Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya.
UPDATE!! Berita di Radar Merauke dapat dibaca langsung lewat Smartphone Android! Baca fiturnya DISINI atau Download aplikasinya disini : LINK Download Android RadarMeraukeCom.APK !!! Baca berita Via Opera Mini Atau Browser Handphone (Blackberry/Iphone/Symbian) : http://www.radarmerauke.com/?m=1 .

Tuesday, 14 February 2012

Sekilas tentang Musik di Papua






Menurut Jaap Kunst (1994:195), seorang peneliti musik--etnomusikolog--berkebangsaan Belanda yang cukup banyak menulis tentang musik-musik di Indonesia, setidaknya terdapat tiga gaya kebudayaan di Papua, dan dengan demikian, juga terdapat tiga gaya budaya musik. Ketiga budaya musik tersebut—yang diperoleh berdasarkan analisis terhadap melodi-melodi nyanyian di Papua—adalah Negroid, budaya Papua-Australia, dan Melanesia (Kunst, 1994: 195). Lapisan budaya-musik Negroid merupa-kan yang tertua, terdapat di wilayah pegunungan tengah secara umum. Pola-pola melodi yang digunakan adalah triad mayor. Kunst menyebut gaya nyanyian-nyanyian ini sebagai ‘fanfare’. Umumnya musik-musik ini bersifat religius, misalnya konteks pelaksanaannya dalam pesta-pesta atau perayaan ritual. 

Jenis nyanyian triad ini juga ditemui dalam tradisi orang-orang yang disebut pygmee atau pygmoide. Penduduk Papua yang tergolong pygmee ini pertama kali ditemukan oleh orang oleh rombongan ekspedisi Maatschapij te Bevordering van het Natuurkunding Onderzoek der Nederlandsche Kolonien yang dipimpin oleh A.H. Lorentz ketika mereka berada di wilayah pegunungan Jayawijaya pada tahun 1909-1910. Dalam laporannya, Lorentz menyebutkan bahwa orang-orang bertubuh kerdil ini disebut ‘Orang Pesekhem’. Ekspedisi lainnya yang diadakan pada tahun 1910, yakni yang dibiayai oleh British Ornithologists Union, juga melaporkan telah berjumpa dengan orang-orang bertubuh kerdil itu, yang mereka sebut dengan ‘Orang Tapiro’ (Sutarga & Koentjaraningrat, 1994: 112). Saat ditemukan saat itu, mereka masih hidup ala "zaman batu," menggunakan peralatan yang serba terbuat dari batu untuk bercocok tanam, menebang pohon, dan sebagainya (Sutarga & Koentjaraningrat, 1994: 113). Nyanyian-nyanyian seperti ini antara lain juga terdapat, misalnya, pada orang-orang Mek, yang dikenal dengan istilah mosMos/mot mengacu pada nyanyian maupun tarian (juga pesta) yang umumnya diadakan di depan rumah bujang. 

Selain nyanyian-nyanyian triad yang umum ditemui di Pegunungan Tengah ini, di Papua ada gaya nyanyian yang disebut dengan ‘Trepenmeloes’, ditemui di kawasan pegunungan Van Rees, pedalaman wilayah Waropen, mengarah ke wilayah pantai bagian utara Papua. Nyanyian jenis ini oleh Kunst dikategorikan merupakan ciri dari budaya musik Papua-Australia, sebab, gaya nyanyian seperti ini juga ditemui di sebagian wilayah benua Australia. Meskipun memiliki kemiripan dengan gaya nyanyian di wilayah benua Australia, belum dapat disimpulkan apakah pernah terjadi kontak antara etnis-etnis yang memiliki gaya nyanyian ini dengan penduduk-penduduk benua kangguru itu. 

Secara geografis, kontak antara dua budaya-musik ini hampir tidak mungkin, sebab gaya musik seperti ini ditemui di wiilayah pantai utara Papua, sedangkan Australia terletak jauh di selatan. Jika memang terjadi kontak antara penduduk Papua dengan penduduk Australia, maka seharusnya bukti-bukti atau wujud kontak tersebut—dalam hal ini kontak budaya musik—ditemui di wilayah selatan Papua. Terkait kasus kemiripan antara gaya nyanyian yang ditemui di sebagian wilayah pantai utara Papua dengan gaya nyanyian di Australia ini, diperlukan penyelidikan lebih mendalam. Namun, untuk sementara hipotesis yang dapat diajukan adalah kemungkinan etnis di Papua yang memiliki gaya nyanyian ini berasal dahulu berasal dari satu rumpun dengan mereka yang ada di benua Australia, yang dalam perjalanan migrasinya kemudian terpisah. Gaya nyanyian ini memiliki modus dengan register satu oktaf, pola-pola melodinya umumnya menurun dari nada-nada tinggi ke nada rendah, dan dinyanyikan secara berulang-ulang (Kunst, 1994:195).




Gaya budaya-musik yang ketiga di Papua adalah—menurut Kunst—Melanesia. Kunst (1994: 195) berpendapat bahwa gaya musik ini berasal ‘dari luar Papua’, dapat ditemui di wilayah sepanjang pantai utara Papua serta juga sedikit masuk ke wilayah daratan. Gaya budaya musik ini memiliki ciri melodi yang lebih bervariatif dari dua gaya musik lainnya yang telah dibahas terdahulu (Negrito dan Papua-Australia). 

Selanjutnya, Kunst juga menyebutkan bahwa budaya-musik sejumlah wilayah di Papua telah dipengaruhi oleh Indonesia, yakni mulai dari wilayah sebelah barat tanjung d’Urville, dan yang paling nampak, di wilayah paling barat Papua—daerah kepala burung (Kunst, 1994: 195). Selain dari melodi-melodinya, pengaruh juga tampak pada instrumen musik yang digunakan, yakni ditemuinya jenis instrumen rebana, rebab, dan gong. Sebagai contoh, instrumen mamonggo dan unguni (keduanya adalah instrumen musik dengan bentuk seperti gong) yang digunakan dalam tradisi musik orang Mairasi, konon dibawa dari pulau Seram oleh para nelayan Butung ketika mencari ikan di sekitar kampung Lobo (Peckham, 1981:58). Instrumen serupa juga dijumpai dalam tari weru dari Sorong dan kamfi dari Fak-fak (Flassy dkk., 1980: 43; Subardi dkk., 1979: 39, 107). Selain itu, ditemui juga jenis nekara di daerah Meibrat, Sorong (Soejono, 1994: 34; Muller, 1991a) . Di berbagai wilayah Indonesia lainnya, nekara merupakan benda perunggu yang pada umumnya digunakan sebagai instrumen musik, terutama yang berkaitan dengan keperluan ritual. Contoh lainnya, yang lebih mudah ditemui adalah instrumen gitar dan ukulele dalam formasi ansambel yang mengiringi pertunjukan Yosim Pancar. 

Berbeda halnya dengan Jaap Kunst, Alan Lomax, dengan metode cantometric yang ia kembangkan bersama rekan-rekannya, mengkategorikan gaya musik di Papua serupa dengan gaya musik di wilayah Kepulauan Pasifik (Pacific Insular). Sampel yang ia gunakan berjumlah 309 lagu, yang diambil dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, Indonesia (yakni suku Dani), Fore, Kakoli, Waghi Tengah, Maring, Abelam, Motu, dan Murray-Torres (wilayah negara Papua New Guinea). 




Akan tetapi, studi Lomax di wilayah New Guinea ini secara tidak langsung dikritik oleh Steven Feld, terutama terkait permasalahan sampel yang digunakan dan bagaimana cara pengambilannya. Dalam studinya terhadap musik orang Kaluli di Papua New Guinea, Steven Feld (1984) mendapati bahwa dalam 500 nyanyian yang ia ambil sebagai sampel, terdapat variabilitas yang sangat besar sehingga tidak mungkin untuk menghasilkan sebuah profil modal. Dalam kaitannya dengan kesimpulan Lomax tentang gaya musik di New Guinea, temuan Feld ini secara implisit menyatakan bahwa perlu dilakukan penelitian yang sifatnya lebih partikular terhadap musik-musik di New Guinea; dan kesimpulan Lomax ini agaknya terlalu general. Selain itu, ini sangat bertentangan dengan pernyataan Lomax, bahwa hanya dibutuhkan 10 sampel nyanyian untuk menentukan gaya nyanyian dengan menggunakan metode cantometric. 


Bibliografi

Bishop, John. 2001-2002. “Alan Lomax (1915-2002): A Remembrance.” Visual Anthropology Review 17 (2): 14-24.
Feld, Steven. 1984. “Sound Structure as Social Structure.” Ethnomusicology 28 (3): 383-410.
Flassy, Don A.L., dkk. 1980. Tinjauan dan Evaluasi Hasil Festival Tari Rakyat Daerah Irian Jaya. Jayapura: Biro Kesejahteraan Rakyat Pemda Tingkat I Irian Jaya.
Kunst, Jaap. 1967 [1931, 1950]. Music in New Guinea: Three Studies. The Hague: Martinus Nijhoff.
_________. 1994. Indonesian Music and Dance: Traditional Music and its Interaction with the West. Amsterdam: Royal Tropical Institute.
Muller, Kal. 1991. Indonesian New Guinea: Irian Jaya. Barkeley dan Singapore: Periplus Edition.
Peckham, Nancy. 1981. “Day and Night Songs in Mairasi Festival Music.” Irian: Bulletin Of Irian Jaya Development 9 (1).
Soejono, R.P.1994. “Prasejarah Irian Jaya,” dalam Koentjaraningrat, ed. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
Subardi dkk. 1979. Ensiklopedi Tari Daerah Irian Jaya. Jayapura: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Dep. P&K, 1979.
Sutarga, Moh. Amir & Koentjaraningrat. 1994. “Kebinekaan Ras Penduduk Irian Jaya,” dalam Koentjaraningrat, ed. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
Share on :
Silahkan berikan komentar melalui Facebook. Jangan lupa login dulu melalui akun facebook anda. Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel atau berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan radarmerauke.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Artikel Sekilas tentang Musik di Papua ini diposting oleh Portal Berita Merauke pada hari Tuesday, 14 February 2012. Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.
 
© Copyright RadarMerauke.com | Portal Berita Merauke @Since 2008 - 2013 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Owner Template | Published by Owner Template and Owner
WWW.RADARMERAUKE.COM - PORTAL BERITA MERAUKE
( www.radarmerauke.me | www.radarmerauke.asia | Email : radarmerauke@gmail.com | radarmerauke@yahoo.com )

Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Bintang Papua, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, suluhpapua, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.