbol kangguru. Nampaknya binatang kangguru banyak di sini sehingga dijadikan ikon. Ada 4 suku yang mendiami kawasan TNW yang meliputi Suku Kanume, Yeinan, Marori Men-Gey dan Malind Kondo.
Kami menuju ke perbatasan PNG yang berjarak sekitar 60 km dari kota Merauke ke arah Timur Selatan. Jalanan aspal datar dan lurus menuju ke arah pintu gerbang TNW. Ini yang mengenakkan karena jalanan lurus terus. Hanya sekali-kali ada jalan yang aspalnya tidak merata dan harus hati-hati melewatinya. Ada sekitar 40 km jalan lurus masuk hutan ini, diantara pohon bus, eucaliptus, kayu putih dll. Daun pohon kayu putih seperti daun akasia tetapi pohonnya tidak sebesar akasia. Melihat tanaman kayu putih otomatis tangan mengambil daun dan membaunya, seperti bau minyak kayu putih. Beberapa diantaranya ada rumah semut mosamus yang membentuk gundukan tanah lancip sampai tingginya sekitar 1-3 meter. Seperti bentuk candi Prambanan.
Taman Nasional Wasur merupakan perwakilan dari lahan basah yang paling luas di Papua dan sedikit mengalami gangguan oleh aktivitas manusia. Merupakan satu dari delapan taman nasional diantaranya Taman Nasional Lorentz di kabupaten Timika.
Ditetapkan sebagai taman nasional melalui Surat Menteri Kehutanan, SK No. 448/Menhut-VI/90. Luasnya mencapai 413.810 hektar. Sekitar 70 persen dari luas kawasan taman nasional berupa vegetasi savana, sedang lainnya berupa vegetasi hutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi hutan di kawasan taman nasional ini antara lain api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera sp.), ketapang (Terminalia sp.), dan kayu putih (Melaleuca sp.).
Jenis satwa yang umum dijumpai antara lain kanguru pohon (Dendrolagus spadix), kesturi raja (Psittrichus fulgidus), kasuari gelambir (Casuarius casuarius sclateri), dara mahkota/mambruk (Goura cristata), cendrawasih kuning besar (Paradisea apoda novaeguineae), cendrawasih raja (Cicinnurus regius rex), cendrawasih merah (Paradisea rubra), buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), dan buaya air asin (C. porosus).
Berbagai jenis satwa seperti burung migran, walabi dan kasuari sering datang dan menghuni Danau Rawa Biru, sebuah danau di TNW. Oleh karena itu, Danau Rawa Biru disebut “Tanah Air” karena ramainya berbagai kehidupan satwa. Lokasi ini sangat cocok untuk mengamati atraksi satwa yang menarik dan menakjubkan.
Menurut data inventarisasi Badan Suaka Alam Sedunia (WWF) di Manokwari, para peneliti WWF menemukan sekitar 390 jenis burung di Taman Nasional Wasur. Di taman nasional tersebut hidup juga sekitar 80 jenis mamalia yang 20 di antaranya endemik (Berdiam disatu tempat tertentu). Dengan memiliki sekitar 390 jenis burung, maka taman nasional itu merupakan wilayah paling kaya akan jenis burung di Tanah Papua bahkan di Indonesia.
Sesuai hasil inventarisasi habitat basah Wasur juga berkembang biak puluhan jenis burung bangau, bebek rawa dan burung pantai. Sementara di habitat kering (sabana) berkembang biak juga puluhan jenis burung maleo, nuri, kakatua dan cenderawasih.
Selain itu sejumlah sungai yang melingkari kawasan taman nasional tersebut merupakan tempat berkembang biak jenis ikan kakap dan arwana, yang memiliki nilai ekspor dan ekonomis tinggi. Di taman ini tumbuh subur berbagai jenis pohon bakau (mangrove), bambu dan sagu yang belum dimanfaatkan untukkepentingan masyarakat.
Keanekaragaman hayati bernilai tinggi dan mengagumkan di Taman Nasional Wasur, menyebabkan kawasan ini lebih dikenal sebagai “Serengiti Papua”. Lahan basah di taman nasional ini merupakan ekosistem yang paling produktif dalam menyediakan bahan pakan dan perlindungan bagi kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Pada Desember 2007 PT Freeport Indonesia (PTFI) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan (Dephut) dan Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) Sukabumi, Jawa Barat melepasliarkan 21 kangguru tanah (Thylogale brunii) ke Taman Nasional Wasur.
Kami masih menyusuri jalan aspal lurus di tengah hutan Wasur. Ada satu dua kendaraan berpapasan. Ada kawasan seperti danau kecil berair warna hijau di sisi kanan jalan yang kata Pak Yatmo, sering digunakan untuk sarana rekreasi dan bermain air penduduk layaknya kolam renang. “Kalau hari Minggu ramai di sini…,” Kata Yatmo.
Jalan aspal lurus berganti dengan jalan tanah merah yang sedang diperbaiki. Nampak kendaraan berat sedang memadatkan jalan. Kabarnya Presiden SBY direncanakan datang makanya jalannya diperbaiki. Satu dua penduduk lokal atau pendatang lewat. Ada satu penduduk lokal naik sepeda dengan membawa senapan.
Ada pertigaan besar yang kalau lurus ke arah Digul atau Tanah Merah yang dulu merupakan satu kabupaten dengan Merauke. Sekarang karena pemekaran otonomi daerah menjadi kabupaten tersendiri. Kalau mengingat Digul atau tanah Merah saya jadi teringat era pembuangan yang menimpa para bapak bangsa di tahun 1930-an antara lain AF Chafid Salim, Sutan Syahrir, Hatta dll. Menurut Chafid Salim dalam bukunya 15 Tahun Digul, ada 600-an orang Indonesia yang dijadikan interniran di Digul pada saat itu. Ada beberapa keluarganya yang menyertainya. Bisa dibayangkan di tengah hutan pada tahun 1930-an? Pengin juga pergi melihat Digul, tetapi waktu dan kesempatan yang tak memungkinkan. Kami mengambil jalan ke kanan ke arah Distrik (Kecamatan) Sota yang merupakan daerah perbatasan dengan PNG. Ada kawasan daerah transmigrasi dengan sawah-sawah yang merupakan daerah pertanian. Bila orang Jawa sudah ke sini, tanah sudah bisa diolah menjadi areal pertanian.
Ada tugu besar dengan patung garuda Pancasila di atasnya. Ada tulisan Satu Nusa satu bahasa kita tanah air pasti jaya untuk slama-lamanya Indonesia pusaka Indonesia tercinta nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama, Merauke, 16 Desember 1994. Kabarnya hanya ada 2 tugu seperti ini, satunya bada di Sabang. Memang banyak sekali tulisan berisi ajakan nasionalisme di daerah perbatasan ini. Ada juga poster pencegahan Aids, Benci Perilakunya, bukan orangnya, bukan manusianya. Perangi HIV/Aids. Setelah itu ada semacam bangunan sederhana dari kayu untuk warung-warung kebutuhan pelintas batas. Mereka menjual hasil tangkapan di hutan seperti daging rusa, kangguru atau ikan dan uangnya dipakai untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Di dekat situ juga ada Pos Penjaga yang dijaga oleh TNI Kodam Siliwangi Jawa Barat. Di pos jaga nampak beberapa tentara dan di dindingnya ada tulisan Esa Hilang Dua Terbilang. Tak jauh dari situ sudah terlihat Pintu Gerbang batas wilayah Indonesia berwujud semacam gate besar dengan simbol Garuda Pancasila di atasnya. Ada tulisan Good Bye and See you againt another day dan dibaliknya ada tulisan Welcome to Republik Indonesia, Izakod bedkai Izakod Kai. Ada taman dan beberapa fasilitas umum untuk sekedar tempat duduk.
Sampailah pada tonggak tapal batas di Distrik Koya. Tonggak berwujud tugu sederhana setinggi manusia yang dicat putih dengan tulisan Team Survey Indon dan letak koordinat. Di atas tugu ada plat dengan tulisan Survey dan Penegasan Bersama Garis Batas Indonesia-Papua New Guinea dengan logo kedua negara. Didirikan pada Nopember 1983. Sewaktu saya ke perbatasan PNG-RI di daerah Jayapura tak saya lihat tugu seperti itu.
Kami duduk dan melihat-lihat keadaan. Tak lama kemudia ada 3 orang dengan profil Papua muncul dari dalam hutan dengan 3 sepeda sederhana. Di atas stang sepeda ada sepasang sendal jepit dan di boncengan belakang ada beberapa kresek dan ikan kakap rawa sangat besar. Pengendaranya berambut keriting dan mulai memutih dengan kaos tanpa lengan bertulisan logo club sepak bola England Arsenal. Satunya memakai topi dan bajunya juga ala kadarnya, berkaos oblong bergambar Bob Marley dan bercelana pendek lusuh. Dia tersenyum ramah dan saya menyalaminya. Yang di depan namanya Minggus, kata polisi bernama Ma’ruf Suroto (putra Jawa kelahiran Nabire). Pak Minggus salah seorang kepala suku di PNG. Dia datang bersepeda didampingi 2 orang lainnya. Minggus dengan tas tradisional di pundaknya dan membawa ikan kakap rawa sangat besar yang ditawarkan hanya Rp50.000. Biasanya setelah dapat uang dia berbelanja kebutuhan sehari-hari lalu pulang lagi ke desanya masuk hutan sejauh 15 km dari tapal batas. Kami mengobrol sebentar dan Pak Minggus bisa berbahasa Indonesia. Dia sudah sering mondar-mandir ke perbatasan sampai dikenal oleh petugas di situ.
Kami menunggu dan menikmati keadaan dengan duduk-duduk di taman. Banyak asesoris yang menyiratkan simbol nasionalisme. Ada bendera merah putih dipasang di beberapa tempat. Juga kalimat dalam papan kayu berisikan cinta tanah air. Ada dua anak kecil bermain bandulan di situ. Sewaktu saya tanya, ternyata dia anaknya Pak Polisi Ma’ruf dan tetangganya. Anak itu tinggal di perumahan tak jauh dari situ. Dia sekolah di sebuah SMP. “Apa ada murid SMP dari PNG?” Dia menjawab,”Untuk tahun ini tak ada, tetapi tahun-tahun kemarin tinggal 2 anak dari PNG yang sekolah…”
Ternyata sekolah tersebut menjadi sekolah internasional. Tetapi bahasa pengantarnya memakai bahasa Indonesia. Kami juga memasuki wilayah luar negeri meski di pinggir hutan. Bukan apa-apa, dalam 3 hari terakhir sudah dua kali ke luar negeri di dua titik berbeda di Papua dan tanpa pasport. Beda dengan perbatasan di Jayapura, di perbatasan Merauke hanya hutan saja. Bertemu orang PNG yang ke Indonesia hanya dengan sepeda reyotnya he..he..
Pulang melewati rute sama, melewati jalan lurus di tengah hutan. Di tengah jalan kadang berpapasan dengan beberapa mobil jeep yang mengangkut bahan sembako sampai atapnya penuh barang. Untuk kemana itu? Menurut Yatmo dan Anas, biasanya bagi penghuni kawasan perbatasan sekali waktu mereka belanja kebutuhan hidup sehari-hari di Merauke. Mereka terkadang mencarter mobil khusus untuk belanja. Juga untuk kawasan tengah hutan lainnya, seperti Tanah Merah. Katanya sudah ada jalan darat yang menghubungkan ke kawasan Tanah Merah di Digul. Mengingat Digul jadi mengingat para pejuang bangsa di tahun 1930-an yang menjadi interniran.
Tetangga kabupaten dari Kabupaten Merauke arah Selatan ada Kabupaten Boven Digul. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten Boven Digul, dahulu dikenal dengan sebutan Digul Atas dan merupakan tempat pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan.
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan PKI tahun 1926. Selanjutnya Boven Digul digunakan sebagai tempat pembuangan pergerakan nasional dengan jumlah tawanan tercatat 1.308 orang. Di antara tokoh-tokoh pergerakan yang pernah dibuang ke sana antara lain Sayuti Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub (tokoh Permi dan PSII Minangkabau) dan Sutan Syahrir.
Daerah seluas 10.000 hektare itu berawa-rawa, berhutan lebat dan sama sekali terasing, kecuali melalui laut. Di sepanjang tepian sungai berdiam berbagai suku (Papua) yang masih primitif. Karena sarana kesehatan tidak ada, penyakit menular sering berjangkit demikian pula penyakit malaria yang membawa banyak korban.
Tempat pembuangan tersebut terbagi atas beberapa bagian, yakni Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), kawasan militer yang juga menjadi tempat petugas pemerintah dan Tanah Tinggi. Sewaktu rombongan pertama datang, Digul sama sekali belum merupakan daerah permukiman. Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang, sebagian besar dari Pulau Jawa, diberangkatkan pada Januari 1927. Pada akhir Maret 1927 menyusul ratusan orang lain dari Sumatera. Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah. Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.
Pada tahun-tahun pertama, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit. Penderitaan itu menyebabkan banyak orang buangan mencoba melarikan diri ke Australia. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil buatan sendiri, tetapi sedikit saja yang berhasil. Sebagian terpaksa kembali, lainnya mati tenggelam.
Pada waktu Perang Pasifik meletus dan Jepang menduduki Indonesia, tawanan Boven Digoel diungsikan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu didasari kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digoel. Diharapkan, orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Ternyata, tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru. Nantinya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.
Bertemu dengan beberapa pemandangan anak-anak Papua di pinggir jalan. Ada satu dua anak berwajah Papua dan seorang berwajah Jawa bermain bola kecil dan kayu di tempat yang berlumpur. Ada juga dua anak kecil perempuan Papua bermain di tengah lumpur. Saya ingat film anak-anak Papua Kawan di Rawa Biru yang lokasinya di sekitar Wasur sini. Cerita anak dari Suku Kanum yang tinggal di 7 desa, Onggayo, Tomerauw, Kondo, Yanggandur, Sota, Tomer dan Rawa Biru. Juga pemandangan anak-anak membakar ikan keloso (ikan arwana). Sota adalah wilayah perbatasan yang saya kunjungi tadi.
Di pinggir jalan, banyak juga yang menyediakan beberapa tanaman hias antara lain anggrek, tanaman lain, tanaman sarang semut. Kebanyakan tanaman anggrek. Seperti nursery tetapi kurang terawat. Kami mampir ke salah satunya. Seorang wanita setengah baya berkulit hitam legam dan rambut keriting cepak menyapa akrab diikuti kedua anak perempuan yang kulitnya sama hitamnya. Nampaknya Yatmo sudah sering mampir ke sini. Wanita itu, biasa dipanggil mama. Namanya Blaundiramier dari Suku Marind. Seperti juga penjual mama-mama Papua. Ada banyak tanaman dalam rak-rak yang tak teratur. Kami ditunjukkan tanaman sarang semut. Kami berikan uang Rp50.000 dan dikasih 7 tanaman besar dan kecil. Kalau beli pada mama-mama Papua sebaiknya dalam jumlah banyak karena kalau hanya satu harganya bisa mahal dan tak bisa ditawar.
Saya mengobrol dengan kedua anak perempuan. “Namanya siapa?”. Dia menjawab, “Katerina” dengan logat Papua. Satunya bernama Maria. Nampaknya kembar karena wajahnya mirip. Keduanya mengaku kelas 5 SD setempat di Wasur. Saya lihat ada bibit anthurium gelombang cinta dalam jumlah banyak. Wah anthurium sudah sampai tengah hutan Merauke. Sewaktu saya tanya, “Anthurium?”. Kedua anaknya tak tahu. Tetapi setelah saya tanya, “Apa ini?” Dia menjawab tanaman gelombang cinta. Harganya? Bibit kecil itu harganya Rp100.000. Sewaktu pamitan pulang, saya tanya,”Suku apa mama…” Dia menjawab, “Marind, Marind Bob.” Dalam keterangan kamus buku Kawan di Rawa Biru, Bob artinya rawa. Anas yang sudah lama di Merauke memberi keterangan kalau suku Marind ada yang Marind pantai dan ada juga yang Marind Bob atau rawa.
Kami keluar Taman Nasional Wasur dan menuju arah pantai tak jauh dari kawasan trans di pintu masuk TN Wasur. Kami memasuki kawasan nelayan di Pantai Cipayung. Rumah-rumah sederhana dan aroma khas daerah nelayan yang dominan bau ikan asin. Beberapa jaring nampak dijemur dan juga perahu-perahu nelayan. Wajah-wajahnya bukan wajah asli Papua. Kami masuk ke pasir pantai. Dari jauh air laut nampak bergelombang yang menghadap Laut Yos Sudarso ke arah Australia. Tapi lautnya kok berwarna coklat bergelombang. Tidak biru seperti warna air laut pada umumnya, tetapi seperti air keruh. Aneh juga ternyata ada laut yang airnya tidak biru. Air warna coklat ini juga disinggung dalam Buku Lima Belas Tahun Digoel yang berasal dari sungai berlumpur dari wilayah Digul dan ternyata sampai laut masih berwarna coklat. Inilah daerah terdekat menuju Australia.
Keluar dari daerah pantai dan ada areal tanah datar yang luas. Banyak juga sapi memakan rumput di sekitar situ. Di pinggirnya, sedang dibangun perpanjangan landasan pacu bandara Moka. Di dekatnya ada kampus Universitas Merauke. Bila bandara di Merauke sudah menjadi bandara internasional bisa diduga daerah ini akan cepat maju karena jarak ke Australia sudah sangat dekat. Turis Australia bisa berkunjung ke Indonesia melalui Merauke. Daerah ini akan mendapat limpahan kemajuan kawasan. Seperti juga di Batam yang jaraknya sangat dekat dengan Singapura.
Perjalanan ke Jayapura Kembali
Perjalanan kami sebenarnya mau ke Sorong, tetapi karena tak ada jalur penerbangan Jayapura-Sorong, kami balik lagi ke Jayapura dengan pesawat yang sama dengan kami ke Merauke dengan tiket Rp966.000
Sekitar 07.30 kami ke Bandara Moka Merauke. Rencananya pesawat terbang sekitar jam 9-an. Bandara Moka termasuk bandara kecil tetapi bisa didarati pesawat jenis boeing. Kondisi bandara sangat sederhana. Bahkan terkesan kotor karena di beberapa tempat ada sampah. Segala peringatan aids, narkoba, pelintas batas tetap menghiasi beberapa dinding. Ada caunter penjualan dompet, tas, sepatu, sabuk dan beberapa asesoris dari kulit buaya. Di Merauke memang banyak peternakan buaya. Tetapi barangnya mahal. Sepatu harga 2 juta, tas kecil 1 juta, sabuk 250.000, dompet wanita Rp250.000. Kata penjualnya kulit yang bagus dari perut dan kepala buaya.
Airport tax hanya Rp6000. Pengunjung lumayan banyak untuk bandara sekecil itu. Banyak juga orang asli Papua. Ada rombongan karyawan Pemda dengan label panitia diklat. Bandara Moka ada juga penerbangan lain ke pedalaman Tanah Merah, Piniptana, Kepi dengan pesawat jenis Twin Otter dari maskapai Merpati. Ada pengumuman penerbangan ke Piniptana dibatalkan hari itu karena cuaca yang tidak memungkinkan. Jadi bukan sekedar ditunda tetapi dibatalkan.
Kami menunggu. Pesawat tak juga datang dari Jayapura. Selang beberapa waktu ada pengumuman ditunda bahwa pesawat baru datang jam 10.25 alias molor 2 jam. Kata beberapa pengunjung hal itu sudah biasa. (Sunaryo Broto)