Saat memutuskan membangun satu pos pemerintah di Kampung Butjew pada tahun 1938, Bestuurs Assistent Japoro Felix Maturbongs mungkin tak membayangkan bahwa di kampung yang kini sudah jadi kota dan disebut Agats itu akan membentang "jalan panggung", yakni jalan dari papan kayu besi yang panjang dan berliku.
Ia mungkin juga tak membayangkan bahwa jalan panggung selebar satu sampai dua meter itu kini disesaki sepeda. Begitulah pemandangan di Agats, Kabupaten Asmat, sekarang.
Mei tahun lalu pun belum ada kereta angin di kota rawa di tepian Sungai Asuwetsj itu. Lima bulan kemudian, Oktober, satu- dua sepeda mulai berseliweran di arena Festival Budaya Asmat ke-23. Saat ini, setiap orang yang berjalan di atas jalan papan kayu itu harus minggir jika mendengar seruan "permisi".
"Orang mau marah bagaimana? Sekarang Agats semakin besar," kata kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Erick Sarkol.
Di rumah Sarkol juga terdapat satu sepeda yang pada masa lampau dikenal sebagai kereta angin. Seperti kebanyakan sepeda yang berseliweran di Agats, sepeda miliknya dilengkapi dengan lengan ayun roda belakang berperedam kejut, bak motor trail. Garpu roda depan sepeda juga berperedam kejut sehingga sepeda tetap nyaman dikendarai di atas papan kayu yang tak rata.
Setiap sepeda di daerah itu memiliki gir sepeda balap sehingga pengendara bisa mengatur kecepatannya. Jika mereka melintas di pasar Agats yang padat, pedal sepeda tidak berfungsi lagi. Beberapa pengendara akan mendorong sepedanya dari atas sadel, sementara yang takut jatuh ke air di bawah jalan papan pilih menuntun sepeda.
Bersepeda di Agats memang membutuhkan keterampilan lebih lantaran papan kayu besi yang basah sehabis hujan atau terkena embun pagi selalu licin. Beberapa hari lalu Sarkol terpeleset di antara sesaknya pejalan kaki. "Bersepeda di Agats hanya punya dua pilihan, kita naik sepeda atau sepeda naik kita," kata Sarkol tertawa lebar.
Apa pun, toh warga Agats kini suka bersepeda. Di rumah salah satu pedagang kelontong asal Buton, Sudirman, juga terdapat satu sepeda meski jalan masuk ke rumahnya berupa jalan panggung dengan lebar 40 sentimeter dan panjang 30 meter. "Kalau mau bersepeda harus dituntun dulu sampai ke jalan umum. Saya juga tak berani mengayuh sepeda di atas papan jalan masuk ke rumah. Takut jatuh," katanya.
Jauh berubah
Agats sekarang memang jauh berbeda dengan Agatsj tempo dulu. Pada masa lalu, banyak bagian tanah rawa yang mengering sehingga pada tahun 1950-an seorang pemburu buaya terkenal, Willem Farneubun, biasa berkeliling wilayah itu dengan bersepeda motor.C atatan sejarah yang disusun pada 3 Juni 1963 oleh Victoria Maturbongs, putri Felix Maturbongs, mengungkapkan, para tukang bangunan dari Kepulauan Kei tahun 1939 menanam deretan balok besar menjadi semacam pagar setinggi dua meter di sepanjang pinggir pos Agatsj untuk menahan abrasi.
Upaya mengatasi abrasi sebenarnya sudah coba dilakukan Felix Maturbongs. Namun, sampai saat ini abrasi terus menggerus Agats akibat pasang surut yang ekstrem. Di dermaga feri, misalnya, selisih air pasang tertinggi dan air surut terendah bisa mencapai 8,5 meter. Ketika air surut, seluruh lumpur lunak Agats terbawa masuk ke Sungai Asuwetsj.
Foto bagaimana orang berjalan kaki di atas tanah Agats masih bisa dilihat, tetapi hari ini sulit melihat orang berjalan kaki di Agats.
Kini, Agats bukan hanya memiliki rumah panggung, tetapi juga "jalan panggung". Dan dari waktu ke waktu, jalan panggung berupa jalan papan kayu besi yang lebarnya satu sampai dua meter itu semakin panjang.
Hari ini panjang jalan papan sudah puluhan kilometer. Kini jalan papan kayu itu sudah menghubungkan Kampung Syuru dengan RT 6 dengan panjang sekitar 3 kilometer. Belum lagi sejumlah jalan panggung ukuran kecil yang menghubungkan ratusan rumah di Agats. Maklum saja, penduduk Distrik Agats pada 2005 sudah bertambah menjadi 6.588 jiwa dan sebagian di antaranya tinggal di Kota Agats.
Perkembangan jalan panggung di Agats tergambar dari pertambahan panjang jalan di Kabupaten Asmat. Badan Perencanaan dan Pengawasan Pembangunan Daerah Kabupaten Asmat mencatat, panjang jalan di atas tanah pada 2003 baru 21.355 meter, sedangkan pada 2005 menjadi 22.755 meter.
Pertumbuhan jalan panggung lebih pesat dari jalan di atas tanah. Jika tahun 2003 panjang jalan panggung baru 20.700 meter, pada tahun 2005, seiring dengan pesatnya perkembangan Agats sebagai ibu kota kabupaten, panjang jalan panggung mencapai 25.399 meter. Sebagian besar penambahan di Agats. Tahun 2006 di Kota Agats bahkan ada penambahan jalan panggung lagi sepanjang 2.615 meter.
Kota di tepian Asuwetsj itu semakin lama juga semakin menjorok ke daratan. Itu terjadi seiring dengan pembangunan belasan kantor dinas Pemerintah Kabupaten Asmat dan perumahan pegawai yang semakin jauh dari tepian sungai.
Jika warga Agats bicara arah jalan, saat ini mereka akan menyebut "darat jauh" untuk menunjuk kawasan perkantoran dan perumahan pegawai Pemkab Asmat itu.Disebut "darat jauh" karena jika berjalan kaki ke sana orang pasti akan berkeringat. Jadi, wajar kalau Erick Sarkol, Sudirman, dan warga lainnya mengatakan "urat" (capek) jika berjalan kaki di Agats. Belakangan ini guna mengurangi ketergantungan terhadap papan kayu besi, Pemkab Asmat membuat "jalan panggung" beton dari depan Puskesmas Agats ke depan Gereja Katedral Agats, yang panjangnya 376 meter. Jalan yang direncanakan selebar empat meter dan menelan anggaran Rp 11 miliar itu merupakan uji coba pembangunan "jalan panggung" beton.
Jika itu terwujud, mungkin wajah Agats bakal berubah lagi karena becak pun akan berseliweran di Agats. Sekarang, cukuplah warga menajamkan kuping dan segera minggir jika mendengar kata "permisi".