Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya.
UPDATE!! Berita di Radar Merauke dapat dibaca langsung lewat Smartphone Android! Baca fiturnya DISINI atau Download aplikasinya disini : LINK Download Android RadarMeraukeCom.APK !!! Baca berita Via Opera Mini Atau Browser Handphone (Blackberry/Iphone/Symbian) : http://www.radarmerauke.com/?m=1 .

Wednesday, 18 February 2009

Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (1)

Kamarnya Sama Mahal dengan Hotel Bintang Lima di Jakarta

Perjalanan ke Papua belum lengkap kalau cuma sampai ke Jayapura. Karena provinsi ini menyimpan banyak sekali keindahan alam dan budaya asli yang tak ada duanya di muka bumi. Di antaranya adalah Wamena yang terletak di Lembah Baliem. Inilah pengalaman wartawan Jawa Pos Nany Wijaya selama dua hari di sana.

-------------------
Berkunjung ke Papua adalah impian lama saya. Tetapi, entah mengapa selama ini saya tak pernah benar-benar berusaha untuk meraih impian yang satu itu. Karenanya, juga tak banyak pengetahuan saya tentang provinsi paling timur itu, kecuali bahwa di sana ada Asmat, Lembah Baliem, Puncak Jaya Wijaya, Freeport, dan puncak Cartenz yang dihiasi salju abadi.

Tentang Lembah Baliem, yang saya tahu juga sangat sedikit. Saya hanya tahu bahwa kota utama di kaki Pegunungan Jayawijaya itu adalah Wamena. Suku terkenal yang masih hidup dengan budaya aslinya di sana adalah Suku Dani.Sekitar 25 tahun lalu, ketika Papua masih sangat tertutup untuk orang asing, seorang kepala Suku Dani bernama Obahorok menikah dengan seorang wanita peneliti, bule. Peristiwa itu menjadi berita hangat dan polemik panjang berbau politis di semua media.

Bukan hanya karena usia pasangan itu berbeda jauh, tetapi juga karena budaya keduanya sangat berbeda. Si wanita berasal dari negara maju, sedangkan sang kepala suku, mengenakan baju pun belum.Berita itulah sebenarnya yang membuat saya lantas bercita-cita untuk ke Lembah Baliem, suatu saat.Sayangnya, ketika impian itu menjadi kenyataan, saya malah tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kota kecil itu. Saya tidak yakin, suku Dani di Wamena masih hidup dalam budaya aslinya. Wamena sudah lama mengenal kehidupan modern. Jangan lagi surat kabar, radio, dan televisi. Handphone dan internet pun sudah bukan hal asing di sana. Karena itu, saya hanya berencana tinggal di sana dua hari saja.

Dengan ditemani Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group), harian terbesar di Papua, saya berangkat (dari Jayapura) ke Wamena dengan pesawat pertama yang terbang pada pukul 07.30 waktu setempat. Ini karena penerbangan ke Wamena sangat bergantung pada cuaca. Cuaca Wamena, kabarnya, sangat sulit diprediksi, cepat berubah. Penerbangan pagi lebih aman daripada yang siang.Kami sudah bersiap di Bandara Sentani sejak pukul 06.00 atau pukul 04.00 Waktu Indonesia Barat. Meski ragu karena pagi itu Jayapura sedang hujan, saya tetap berharap, pesawat saya tidak terlambat. Supaya bisa melanjutkan tidur. Pukul 06.00 di Jayapura sama dengan pukul 04.00 di Surabaya. Padahal, saya masih terbiasa tidur tengah malam, waktu Indonesia Barat. Jadi, bisa dibayangkan ngantuk saya pagi itu.

Sampai pukul 07.00, matahari belum terlihat. Hujan semakin deras. Makin tipis harapan saya untuk bisa terbang tepat waktu. Dan benar, sampai pukul 08.00, belum ada tanda-tanda pesawat akan berangkat.Bagi orang seperti saya, yang belum pernah ke Wamena, waktu menunggu yang dua jam itu bukan sesuatu yang mengesalkan. Sebaliknya, memberi saya pengalaman baru dan kesan tentang indah dan uniknya Papua.

Hal baru yang saya dapati di bandara pagi itu adalah jumlah penumpang yang sangat banyak, sehingga ruang tunggunya sepenuh terminal bus menjelang Lebaran. Bukan cuma itu. Pemeriksaan di Sentani tak seketat di Juanda atau Cengkareng. Di sana calon penumpang boleh membawa air minum, termos isi minuman panas dan karung-karung plastik atau kardus-kardus berukuran besar yang hanya diikat dengan tali rafia, seperti yang banyak kita lihat di terminal bus dan stasiun kereta api.

Bahkan, para calon penumpang tak hanya membawa termos air dan panci yang agak besar, tetapi juga kasur lipat dan bantal. Mereka juga membawa telur ayam di wadah lebar yang terbuat dari bahan karton, serta beberapa ekor ikan asing kering yang dibiarkan "telanjang", tanpa bungkus.Anehnya, tak ada penumpang yang keberatan dengan semua itu. Termasuk tidak ada kru dan penumpang yang merasa aneh -kecuali saya, barangkali- melihat banyak yang bersandal jepit, memakai daster, dan berpakaian seperti layaknya tukang cat yang sedang bekerja.

Melihat cara saya memperhatikan para calon penumpang dan bawaan mereka itu, Suyoto tersenyum. "Jangan heran. Di Wamena, semua kebutuhan harus diangkut dengan pesawat. Kecuali buah dan sayur karena di sana lebih banyak," jelas Suyoto.Pesawat memang satu-satunya alat transportasi untuk menjangkau Wamena. Sampai sekarang belum ada jalan darat yang menghubungkan daerah tersebut dengan kota-kota lain di Papua. Penerbangan Wamena-Jayapura dan sebaliknya dilayani tiga maskapai penerbangan, masing-masing Trigana, Avia Star, dan Merpati. Semuanya menggunakan pesawat kecil, berbaling-baling.

Jumlah penerbangan Wamena-Jayapura tidak bisa dipastikan. Sangat bergantung pada cuaca. Bisa dua tiga kali, kalau cuaca baik. Tetapi, bisa tidak terbang sama sekali kalau cuaca buruk. Padahal, cuaca di Wamena sangat sulit diprediksi. Perubahannya bisa sangat tiba-tiba. Karena itu, tak ada maskapai penerbangan yang berani melayani rute tersebut pada sore hari.Selain cuaca, yang juga sangat menentukan penerbangan di rute tersebut adalah jumlah penumpang dan kargonya. Meski penumpangnya tidak banyak, jika kargo yang harus diangkut cukup banyak, pesawat tetap terbang. Ini karena pesawat-pesawat yang ke Wamena dan daerah-daerah kecil lain di Papua adalah pesawat kargo.

Jadi, "Jangan heran kalau harga semen di Wamena Rp 1 juta per sak. Dan, harga beras yang paling tidak enak Rp 25.000 per kilogram," tambah Suyoto.Sampai pesawat hampir mendarat di Bandara Wamena, saya belum paham benar apa yang dijelaskan mantan kepala percetakan yang sudah belasan tahun tinggal di Papua itu.Saya baru benar-benar ngeh dengan penjelasan itu setelah turun dari pesawat. Kami turun belakangan, karena kami memilih duduk di deretan depan. Naik pesawat di sana -kecuali untuk rute keluar Papua- tanpa nomor duduk. Naik turunnya pun lewat pintu belakang karena pintu depan diperuntukkan barang. Namanya juga pesawat kargo.

Saya bersyukur bisa turun belakangan. Sebab, dengan begitu saya bisa melihat barang apa saja yang dibawa pesawat yang saya tumpangi. Saya akan sebutkan, tapi tolong jangan terkejut: Ada panci berukuran besar, beberapa dos lantai keramik, sekarung bawang putih, beberapa sak semen, beberapa lembar seng untuk atap, dua buah kasur spons (bukan spring bed lho!), dan beberapa kursi lipat. Begitu keluar dari perut pesawat, barang-barang itu dijajar seenaknya di kaki pesawat.Persis di samping barang-barang itu, saya lihat ada sepeda motor parkir. Ketika saya tanyakan pemiliknya, ternyata itu kepunyaan petugas yang mengawasi penurunan kargo. Aneh juga ada sepeda motor boleh parkir di kaki pesawat.

Berbeda dengan ketika tiba di Jayapura. Tak ada yang menjemput kami di Wamena. Karena itu, begitu keluar bandara, kami harus mencari sendiri kendaraan sewaan. Andai tidak datang dengan Suyoto, barangkali saya akan kesulitan mencarinya. Sebab, di situ tidak ada mobil angkutan umum yang bertanda khusus, yang memudahkan orang seperti saya membedakannya dari kendaraan pribadi.

Lebih bingung lagi melihat mobil-mobilnya yang kebanyakan dari jenis mobil niaga dan four-wheels drive. Kebanyakan kondisinya masih sangat baru. Apalagi four wheels drive-nya. Baru dan dari merek terkenal. Untuk jenis sedan, di situ hanya satu dua saja. Itu pun kondisinya sudah jauh dari kata baru.Ini karena Wamena dan sekitarnya adalah daerah pegunungan dengan kondisi jalan yang tak semuanya beraspal. Sehingga, perjalanan lebih mudah dan nyaman jika ditempuh dengan kendaraan niaga atau four wheels drive alias double gardan.

Uniknya mobil sewaan di Wamena: Kalau kondisinya bagus, kacanya pasti gelap. Kata sopir sewaan kami yang orang Toraja, "Mobil yang baik banyak disewa pejabat. Kalau berkunjung ke sini, mereka sering tidak mau terlihat. Karena itu, mereka lebih suka mobil yang kacanya agak gelap seperti ini."Meski letak Wamena agak terpencil, fasilitas untuk turis lumayan memadai. Selain mobil-mobil sewaan yang sangat mudah didapat -meski harganya bisa 2-3 kali lebih mahal daripada di Jawa, di sana juga banyak hotel. Tapi, tarifnya juga sangat mahal.

Hotel Baliem Palimo yang saya tempati, misalnya. Itu hotel terbaik di Wamena. Letaknya hanya sekitar 10 menit dari airport. Bersih tapi sederhana. Fasilitasnya lebih menyerupai hotel kelas melati di Jawa. Tetapi, punya tiga jenis kamar: Standard, deluxe, dan suite. Saya pilih yang suite, satu-satunya, karena ranjangnya lebar dan sprei maupun bed cover-nya putih. Warna kesukaan saya.

Sebagaimana umumnya suite room, yang ini pun dilengkapi ruang tamu yang bersofa bagus dan ruang makan pribadi. Meja makan dan meja tamunya juga dihiasi rangkaian bunga. Tapi bukan bunga segar, melainkan plastik. Itu pun bukan dari jenis yang mahal. Kursi makannya dibungkus kain organza putih, yang diikat pita besar warna merah dari bahan yang sama.Sebagai tamu suite, saya juga dapat complimentary berupa buah-buah mahal, seperti anggur dan apel. Bedanya dengan di Jawa, buah-buah itu disuguhkan tanpa pisau buah. Sehingga, saya masih harus memintanya kepada petugas hotel.

Mau tahu pengalaman saya ketika minta pisau untuk memotong buah? Mereka membawakan pisau daging yang besar dan lebar. Tentu saja saya dan Suyoto terkejut setengah mati. Tapi, gadis yang bertugas mengantar pisau itu tidak terlihat aneh dengan wajah terkejut kami. " Itu pisau untuk saya? Saya cuma butuh untuk memotong buah, bukan daging," kata saya sambil tersenyum."Ini juga bisa untuk buah. Kami cuma punya ini," jawabnya dengan tenang, tanpa rasa bersalah. Termasuk ketika melihat kami berdua tertawa terbahak-bahak menanggapi jawabannya itu.

Kalau Anda sudah berani ke Wamena, jangan lagi berpikir harga. Jangan juga membandingkannya dengan harga-harga di Jawa. Bisa pingsan. Tidak ada barang murah di sana, kecuali sayur dan buah yang memang produk lokal. Ini karena semua barang itu, termasuk besi beton, seng untuk atap, lantai keramik, cat dan cat tembok, bahkan becak dibawa ke Wamena dengan pesawat.Sewa mobil dari bandara ke hotel yang hanya berjarak 10 menit, tarifnya sudah Rp 100 ribu. Kalau Anda menyewanya sehari -pagi hingga sore- harganya antara Rp 700-800 ribu.

Seperti tarif taksi, rate hotel di situ juga sangat mahal. Untuk suite room yang sangat sederhana, termasuk kamar mandi yang ditanami suplir, itu saya harus membayar Rp 1,2 juta. Hampir sama dengan rate kamar kelas superior hotel bintang lima di Jakarta. Bayangkan!Tapi itu harga yang wajar di sana. Jangan khawatir, sopir, pedagang, petugas hotel di sana tidak pernah 'merampok' turis dengan memberi harga yang tidak manusiawi. Jadi, Anda tak perlu mencurigai mereka. Yang harus Anda waspadai justru para pemabuk dan orang-orang yang tidak Anda kenal. Sebab, kata banyak orang, termasuk orang Wamena sendiri, di sana banyak pencopet dan perampok. (Besok Pengalaman Memotret di Pedalaman)

Sumber : Cenderawasih Pos

Share on :
Silahkan berikan komentar melalui Facebook. Jangan lupa login dulu melalui akun facebook anda. Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel atau berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan radarmerauke.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Artikel Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (1) ini diposting oleh Portal Berita Merauke pada hari Wednesday, 18 February 2009. Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.
 
© Copyright RadarMerauke.com | Portal Berita Merauke @Since 2008 - 2013 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Owner Template | Published by Owner Template and Owner
WWW.RADARMERAUKE.COM - PORTAL BERITA MERAUKE
( www.radarmerauke.me | www.radarmerauke.asia | Email : radarmerauke@gmail.com | radarmerauke@yahoo.com )

Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Bintang Papua, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, suluhpapua, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.