Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya.
UPDATE!! Berita di Radar Merauke dapat dibaca langsung lewat Smartphone Android! Baca fiturnya DISINI atau Download aplikasinya disini : LINK Download Android RadarMeraukeCom.APK !!! Baca berita Via Opera Mini Atau Browser Handphone (Blackberry/Iphone/Symbian) : http://www.radarmerauke.com/?m=1 .

Sunday 28 December 2008

Agats - Asmat , Kota di Atas Papan


Seperti sore kemarin dan hari-hari sebelumnya, gerimis turun sejak pagi di Bis Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Jalan dari papan kayu besi itu hitam mengilap, basah dan licin. Di bawahnya, air coklat kehitaman meriap. Satu per satu perahu datang dari arah Sungai Asewetsy dan merapat di dermaga. Beberapa lelaki, perempuan, dan bocah-bocah menurunkan ikan dan karaka—nama setempat untuk kepiting—hasil tangkapan mereka yang segera digelar di sisi kanan dan kiri jalan papan itu.


Hujan yang sesekali deras mengguyur tak membuyarkan mereka. Dalam gigil dingin, mereka menunggui dagangannya. Beberapa pembeli berpayung mendekat. Semua pembeli adalah pendatang, kebanyakan dari Kei, Sulawesi, dan Jawa.

Ikan itu biasa dijual per ekor dengan harga bulat: Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 20.000, Rp 50.000, dan seterusnya. Jika setuju dengan harga yang ditentukan para penduduk asli ini, silakan bayar. Jika tidak setuju, silakan pergi. Mereka tak mengenal istilah tawar-menawar.


Di selokan, di bawah jembatan papan, ikan-ikan mati yang masih diikat tali mengapung berbaur dengan sampah plastik. ”Ikan itu dibuang kemarin sore karena tra laku. Kitorang bisa cari lagi di sungai. Ah, mudah bae menangkap yang masih hidup,” kata Bibiani Anok (22), pedagang ikan.

Uang hasil menjual ikan, menurut Bibiani, biasanya segera ludes untuk membeli beras dan barang lain di kios milik pendatang, tak jauh dari pasar jalanan itu. Bis Agats adalah kota yang mahal. Harga beras saja Rp 20.000 per kg, gula Rp 10.000, kubis Rp 20.000 per butir, dan mentimun Rp 10.000 per butir.


Semua kebutuhan itu didatangkan dari luar Agats, biasanya dari Merauke. Keterpencilan dari dunia luar itulah yang menyebabkan harga meroket.


Pesona yang terpenjara

Sejak dikenalkan ke dunia luar oleh penjelajah Belanda, Carstenz, pada tahun 1630, hingga kini Asmat masih juga terpenjara secara geografis. Walaupun ukiran mereka sudah melanglang buana, mengisi galeri dan museum-museum terkemuka di dunia, Asmat tetap daerah yang sulit dicapai.

Dari Jakarta butuh enam jam naik pesawat ke Timika. Dari Timika menuju Asmat harus ditempuh dengan pesawat perintis yang jadwalnya tak pasti.

Walaupun kita sudah mengantongi tiket pesawat perintis itu, belum tentu bisa melenggang. Jika hujan terus mengguyur, tak satu pesawat pun berani terbang ke Asmat. Padahal, di Asmat hujan bisa turun kapan saja, sepanjang tahun.


Ketika laut pasang, Bandara Ewer yang menjadi gerbang ke Asmat akan terendam air. Pesawat pun tak akan ada yang berani mendarat di landasan pacu yang terbuat dari lempeng baja itu. Artinya, kita mesti sabar menunggu di Timika hingga berhari-hari. Penantian yang kadang tanpa kepastian. Tak hanya faktor cuaca dan alam, pembatalan penerbangan bisa terjadi karena jatah tiket kita diberikan kepada orang lain.

Dari Ewer, perjalanan ke ibu kota Kabupaten Asmat, Bis Agats, masih harus ditempuh dengan perahu menyusuri Sungai Unir. Walaupun jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan, kita harus membayar Rp 100.000.


Jika ingin masuk lebih ke pedalaman lagi, siap-siap merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membayar ongkos perahu. Sekali jalan, minimal Rp 100.000 hingga jutaan rupiah.

Bila mencapai Asmat sudah sulit, untuk keluar dari Asmat lebih sulit lagi. Kalau punya nyali besar, silakan meninggalkan Asmat dengan long boat, perahu lesung panjang yang biasa dipakai warga setempat. Tetapi, risikonya sangat besar.


Banyak musibah sudah terjadi. Yang masih hangat adalah kecelakaan yang menimpa rombongan Jejak Petualang TV7 (sekarang Trans7) pada tahun 2006. Perahu yang membawa mereka terbalik di perairan antara Asmat dan Timika. Satu juru kamera TV7 dan tiga awak perahu hilang.

Keganasan perairan sekitar Asmat melegenda sejak hilangnya Michael Rockefeller, putra Gubernur New York, Nelson Rockefeller, pada tahun 1961 di kawasan itu. Suatu hari, saat menyeberangi Muara Sungai Betsj, cuaca buruk menyergap. Perahu yang ditumpangi Rockefeller dan semua awak terbalik. Rockefeller yunior yang waktu itu masih berusia 23 tahun pun lenyap.


Dari papan ke beton


Baiklah, lupakan sejenak bagaimana susahnya meninggalkan Asmat. Mari nikmati suasana tanpa menjejak tanah di Bis Agats, kota yang oleh para tetua Asmat disebut sebagai Mbuce atau kolam air besar.

Begitu sampai di Bis Agats yang hanya bisa dicapai dengan perahu itu, segala pergerakan harus dilakukan dengan meniti jembatan papan. Dari rumah ke rumah, ke gereja, ke mesjid, ke kantor bupati dan kantor lainnya, kita harus lewat di atas papan, bahkan terkadang harus lewat titian sebatang kayu.

Orang Asmat berjalan di papan itu tanpa alas kaki. Sesekali sepeda kayuh dan sepeda motor listrik melintas di jalan kayu itu. ”Dorang rambut lurus yang punya sepeda. Kitorang jalan kaki bae,” kata Hendrikus, pemuda Asmat.

Konon, hingga tahun 1970-an lumpur belum menenggelamkan seluruh daratan Agats. ”Saya datang ke Agats tahun 1974. Waktu itu sebagian daratan sudah mulai jadi rawa, tetapi masih ada yang bisa dilewati,” kata Pascalina Ruban (62), pendatang dari Kei.

Dari tahun ke tahun, menurut Pascalina, air semakin tinggi dan terus merangsek ke daratan Agats seiring dengan pepohonan yang terus ditebangi. Kini, tak ada lagi daratan tersisa di Agats. Air bersih pun menghilang sehingga warga harus mengandalkan air hujan.


Setelah hampir 30 tahun berjalan di atas papan, pada tahun 2007, pemerintah daerah mulai membangun jembatan beton. Direncanakan jembatan ini akan mencapai panjang hingga 500 meter, membelah Agats hingga pelabuhan. ”Mungkin, bapak-bapak pejabat itu sudah tra (tidak) kuat jalan kaki seperti kitorang. Mereka ingin cepat-cepat sampai kantor dengan mobil,” ujar Hendrikus menambahkan.


Asmat terus berubah. Perubahan yang kadang mengagetkan. Dari jalan papan menjadi beton, apakah itu jawabannya? Atau, jangan-jangan yang lebih dibutuhkan adalah menyediakan air bersih dan menghijaukan kembali lingkungan agar abrasi air tak semakin menjadi?



Share on :
Silahkan berikan komentar melalui Facebook. Jangan lupa login dulu melalui akun facebook anda. Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel atau berita yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan radarmerauke.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Ditulis Oleh : ~ Portal Berita Merauke

Artikel Agats - Asmat , Kota di Atas Papan ini diposting oleh Portal Berita Merauke pada hari Sunday 28 December 2008. Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.
 
© Copyright RadarMerauke.com | Portal Berita Merauke @Since 2008 - 2013 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Owner Template | Published by Owner Template and Owner
WWW.RADARMERAUKE.COM - PORTAL BERITA MERAUKE
( www.radarmerauke.me | www.radarmerauke.asia | Email : radarmerauke@gmail.com | radarmerauke@yahoo.com )

Radar Merauke menyajikan informasi terkini tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kota Merauke dan wilayah Papua Selatan umumnya. Copyright berita dalam site ini milik pemilik berita: Kompas, Bintang Papua, Cenderawasihpos, Tabloid Jubi, Jaringan Pasificpost, Infopublik, suluhpapua, Jaringan JPNN dll. Radar Merauke adalah web personal yang merangkum berita dari berbagai media.