Pesatnya pertumbuhan media baik surat kabar, radio dan televisi khususnya di Provinsi Papua ternyata tak sebanding dengan kondisi kesejahteraan wartawan di wilayah itu. Upah yang diperoleh wartawan ternyata sangat minim, bahkan masih ada wartawan yang tak digaji oleh perusahaan media lokal.
Kadang-kadang wartawan tak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi tenaga dan keahliannya dengan pendapat yang sangat minim dari perusahaan media dimana mereka bekerja. Persoalan wartawan sangat beragam, dimulai dari honor minim, nyaris tanpa tunjangan, tak pernah mendapatkan cuti dan bahkan soal keamanan dalam berkerja.
Hal ini terungkap dalam Acara Peluncuran Buku Kesejahteraan dan Kompetensi Wartawan di Papua: Sebuah Riset Tentang Kelayakan Profesi Wartawan di Papua. Buku tersebut merupakan hasil kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura dan Foker LSM Papua di dukung Fredrich Ebert Stiftung. Peluncurannya dilaksanakan di Balai Wartawan PWI Entrop, Jayapura, Sabtu (14/2). Kegiatan ini dihadiri para wartawan yang bekerja di Jayapura. Buku itu ditulis oleh Gabriel Maniagasi, Paskalis Keagop, Dominggus Mampioper, Cunding Levi, Lucky Ireeuw, Victor Mambor, Anang Budiono, Krist Ansaka dan Musa Abubar.
Menurut Koordinator Tim Riset Peneliti, Gabriel Maniagasi, buku ini terdiri lima Bab. Yakni Bab I membahas metodelogi pengumpulan data dan persoalan wartawan. Dikatakan, banyak media bertumbuh tapi kondisi kesejahteraan wartawan tak menunjukkan perubahan berarti. Bahkan kadang-kadang wartawan tak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi. Bab II berisi profil singkat media-media yang dijadikan sampel. Dibedakan menjadi 3 jenis media sesuai dengan sifat dan karakternya, yakni media harian dan mingguan. Sedangkan dari sifatnya dibedakan menjadi media cetak dan media elektronik. Bagian III membahas kondisi kesejahteraan wartawan di Papua. Pada bagian ini, Maniagasi mengatakan, merupakan hasil identifikasi kondisi obyektif wartawan di Papua. Yakni wartawan bekerja dengan honor minim nyaris tanpa tunjangan, bekerja melampai jam kerja, kerja tanpa cuti, keselamatan kerja belum menjadi prioritas dan standar jurnalisme yang buruk. Bagian IV, dia menuturkan tentang proses mendirikan media cetak di Papua. Bagian ini berisi orientasi media massa di Papua, proses rekrutmen jurnalis, anggapan wartawan bukan merupakan sebuah pekerjaan yang membanggakan dan standar operasional perusahaan pers. Selanjutnya, bagian V membahas perjuangan pers Papua.
Wartawan: Pekerja Atau Profesi
Ditandaskan Maniagasi, bagi kalangan tertentu profesi pers belum dianggap sebagai pekerjaan yang layak diperhitungkan. Sebaliknya wartawan sendiri masih memandang pekerjaannya hanya sebagai batu loncatan dan tempat untuk mencari makan saja. "Apakah wartawan layak sebagai pekerja dan layak sebagai profesi? Apabila pekerja berarti sebagian waktu dihabiskan di tempat kerja, sedangkan profesi menyangkut organisasi yang menjadi wadah bagi wartawan," ujar Maniagasi
Sementara itu, kepala Biro Kantor Berita ANTARA Jayapura, Piter Tukan menegaskan, mesti dibedakan antara sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan sebuah profesi, misalnya wartawan atau dokter. Jika ditilik lebih lanjut, sebuah "pekerjaan" hanya pantas disematkan pada sopir, pembantu rumah tangga dan lain-lain yang selalu dikejar dengan waktu. Sedangkan wartawan merupakan sebuah profesi sama dengan perawat dan dokter. Mereka dibekali dengan pendidikan dan pengalaman kerja.
Ditempat yang sama, Ketua Serikat Pekerja Papua, Paulus Raiwaki, SE menjelaskan, didalam UU Tenaga Kerja No 3 Tahun 1992 tentang program jaminan sosial tenaga kerja, tidak disebutkan yang namanya profesi tak diupah. Tetapi sebaliknya pekerjaan harus diupah oleh perusahan tempat ia bekerja. "Sekarang wartawan mau disebut pekerja atau profesi?" tanya Raiwaki.
Kritikan
Perihal kritikan sesama wartawan agar buku tersebut direvisi, menurut Maniagasi, metodelogi dalam buku tersebut memang tak memenuhi standar ilmiah. Manigasi juga menyebutkan, perusahaan media lokal tak memiliki jaminan Asuransi, Askes dan Jamsostek yang diperuntukkan bagi wartawan. Akibatnya timbul sejumlah wartawan "amplop" yang kian hari semakin menjamur di Jayapura dengan kapasitas jurnalistik yang sangat rendah. "Dengan modal kartu pers saja, seorang wartawan bisa melakukan pemerasan, memanfaatkan kartu pers untuk hadir acara konfrensi pers, memeras narasumber yang sedang bermasalah dan lain-lain," kata Maniagasi
Direktur Kontras Papua, Hari Moturbongs menyatakan, untuk meningkatkan kesejahteraan wartawan, diperlukan perjuangan dalam penyusunan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi ) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) Dalam UU Otonomi Khusus. Dikatakan Moturbongs, apabila kompetensi wartawan berjalan baik, maka kesejahteraan wartawan pun berjalan baik. "Persoalan hukum dan HAM ada dalam kolom media massa," ujarnya.
Dalam kesempatan sama, sekretaris AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw menjelaskan, saat ini media di Papua telah menjadi industri besar sehingga berimpact pada kemunduran dari keindependensian pers sendiri. Raiwaki juga mengatakan, hasil survei Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua 2008 menyebutkan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Papua adalah sebesar Rp 1,7 Juta. Sedangkan UMP (Upah Minimum Propinsi) hanya sebesar Rp 1.250.000. Hal ini kata dia, sangat mempengaruhi kerja wartawan di Papua. "Siapa yang akan membayar selisih Rp 400.000 ini, bahkan perusahaan tak memberikan slip gaji resmi untuk menghindari pajak," jelas Raiwaki. (Musa Abubar/Makawaru da Cunha)
Sumber : Tabloid Jubi
Kadang-kadang wartawan tak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi tenaga dan keahliannya dengan pendapat yang sangat minim dari perusahaan media dimana mereka bekerja. Persoalan wartawan sangat beragam, dimulai dari honor minim, nyaris tanpa tunjangan, tak pernah mendapatkan cuti dan bahkan soal keamanan dalam berkerja.
Hal ini terungkap dalam Acara Peluncuran Buku Kesejahteraan dan Kompetensi Wartawan di Papua: Sebuah Riset Tentang Kelayakan Profesi Wartawan di Papua. Buku tersebut merupakan hasil kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura dan Foker LSM Papua di dukung Fredrich Ebert Stiftung. Peluncurannya dilaksanakan di Balai Wartawan PWI Entrop, Jayapura, Sabtu (14/2). Kegiatan ini dihadiri para wartawan yang bekerja di Jayapura. Buku itu ditulis oleh Gabriel Maniagasi, Paskalis Keagop, Dominggus Mampioper, Cunding Levi, Lucky Ireeuw, Victor Mambor, Anang Budiono, Krist Ansaka dan Musa Abubar.
Menurut Koordinator Tim Riset Peneliti, Gabriel Maniagasi, buku ini terdiri lima Bab. Yakni Bab I membahas metodelogi pengumpulan data dan persoalan wartawan. Dikatakan, banyak media bertumbuh tapi kondisi kesejahteraan wartawan tak menunjukkan perubahan berarti. Bahkan kadang-kadang wartawan tak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi. Bab II berisi profil singkat media-media yang dijadikan sampel. Dibedakan menjadi 3 jenis media sesuai dengan sifat dan karakternya, yakni media harian dan mingguan. Sedangkan dari sifatnya dibedakan menjadi media cetak dan media elektronik. Bagian III membahas kondisi kesejahteraan wartawan di Papua. Pada bagian ini, Maniagasi mengatakan, merupakan hasil identifikasi kondisi obyektif wartawan di Papua. Yakni wartawan bekerja dengan honor minim nyaris tanpa tunjangan, bekerja melampai jam kerja, kerja tanpa cuti, keselamatan kerja belum menjadi prioritas dan standar jurnalisme yang buruk. Bagian IV, dia menuturkan tentang proses mendirikan media cetak di Papua. Bagian ini berisi orientasi media massa di Papua, proses rekrutmen jurnalis, anggapan wartawan bukan merupakan sebuah pekerjaan yang membanggakan dan standar operasional perusahaan pers. Selanjutnya, bagian V membahas perjuangan pers Papua.
Wartawan: Pekerja Atau Profesi
Ditandaskan Maniagasi, bagi kalangan tertentu profesi pers belum dianggap sebagai pekerjaan yang layak diperhitungkan. Sebaliknya wartawan sendiri masih memandang pekerjaannya hanya sebagai batu loncatan dan tempat untuk mencari makan saja. "Apakah wartawan layak sebagai pekerja dan layak sebagai profesi? Apabila pekerja berarti sebagian waktu dihabiskan di tempat kerja, sedangkan profesi menyangkut organisasi yang menjadi wadah bagi wartawan," ujar Maniagasi
Sementara itu, kepala Biro Kantor Berita ANTARA Jayapura, Piter Tukan menegaskan, mesti dibedakan antara sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan sebuah profesi, misalnya wartawan atau dokter. Jika ditilik lebih lanjut, sebuah "pekerjaan" hanya pantas disematkan pada sopir, pembantu rumah tangga dan lain-lain yang selalu dikejar dengan waktu. Sedangkan wartawan merupakan sebuah profesi sama dengan perawat dan dokter. Mereka dibekali dengan pendidikan dan pengalaman kerja.
Ditempat yang sama, Ketua Serikat Pekerja Papua, Paulus Raiwaki, SE menjelaskan, didalam UU Tenaga Kerja No 3 Tahun 1992 tentang program jaminan sosial tenaga kerja, tidak disebutkan yang namanya profesi tak diupah. Tetapi sebaliknya pekerjaan harus diupah oleh perusahan tempat ia bekerja. "Sekarang wartawan mau disebut pekerja atau profesi?" tanya Raiwaki.
Kritikan
Perihal kritikan sesama wartawan agar buku tersebut direvisi, menurut Maniagasi, metodelogi dalam buku tersebut memang tak memenuhi standar ilmiah. Manigasi juga menyebutkan, perusahaan media lokal tak memiliki jaminan Asuransi, Askes dan Jamsostek yang diperuntukkan bagi wartawan. Akibatnya timbul sejumlah wartawan "amplop" yang kian hari semakin menjamur di Jayapura dengan kapasitas jurnalistik yang sangat rendah. "Dengan modal kartu pers saja, seorang wartawan bisa melakukan pemerasan, memanfaatkan kartu pers untuk hadir acara konfrensi pers, memeras narasumber yang sedang bermasalah dan lain-lain," kata Maniagasi
Direktur Kontras Papua, Hari Moturbongs menyatakan, untuk meningkatkan kesejahteraan wartawan, diperlukan perjuangan dalam penyusunan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi ) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) Dalam UU Otonomi Khusus. Dikatakan Moturbongs, apabila kompetensi wartawan berjalan baik, maka kesejahteraan wartawan pun berjalan baik. "Persoalan hukum dan HAM ada dalam kolom media massa," ujarnya.
Dalam kesempatan sama, sekretaris AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw menjelaskan, saat ini media di Papua telah menjadi industri besar sehingga berimpact pada kemunduran dari keindependensian pers sendiri. Raiwaki juga mengatakan, hasil survei Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua 2008 menyebutkan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Papua adalah sebesar Rp 1,7 Juta. Sedangkan UMP (Upah Minimum Propinsi) hanya sebesar Rp 1.250.000. Hal ini kata dia, sangat mempengaruhi kerja wartawan di Papua. "Siapa yang akan membayar selisih Rp 400.000 ini, bahkan perusahaan tak memberikan slip gaji resmi untuk menghindari pajak," jelas Raiwaki. (Musa Abubar/Makawaru da Cunha)
Sumber : Tabloid Jubi