Sejarah mencatat Boven Digoel (kemudian disebut Boven Digul) sebagai bagian
integral dalam lintasan sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di tempat itu
banyak bukti sejarah yang terdiam kaku tak terawat. Padahal, benda-benda
bernilai historis itu merupakan alat bukti, bahkan bisa dijadikan bahan
pelajaran sejarah perjuangan pendiri bangsa ini bagi generasi sekarang.
Sejarah mencatat pula, pada zaman Belanda, Digul merupakan tempat yang
menakutkan, jauh terisolasi di tengah lebatnya hutan belantara. Mengerikan.
Bukan hanya karena alamnya demikian keras, namun juga ada siksaan kaum
kolonialis, ada tangisan kesedihan, kegeraman dan kertakan gigi, bahkan
darah yang tertumpah untuk sebuah perjuangan membebaskan diri dari belenggu
kolonialis.
Kini, Boven Digul bukanlah Digul yang dulu. Saat ini Digul telah menjadi
kabupaten baru yang disebut Kabupaten Boven Digul.
Bila ditilik sejarahnya, sesungguhnya ada hal yang terlupakan. Nusantara ini
seharusnya dihitung dari Sabang di ujung barat, hingga Boven Digul di ujung
timur, sebagai bingkai Negara Kesatuan RI.
Melalui catatan sejarah itulah kita diingatkan bingkai Negara Kesatuan RI
sudah saatnya diperlebar hingga ke Boven Digul, sehingga tempat itu tidak
boleh dilupakan.
Kota Sejarah
Kabupaten Boven Digul dibentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan dengan
sejumlah kabupaten lain di bagian selatan Pulau Cenderawasih, yakni
Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi. Kabupaten Boven Digul tercatat sebagai
salah satu kabupaten di wilayah Perbatasan RI - Papua Nugini, dengan ibu
kotanya di Tanah Merah.
Kabupaten Boven Digul, terdiri atas Distrik Kouh, Distrik Waropko, Distrik
Mindiptana, Distrik Jair, dan Distrik Mandobo, yang akan bertambah dengan
sejumlah distrik karena pemekaran. Wilayah itu juga terdiri atas 88 kampung,
namun juga akan ada penambahan seiring kebutuhan dan perkembangan
kemasyarakatan dan perencanaan Tata Pemerintahan dan Pembangunan.
Sesuai dengan UU No 26 Tahun 2002, disebutkan kabupaten ini mempunyai batas
wilayah. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Suator Kabupaten Asmat, dan
Distrik Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang. Sebelah timur berbatasan
dengan Negara Papua Nugini. Sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Muting
dan Distrik Okaba Kabupaten Merauke. Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik
Edera, Distrik Obaa, dan Distrik Citak Mitak Kabupaten Mappi.
Semasa penjajahan Belanda, Kabupaten Boven Digul, yang dahulu dikenal dengan
sebutan Digul Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia. Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir,
Tanah Papua bagian selatan.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel
dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk
menampung tawanan "pemberontakan November 1926". Boven Digul kemudian
digunakan pula sebagai tempat pembuangan pemimpin-pemimpin pergerakan
nasional. Jumlah tawanannya tercatat 1.308 orang.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pernah dibuang ke sana antara lain
Sayuti Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas
Yacub (tokoh Permi dan PSII Minangkabau).
Luas Boven Digul sekitar 10.000 hektare. Daerah itu berawa-rawa, berhutan
lebat, dan sama sekali terasing. Hubungan ke daerah lain sulit, kecuali
melalui laut. Berbagai suku Irian (Papua) yang masih primitif berdiam di
sepanjang tepian sungai.
Karena belum tersedia sarana kesehatan, penyakit menular sering berjangkit.
Penyakit malaria membawa banyak korban dengan serangan demam dan kencing
hitam. Sebagai contoh, Ali Arkham meninggal dunia karena penyakit ini.
Tempat pembuangan pejuang kemerdekaan itu terbagi atas beberapa bagian,
yakni Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), zone militer
yang juga menjadi tempat petugas pemerintah), dan Tanah Tinggi. Sewaktu
rombongan pertama datang, Digul sama sekali belum merupakan daerah
permukiman.
Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang, sebagian besar dari Pulau Jawa,
diberangkatkan pada Januari 1927. Dan akhir Maret 1927 menyusul rombongan
yang lain dari Sumatera, jumlahnya ratusan orang. Mula-mula mereka
ditempatkan di Tanah Merah. Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat,
sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.
Pada tahun-tahun pertama, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit
Penderitaan itu menyebabkan banyak orang buangan mencoba melarikan diri ke
Australia. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil buatan sendiri, tetapi
sedikit saja yang berhasil. Sebagian terpaksa kembali, lainnya mati
tenggelam. Selain itu, muara sungai dijaga kapal Belanda, sementara orang
Irian, ketika itu menunjukkan sikap tak bersahabat.
Pada waktu Perang Pasifik meletus dan Jepang menduduki Indonesia, tawanan
Boven Digul diungsikan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu didasari
kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digul. Diharapkan,
orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda.
Ternyata, tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk
memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru. Nantinya
setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke
tempat asalnya di Indonesia.
Monumen
Di kabupaten itu ada sejumlah peninggalan Pemerintah Belanda dan juga para
tawanan politik ketika itu. Di antaranya rumah sakit Belanda, rumah para
bestuur (pengurus), penjara bawah tanah, dan makam tawanan. Untuk untuk
mengenang kaum Digulist di kabupaten itu didirikan monumen yang dikenal
dengan nama Digul Dalam Tembaga di Taman Makam Pahlawan di Ujung B Desa
Sokanggo Distrik Mandobo.
Sayangnya, kata Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, SH, MSi,
peninggalan-peninggalan semasa Pemerintahan Hindia Belanda itu, saat ini tak
terawat. Peninggalan-peninggalan itu tidak mendapat perhatian dari
pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten sebelumnya. Padahal, konsep
pendirian bangsa ini sedikitnya pernah tercetus dari Boven Digul, yang
merupakan penyatuan ribuan nusa menuju Indo- nesia Raya.
Ketiadaan perhatian terhadap peninggalan sejarah itu menimbulkan
kekhawatiran, dalam waktu yang relatif singkat Bangsa Indonesia akan
kehilangan sejumlah bukti sejarah perjuangan kemerdekaan, yakni lenyapnya
bangunan bersejarah di Tanah Merah di sisi Sungai Digul. Abrasi sungai
selebar 500 meter itu menjadi ancaman serius. Makam para tawanan lainnya
dikhawatirkan akan hilang lenyap, tanpa pernah tersentuh perawatan. Padahal,
sejarah mencatat, para tahanan di daerah itu mempunyai kontribusi "memajukan
penduduk setempat, mulai dari memperkenalkan cara bercocok tanam modern,
perdagangan sederhana, hingga membaca dan menulis kepada masyarakat sekitar.